“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Al-Qalam:68:4)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti, kelakuan atau etika.

Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika hanya dibatasi pada sopan santun atau tingkah laku lahiriah, Akhlaq dalam ajaran agama berkaitan dengan sikap atau tingkah laku makhluk terhadap semesta, sesama manusia dan Penciptanya.

Di atas sedikit penulis menjelaskan pengertian akhlak, ringkasnya, akhlak adalah sikap hati maupun pikiran yang selaras dengan tingkah laku Iahiriyahnya, sedangkan karimah berarti mulia, baik dan terpuji. Dalam pengertiannya, akhlakul karimah adalah sikap atau tingkah laku manusia yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan berpedoman kepada Hadist Rosul dalam prakteknya. Jadi, secara garis besar seseorang belum bisa dikatakan berakhlakul karimah walaupun dia ”menjalankan” perintah Allah dalam Al-Qur’an, tetapi jika ia tidak mengikuti tauladan dan tuntunan Rasulullah tentang bagaimana seharusnya bersikap dan berprilaku, kenapa demikian ..?, karena Rasulullah sebagai manusia yang memiliki  akhlakul karimah, dalam surah al-Qalam [68]:4) ditegaskan “”Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) sangat berbudi luhur”.

Kata akhlak tidak ditemukan dalam Al- Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qalam [68]:4). Namun, kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi SAW. Jadi, Apabila perbuatan yang dilakukan itu baik dan terpuji, kemudian selaras dengan tatanan dan tuntunan Rosulullah, maka perbuatan itu dinamakan akhlak yang mulia atau akhlakul karimah.

Sa’ad bin Hisyam datang kepada Siti ‘Aisyah r. a. dan bertanya, “Ceritakanlah kepadaku bagaimana akhlak Rasulullah SAW.?” Maka jawab ‘Aisyah, “Akhlak Nabi SAW. Itu adalah Al-Qur’an (HR. Ahmad)., yakni selalu menurut dan melaksanakan tatanan dan tuntunan Al- Qur’an dan menjauhi larangannya, di samping sifat-sifat aslinya yaitu pemaaf, rendah hati, bijaksana, sabar, dan sopan santun. Dalam hadist lain ‘Aisyah r.a. berkata, “Tangan Rasulullah SAW..tidak pernah digunakan memukul istri atau pelayan maupun budak, bahkan belum pernah digunakan memukul sesuatu kecuali dalam perang fisabilillah, dan tiada disuruh memilih dua macam melainkan memilih yang lebih ringan, selama tidak berupa dosa dan ia sangat jauh daripadanya, dan tidak suka membalas untuk kepentingan dirinya, kecuali jika terjadi pelanggaran terhadap hukum agama ia sangat marah semata-mata karena Allah (HR Ahmad).

Dalam surah (Al-A’raf [33]:21), Allah swt berfirman, Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh: Jabir bin Abdillah menjelaskan Ketika turun ayat ini, Nabi Muhammad SAW. bertanya kepada Jibril as. “Apakah maksud ini hai Jibril?”Jawab Jibril, “Sesungguhnya Allah menyuruhmu memaafkan terhadap orang-orang yang menganiayamu, dan memberi kepada orang yang bakhil kepadamu dan menyambung kembali hubungan orang yang memutus hubungan kepadamu”. Demikianlah Rasulullah dalam mencontohkan bagaimana akhlakul karimah tersebut. Beliau adalah hamba Allah yang secara sempurna menjalankan semua isi Al-Qur’an. Namun walau begitu dalam prakteknya beliau tidak pernah membabi buta tanpa peduli terhadap perasaan orang lain.

Akhlakul karimah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah sikap yang mendatangkan kebaikan kepada kita yang sekaligus mendatangkan kebaikan pula bagi orang lain.

Menurut penulis, Akhlaq karimah mencakup tiga unsur, yaitu: perkataan, perbuatan dan sifat, tiga unsur itulah yang dituntut untuk selalu beroperasi dalam rel akhlakul karimah baik bagi subyek maupun obyeknya.

Pertama, berakhlakul karimah dalam perkataan, adalah perkataan yang mendatangkan karimah (kemuliaan dan kebaikan) bagi diri sendiri (subyek) dan bagi orang lain (obyek).

Contoh: ketika ada seseorang yang mengajak kepada kebaikan dengan mengucapkan kata-kata dan cara yang menyakiti (hati,perasaan) orang yang diajaknya, maka “perkataan” yang demikian belum  bisa di sebut sebagai perkataan yang karimah karena hal itu hanya baik bagi pribadi subyek tetapi melukai orang yang diajaknya (obyek). Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ditanya tentang wanita yang banyak melakukan salat, puasa dan sedekah, tapi dia sering menyakiti tetangganya dengan mulutnya. Nabi bersabda: “Dia akan di neraka” (HR. Ahmad)

Sebaliknya, ketika kita mengajak seseorang kepada suatu kebaikan dengan cara dan kata-kata yang baik , tanpa ada unsur menyakiti, tetapi, orang yang mengajak justru tidak melakukannya, maka hal ini juga di murkai oleh Allah (As-shaffat: 3).

Contoh di atas adalah sebagian contoh dari akhlaq yang belum sempurna “karimah” nya dalam perkataan. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara kebajikan disisi lain dan kedholiman disisi lainnya.

Kedua, yaitu akhlak karimah dalam perbuatan. Suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan yang berakhlak karimah apabila perbuatan tersebut mendatangkan karimah bagi yang melakukannya dan bagi orang lain.

Namun, suatu perbuatan bukan bernilai akhlak karimah ketika “karimah” (kemuliaan dan kebaikan) hanya bagi yang melakukannya tapi tidak bagi orang lain yang menjadi objeknya.

Contoh: seseorang yang ingin berada di shof paling depan dalam sholat berjamaah untuk memperoleh keutamaan pahala,  tetapi cara yang dilakukan untuk mencapai tujuannya tersebut, ia mengusir paksa jamaah lain yang telah lebih dulu datang dan berada di shof tersebut.

Sebaliknya, perbuatan yang hanya mendatangkan “karimah” (kemuliaan dan kebaikan) bagi orang lain tetapi tidak bagi pelakunya, seperti, seorang yang menghutangkan harta untuk orang lain yang membutuhkan bantuan dana dengan cara memberikan uang hasil berhutang, sedangkan dirinya tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya, dan hak keluarga di bawah kewajibannya tidak terpenuhi olehnya.

Ketiga, Demikian pula dalam sifat yang berakhlakul karimah, yakni sifat yang mendatangkan karimah bagi pribadi pelakunya dan bagi orang lain disekitarnya.

Kita diperintahkan untuk menghindari sifat yang mendatangkan karimah bagi diri pribadi tetapi tidak bagi orang lain, seperti, sifat bakhil, demikian juga sifat boros yang hanya mendatangkan kebaikan bagi orang lain tapi justru merugikan bagi yang melakukannya. Sebagaimana larangan dua hal tersebut ditegaskan dalam Al-Qur’an surah al- isra’ [17]:29)

“Dan janganlah kamu jadikan tangan mu terbelenggu pada lehermu (bakhil) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”.

Penerapan akhlakul karimah.

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. (Al- Nisaa’ {4}; 80)

Ayat di atas menunjukkan kepada kita agar mentaati dan mematuhi ajaran, tuntunan serta menjadikan Rosulullah sebagai teladan dalam segala hal termasuk dalam berakhlaq.

Sesuai tuntunan Allah yang Dia contohkan dalam diri kekasih-Nya Muhammad, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 21)

Uswatun hasanah sebagai totalitas gambaran hidup Rasulullah yang mencangkup perkataan, perbuatan serta sifat beliau.

Akhlakh karimah merupakan hal yang penting dan perkara utama yang harus diutamakan oleh setiap orang-orang mukmin.

Beliau juga bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur”. (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).

Dalam banyak hadits, Rasulullah SAW menunjukkan kepada kita sebuah kenyataan penting, bahwa yang paling banyak menghapuskan pahala amal perbuatan kita justru adalah dosa-dosa sosial. Dalam sebuah hadist dikisahkan bahwa,

suatu hari, Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut itu adalah orang yang tidak memiliki uamg dan tidak memiliki harta kekayaan. “Beliau menolak jawaban tersebut dan justru berkata, “Orang yang bangkrut itu adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala dari ibadah shalat, puasa dan zakat yang pernah dilakukannya. Tetapi ia juga tercatat pernah mencaci si fulan, pernah menuduh si fulan, pernah memakan harta si fulan, pernah menumpahkan darah si fulan, dan pernah memukul si fulan. Maka pahala-pahala kebaikannya itu akan diambil dan diberikan kepada orang- orang yang pernah ia sakiti. Jika pahala-pahala itu tidak cukup untuk menebus dosa- dosanya, maka dosa-dosa orang yang pernah ia sakitilah yang akan diambil untuk kemudian ditimpakan kepadanya. Akibatnya, ia akan kehilangan seluruh pahala amal perbuatannya dan, lebih dari itu, juga akan menanggung dosa-dosa dari orang yang pernah ia sakiti. Maka ia pun akan dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).

Hadits diatas,  menunjukkan bahwa amal ibadah yang kita lakukan bisa kehilangan nilainya sama sekali lantaran perkataan, sikap atau perbuatan yang menyakiti orang lain. Dengan demikian, jika kita ingin mewarisi akhlak karimah Rasul kita, maka kita harus menjadi lebih baik secara sosial, berusaha secara terus menerus untuk membantu dan membahagiakan orang lain.

Kita seringkali meremehkan perbuatan-perbuatan kecil yang bisa membahagiakan orang lain. Bukankah Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan bahwa perkataan yang baik bisa menggantikan, atau bahkan lebih bernilai daripada, sedekah? Dinyatakan dalam al-Qur’ an, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Dan Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun. (al-Baqarah [21: 26.3)

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW. juga pernah bersabda, “Hindarilah api neraka, meski hanya dengan menyedekahkan separuh butir kurma. Jika itu pun tidak ada, maka cukuplah dengan perkataan yang baik. ” (HR Bukhari dan Muslim).

Meremehkan kebaikan-kebaikan yang sederhana bertentangan dengan ajaran Islam. Bukankah Rasulullah SAW. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabda, “Janganlah engkau menghina perbuatan baik sekecil apapun, meski itu sekedar memuji saudaramu dengan wajah yang berseri-seri. ” (HR Muslim).

Rasulullah SAW. juga pernah bersabda, “Tersenyum di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR Tirmidzi, Ibn Hibban, dan Thabrani).

Dengan demikian, jika kita tahu bahwa tersenyum, memasang wajah ceria, atau berkata-kata dengan baik kepada orang lain bisa bernilai sangat tinggi di hadapan Allah dan Rasul-Nya, maka marilah kita berusaha untuk tidak melewatkan setiap kesempatan berbuat baik kepada saudara-saudara kita, sekecil apapun kesempatan itu, karena yang demikian merupakan bagian dari tahapan proses dalam membentuk akhlakul karimah dalam diri kita. Maka marilah kita menyempurnakan akhlaq menuju karimah dengan melakukan (kebaikan) yang sempurna “karimah”nya bagi subyek dan obyeknya, sekecil apapun, sembari pada saat yang sama, kita hindari setiap perbuatan yang menyakitkan. Kalau tidak bisa membahagiakan orang lain, maka janganlah kita menyakitinya. Kalau tidak sanggup membuat seseorang gembira, maka janganlah kita membuatnya bersedih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.