Tradisi literasi merupakan salah satu cara dan upaya melestarikan pengetahuan antargenerasi. Para ulama salaf menganggap tradisi literasi yang terjaga dengan baik, akan membangun peradaban bangsa yang kokoh. Itulah mengapa, dari tangan mereka lahir kitab-kitab yang masih relevan dibaca hingga hari ini.

Di era teknologi yang berkembang sangat pesat seperti saat ini, terjadi pergeseran tingkah laku manusia yang luar biasa. Pemenuhan kebutuhan manusia yang semula bersifat konvensional, mengalami penyesuaian-penyesuaian dan digitalisasi di sana-sini. Begitu pula dengan tradisi literasi. Budaya baca tulis para “generasi gadget” juga mulai bergeser. Mereka sebagian besar membaca buku dalam versi digital. Gawai mereka, berfungsi sebagai media untuk mencatat.

Kemudahan mengakses bahan bacaan, seharusnya menjadi cambuk bagi “generasi gadget” untuk bisa lebih produktif dalam memproduksi pengetahuan baru. Khususnya untuk membangun nilai-nilai yang akan mengubah persepsi dan pengetahuan tentang ruang lingkup manusia. Peluang ini, jangan sampai terlewatkan begitu saja. Sebab, dengan pengetahuan itulah peradaban akan terbangun.

Kita tahu, peradaban merupakan hasil daya pikir manusia dalam menjalankan fungsi khalifah. Manusia dikaruniai kemampuan mengenal dan memahami lingkungan hidupnya, untuk membuat perubahan dan penyempurnaan. Karunia yang bahkan tidak diberikan kepada makhluk Allah mana pun. Termasuk malaikat. Di sinilah seharusnya kita sebagai manusia mengambil peran. Dengan demikian, eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir benar-benar terasa, dalam melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan.

Sebagai khalifah, manusia perlu membangun spirit kemanusiaan (hablun min al-nās)  dan spirit ketuhanan (hablun min Allāh). Keduanya merupakan spirit yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Dan untuk memahami jalan-jalan menggapai spirit tersebut, diperlukan penegasan-penegasan pengetahuan, agar manusia terhindar dari lika-liku jalan yang absurd dalam menempuh belantara kehidupan. Penegasan itu, berupa uraian-uraian yang dasarnya telah termaktub dari sumber-sumber yang suci: Al-Qur’ān dan al-sunnah.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 31, Allah mengatakan: wa ‘allama ādama al-asmā’a kullahā. Allah telah menjadikan Adam tahu nama-nama seluruhnya. Salah satu sisi keutamaan manusia dijelaskan pada ayat ini.

Ibnu Athiyyah dalam tafsir Al-Muharrar al-Wajiz menjelaskan, bahwa nama-nama seluruhnya, yaitu nama benda-benda dan kegunaannya yang akan bisa membuat bumi ini menjadi layak huni bagi penghuninya. Yang akan menjadikan bumi jadi ramai dan berdaya. Benda-benda tersebut seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan benda-benda lainnya.

Untuk menguji hal tersebut, Allah memperlihatkan benda-benda tersebut kepada para malaikat dan meminta mereka untuk menyebutkan namanya seraya berfirman: Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar! Artinya, Allah ingin menampakkan kepada malaikat bahwa Nabi Adam layak untuk menjadi khalifah di bumi.

Tentu apa yang Allah sampaikan kepada Adam, bukan hanya berlaku bagi nabi pertama itu saja. Akan tetapi, kata “kullahā” terintegrasi terhadap seluruh keturunan Adam, hingga saat ini. Oleh karena itu, sayang sekali bila Allah memberikan keistimewaan kepada hambanya yang bernama manusia, namun tidak kita sambut keistimewaan itu dengan kerja-kerja berpikir yang optimal.

Al-Qur’an dan al-sunnah, sebagai sumber yang suci, merupakan hasil dari tradisi literasi yang agung. Bahkan, ayat pertama yang Allah wahyukan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad adalah: iqra’. Ayat yang berisi seruan untuk membaca tersebut, didesain kepada hamba Allah yang dikaruniai pikiran.

Dalam sebuah kisah, disebutkan, bahwa pada masa Nabi, kota Madinah menjadi pusat peradaban dan pengetahuan. Nabi Muhammad merupakan madrasah pertama yang mengajarkan Al-Quran kepada para sahabatnya. Ini merupakan bukti, bahwa tradisi literasi sudah ada sejak masa itu. Dari tradisi ini, muncul para sahabat ahli Al-Qur’an dan qira’at semisal Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit.

Atas inisiasi Ustman bin Affan, agar keotentikan Al-Qur’an tetap terjaga, maka dibukukanlah Al-Qur’an, sebagaimana yang kita baca hari ini. Maka dari itu, susunan mushaf  yang ada saat ini, disebut sebagai “mushaf utsmani”. 

Jadi, meski Nabi Muhammad wafat, pengajaran Al-Qur’an dan qira’atnya tetap berlangsung dan eksis dilaksanakan oleh para sahabat kepada para tabi’in. Dari para sahabat itulah para tabi’in memperoleh ilmu dan bacaan Al-Qur’an secara mutawatir dari Nabi. Sebagian dari tabi’in inilah ada yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap Al-Qur’an dan qira’atnya, hingga kemudian dikenal sebagai ahli qira’at.

Salah satu ahli qira’at yang populer adalah Imam Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu‘aim al-Madani. Ia mendapat julukan Abu Ruwaim. Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (salah satu khalifah dari Bani Umayyah), Imam Nafi’ yang dilahirkan sekitar tahun tujuh puluh hijriah adalah salah satu ahli qira’at dari tujuh imam qira’at mutawatirah dan termasuk ulama yang berjuluk Al-Allamah, saleh serta memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang sangat tinggi.

Dalam perjalanan hidupnya, Imam Nafi’ merupakan salah satu dari sekian banyak ulama, yang begitu peduli dengan tradisi literasi. Ia mencurahkan waktunya untuk berkhidmah kepada Al-Qur’an dan qira’atnya. Sebagai bukti, ia telah mengajarkan Al-Qur’an beserta qira’atnya dalam kurun waktu lebih dari tujuh puluh tahun dan menjadi rujukan utama dalam bidang qira’at di Madinah.

Tradisi literasi, selain digunakan untuk menjaga keotentikan Al-Quran, juga menjadi tradisi untuk memahami sudut pandang agama. Terutama dalam aktivitas dakwah dan memproduksi pengetahuan. Hadist-hadist diriwayatkan oleh para imam hadist, menjadi bukti bahwa tradisi literasi juga digunakan untuk menjaga kesahihan suatu hadist. Tradisi menghafal, membaca dan mencatat, merupakan tradisi yang menjadi bagian integral dalam kehidupan ulama salaf.

Imam Bukhari, misalnya, sudah mulai menulis di usia 18 tahun. Ia kemudian menjadi ahli hadist yang cukup masyhur, di antara para ahli hadis yang ada, sejak dulu hingga kini. Bahkan, hadis-hadisnya memiliki derajat yang tinggi. Sebagian besar ulama menisbatkan namanya sebagai Amirul Mukminin fil hadits atau pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal ilmu hadist. Oleh karena itu, hampir semua ulama di dunia merujuk kepada hadist-hadist yang ia riwayatkan.

Ulama lain, misalnya Imam Muhammad bin Jarir at-Thabari. Karyanya berjudul Taarikh Thabari dan Taarikh al-Rusul wa al-Muluuk. Beberapa riwayat menyebutkan, total jumlah lembar kertas yang dihabiskan oleh at-Thabari untuk menulis karya sejak lahir sampai wafat, mencapai sekitar 60 halaman sehari atau bahkan lebih. Ini adalah bukti perhatian para ulama salaf dan dedikasi mereka yang luar biasa dalam dunia literasi.

Para ulama salaf mengisi hari-hari mereka dengan mengkaji kitab, mengajarkan ilmu, menyusun kitab, berfatwa, dan sejenisnya. Tidak hanya itu, mereka juga menulis, dengan berbagai macam kajian ilmu semalam suntuk, membaca di tempat minim cahaya, berjuang mencari alat tulis hingga berakhir menulis pada tulang hewan atau pelepah kurma.

Sebagian kitab-kitab hasil karangan mereka, diajarkan di pesantren-pesantren. Kitab Alfiah Ibnu Malik, Ta’limul Muta’allim Imam al-Zarnûji, Bidayatul Hidayah Imam al-Ghazali, Nashā’ihul Ibad Syekh Nawawi al-Bantani, Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim Syekh Hasim Asy’ari dan beberapa kitab lainnya, masih tetap diajarkan dan dibaca hingga hari ini. Semua yang mereka upayakan ratusan tahun lalu, masih dapat kita petik manfaatnya hingga hari ini. Dengan kata lain, tradisi literasi ternyata memiliki napas yang panjang, yang dapat menyambung generasi ke generasi.

Bila para ulama salaf, dengan segala keterbatasannya bisa menghasilkan karya-karya monumental, maka kita, sebagai “generasi gadget” seharusnya lebih mampu untuk memproduksi pengetahuan, dengan melimpahnya sumber informasi dan pengetahuan, yang bebas kita akses kapan pun kita mau. Pepatah al-muhāfadzatu ‘alā qadīmi al-shalih, wa al-akhdu bil jadīdil ashlah, seharusnya dapat kita jadikan prinsip hidup, untuk menghidupkan kembali tradisi literasi yang ditauladankan oleh para ulama salaf kepada kita, di era teknologi ini.

Saya kira, kehadiran teknologi merupakan bagian dari gerbang pengetahuan yang terbuka, untuk menjaga spirit kemanusiaan dan spirit ketuhanan, sebagaimana dijelaskan di atas. Bukan justru menjadikan teknologi sebagai “tuhan”, dan manusia menjadi “hamba”nya yang tak berdaya. Nauzu bi Allahi min dzālik.