Ada sebuah hadits Rasulullah SAW yang begitu familiar di telinga. Bunyinya: alâ inna fil jasadi mudhgotun, idzâ soluhat soluha al-jasadu kuluhu, wa idzâ fasadat fasada al-jasadu kuluhu, alâ wa hiya al-qolbu—Ingatlah, di dalam tubuh ada segumpal daging, yang bila (segumpal daging itu) baik, maka akan baiklah seluruh (organ) tubuh, dan bila (segumpal daging itu) rusak, niscaya akan rusak pula seluruh (organ) tubuh. Segumpal daging itu bernama hati (qalbu). Predikat hadits ini sahih dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Melalui hadits ini, Rasullah SAW ingin mengajak seluruhnya agar lebih berhati-hati terhadap segumpal daging yang bernama “hati” itu. Sebab, orang yang memelihara kebaikan hati akan selalu merasakan manfaat atau hikmah dari segala sesuatu yang ia lihat, ia dengar, ia perbuat dan ia jalani dalam tapak kehidupannya. Termasuk menumbuhkan rasa cinta kepada Allah SWT.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman: …, jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya, yang dengannya ia mendengar, (Aku) menjadi penglihatan yang dengannya ia melihat, (Aku) menjadi tangan yang dengannya ia memukul, (Aku) menjadi kaki yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan dan jika ia minta ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni, dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi.

Ketika mata hati seseorang terbuka, maka ia akan dapat melihat kenyataan yang sesungguhnya, sekalipun kenyataan itu tersembunyi di balik penampakan luar dunia. Ketika telinga hati seseorang terbuka, ia akan mampu mendengar kebenaran yang tersembunyi dibalik kata-kata yang terucap. Ketika tangan hati seseorang tergerak, terjagalah ia dari sikap dan hal-hal yang tercela. Ketika kaki hati seseorang tertuntun, maka ia akan melangkah di jalan hidayah. Sebagaimana hadits qudsi di atas, Allah melibatkan diriNya untuk menggerakkan hati manusia.

Sebagai seorang hamba dan manusia, tugas kita adalah menjaga hati agar terhindar dari kegelapan. Sebab, hati juga memiliki indra yang dapat melihat, mendengar, dan merasakan peristiwa dan kejadian lebih mendalam dari pada indra lahiriyah. Untuk itu, kita harus mampu untuk mengukur seberapa kuat cahaya yang memancar dari hati kita, agar tidak salah dalam melangkah dan berbuat. Apa saja indra hati itu?

Pertama, akal pikiran adalah mata hati. Boleh jadi, tidak banyak orang menyadari, bahwa akal pikiran manusia memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Seseorang yang menggunakan akal pikirannya, akan membuatnya menjadi orang yang pandai dan pintar. Karena, melalui proses berpikir, seseorang akan terhindar dari ketidaktahuan.

Dalam Al-Quran, surah Ali Imran:190, Allah berfirman: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Maka, tak heran dalam kehidupan modern, para ilmuwan mendapati penemuan-penemuan terkini, yang sebelumnya sulit dijangkau oleh akal, namun kini dapat dibuktikan secara ilmiah. Itu semua tak lepas dari peranan akal pikiran yang Allah berikan kepada manusia untuk difungsikan dengan sebaik-baiknya. Hanya orang-orang “berakal” yang dapat mengetahui “sebagian kecil” ilmu-ilmu Allah yang tersembunyi itu.

Ketika seseorang menjadikan akal pikiran sebagai mata hati, ia tidak sekadar memproduksi pengetahuan secara lahiriah. Lebih penting, itu juga akan mempengaruhi pengetahuan batiniah. Karena, jika seseorang tidak menggunakan akal pikiran sebagai mata hati, akan mudah terjebak dalam urusan yang tidak baik. Misalnya, memproduksi prasangka terhadap orang lain.

Penglihatan hati adalah penglihatan sejati yang tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Dengan akal pikiran, hati akan bisa melihat kearifan pengetahuan secara batin, dengan jalan tafakkur. Dengan demikian, terbuka penglihatan batin seseorang, bahkan untuk mengenal dan mendekatkan diri dengan Allah.

Kedua, kesadaran adalah telinga hati. Kesadaran yang tinggi, sangat diperlukan untuk menjaga martabat seseorang sebagai manusia sejati. Tujuannya, agar ia tidak diperbudak oleh hawa nafsu. Jika hati kita disibukkan oleh kesadaran hati yang positif, maka kemungkinan besar hati kita dapat dengan sadar tidak mudah dirusak oleh bisikan setan yang negatif. Kesadaran hati adalah kesadaran spiritual (ruhiyah), yang merupakan kesadaran yang tumbuh karena kedekatan hubungan seseorang dengan Allah SWT. Kesadaran inilah yang menjadi penampakan dari keimanan seseorang, yang berwujud pada ketaatan.

Khalid bin Ma’dan berkata; dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah bersabda: sungguh berbahagian orang yang ikhlas hatinya lantaran iman, yang menjadikan hatinya bersih, lidahnya jujur, jiwanya tenang, dan akhlaknya lurus. Sumber kesadaran tertinggi adalah kemampuan mendengarkan bisikan spiritual melalui hati nurani. Karena kualitas hidup seseorang ditentukan oleh tingkat kesadaran yang menghasilkan keseimbangan harmonis, antara kesadaran diri dan kesadaran hati untuk selalu berada dalam hidayah Allah.

Ketiga, lisan adalah tangan (penggerak) hati. Hati, sebagai sumber kekuatan yang ada pada diri manusia. Sehingga seseorang mampu menggerakkan seluruh indra dan mempengaruhi otaknya. Dorongan dari hati akan diaplikasikan oleh perkataan, perbuatan, dan sifat seseorang. Bahkan, mulia tidaknya hati seseorang, dapat diukur melalui lisannya.

Kata Ali bin Abi Tholib: lidah orang mukmin berada di belakang hatinya. Sedangkan hati orang munafik berada di belakang lidahnya. Kemampuan seorang muslim untuk mengontrol perbuatannya, ditandai dengan kemampuan mengontrol situasi hatinya. Yakni, dengan cara mencegah atau menjauhi perkataan yang tidak bermanfaat. Berbicara itu mudah. Belajar itu penting. Maka belajarlah berbicara, agar dapat berbicara yang penting-penting dengan cara yang mudah.

Keempat, hati-hati adalah kaki hati. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW menyebutkan: Barangsiapa yang banyak bicaranya, maka banyak pula kesalahan-nya. Barangsiapa yang banyak kesalahannya, maka sedikit malunya. Barangsiapa yang sedikit malunya, maka sedikit kehati-hatian dalam beragama. Barangsiapa yang sedikit kehati-hatiannya, maka mati hatinya. Dan barangsiapa yang mati hatinya, maka ia akan masuk neraka.

Hati adalah rumah takwa. Jika seseorang selalu mengingat bahwa setiap kata-kata dan tindakan dapat mendekatkan dan menjauhkannya dari Allah, maka ia akan jauh lebih sadar dan lebih berhati-hati dalam seluruh tindakannya. Maka, kehati-hatian seseorang merupakan langkah untuk memasuki pintu takwa.

Kelima, pengendalian nafsu adalah puasa hati. Ada tiga tahap tingkatan nilai ibadah puasa, yaitu sebagai berikut: puasa orang awam yang sekedar menahan rasa dahaga, lapar dan hubungan seksual; puasa orang khusus yang bukan sekedar menahan dahaga, lapar dan hubungan seksual, tetapi juga mampu menahan indranya dari perbuatan dosa; puasa orang super khusus (khawas alkhawas), selain sanggup menahan keempat hal di atas, ditambah dengan peningkatan kualitas ibadah dengan baik.

Pada tahap yang ketiga inilah, seseorang akan benar-benar mampu mengaplikasikan esensi dari ibadah puasanya, yaitu pengendalian dan pendidikan hawa nafsunya kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah: wa mâ kholaqtu al-jinna wal insa illâ liya’budûn. Inilah puncak tertinggi pendakian target puasa yang bisa memposisikan seseorang pada keseimbangan lahiriah dan ruhaniah yang optimal.

Harus diakui bahwa menjaga (mempertahankan) itu lebih sulit jika dibanding dengan menggapai atau memperolehnya. Termasuk dalam urusan ibadah. Salah satu kunci sukses ibadah adalah kesesuaian hati (niat), perkataan dan perbuatan yang semata hanya untuk meraih rida Allah SWT.

Perlu diketahui bahwa salih tidaknya manusia itu, tidak ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya. Akan tetapi ditentukan oleh kesehatan hatinya. Hati itu bagaikan panglima atau lokomotif. Maka dari itu doa yang harus sering kita baca termaktub dalam surah Ali Imran ayat 8: Rabbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba’da idz hadaitanâ wa hablanâ min ladunka rahmatan innaka anta al-wahhâb—Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami pada kesesatan, setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya, Engkau Maha Pemberi (rahmat).

3 thoughts on “Indra Hati

  1. Zamrotul Aqidah says:

    Maa syaa Allah setelah baca karya almukarromah Ny. H. Zahroh lebih tersadarkan akan pentingnya menjaga hati yg merupakan sumber ketenangan.

  2. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz says:

    Subhanallah.
    Barokallah.

    Sangat Bagus Sekali Dan Menginspirasi.
    Terimakasih Bu Nyai.

    Semoga Panjenengan Sekeluarga Senantiasa Sehat Wal ‘Afiyat Serta Dalam Lindungan Dan Ridho Allah SWT. Amien Yaa Rabbal ‘Alamin.

    PP. Baron Nganjuk Jawa Timur
    1. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz Alumni MTA 2006 M Dan IDIA 2010 M
    2. Usth. Riskiyatun, S.Th.I Alumni IDIA 2010 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.