Banyak buku yang dijual di pasaran memuat testimoni berisi pujian. Orang-orang menyebutnya endorsement. Biasanya, testimoni-testimoni itu diletakkan di bagian awal, atau di bagian akhir, atau bahkan di sampul buku, depan maupun belakang. Seringkali jumlahnya lebih dari satu. Baru-baru ini, misalnya, saya membaca sebuah buku terjemahan dari Bahasa Inggris yang memuat 18 testimoni di empat halaman paling depan yang seluruhnya, tentu saja, berisi pujian. Salah satunya bahkan berbunyi demikian: “Saya ingin membeli semua cetakan buku ini, lalu membagikannya kepada semua orang yang saya kenal”.

Bahwa pencantuman beragam testimoni itu dilakukan sebagian besarnya untuk tujuan-tujuan komersial, saya pikir memang demikian. Termasuk di dalamnya penautan label “best-seller” yang mungkin kriterianya tidak benar-benar jelas bagi kita, para pembacanya. Tetapi, selain itu, testimoni-testimoni tersebut juga menggarisbawahi sebuah prinsip tentang pengakuan dalam dunia kepenulisan secara khusus, atau dalam dunia akademis secara umum. Pengakuan itu datang dari kolega. Penulis yang baik adalah penulis yang diakui baik oleh kolega-koleganya sesama penulis. Karena itu, testimoni-testimoni yang tercantum dalam banyak buku biasanya tidak diberikan oleh sembarang orang, melainkan oleh mereka yang juga penulis buku, atau lebih khusus lagi: mereka yang menggeluti bidang keilmuan yang sama. Lebih baik lagi jika pengakuan itu diberikan oleh orang yang dianggap “otoritatif” pada bidang tersebut. Tetapi karena pencantuman endorsement itu terkadang dilakukan demi tujuan pemasaran, maka yang menulisnya kemudian bisa siapa saja. Bisa pejabat atau artis. Yang penting populer atau ditokohkan oleh publik.

Seorang penulis memang terkadang merasa perlu menunjukkan buku yang akan diterbitkannya untuk dibaca dan dikomentari orang lain. Itu bukan sesuatu yang baru. Sejak dulu, para ulama biasa melakukannya. Bagi mereka, itu adalah tahapan sangat penting sebelum sebuah buku bisa disebut selesai dan siap disebarluaskan. Al-Awzāʿī (w. 157 H.) bahkan menyatakan bahwa orang yang menulis sesuatu tanpa minta dibaca oleh orang lain sama seperti orang yang buang air lalu tidak bercebok. “Matsal al-ladzī yaktub wa lā yuʿāridh mitsl al-ladzī yadkhul al-khalāʾ wa lā yastanjī”.

Dalam sejarah, contoh-contohnya melimpah. Ada sebuah artikel, ditulis tahun 2021 oleh ʿImād ʿAlī, berjudul ʿArdh al-Muḥadditsīn Mushannafātihim ʿalā Masyāyikhihim. Artikel itu mendaftar banyak nama. Wilayahnya memang terbatas pada disiplin ilmu Hadits. Salah satu nama yang disebut adalah Ibn Jurayj (w. 150 H.), seorang ulama Fiqih dan Hadits yang wafat di Baghdad. Ia menulis Kitāb al-Ḥajj. Draf kitab ini, dalam pengakuannya sendiri, ia perlihatkan ke banyak orang untuk dibaca. Dari mereka, ia kemudian memperoleh banyak masukan untuk menyempurnakan buku tersebut. Mālik b. Anas (w. 179 H.) konon juga mengajukan kitab al-Muwaṭṭaʾ yang disusunnya kepada 70 orang ulama Madinah. Mereka semua mengapresiasi kitab tersebut. Karena itu, Imam Mālik kemudian menamainya al-Muwaṭṭaʾ yang salah satu artinya adalah “yang telah dibersihkan dari rintangan”. Apresiasi puluhan ulama itu agaknya menghilangkan semua rintangan yang menghalangi buku itu “diterbitkan”. Al-Bukhārī (w. 256 H.) adalah contoh yang lain. Ia, kita tahu, adalah penulis kitab Ṣaḥīḥ yang tersohor. Sebelum diajarkan dan disebarluaskan, kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī ini terlebih dahulu ia perlihatkan kepada tiga ulama besar yang sekaligus menjadi guru-gurunya, yaitu Aḥmad b. Ḥanbal, Yaḥyā b. Maʿīn, dan ‘Ālī b. al-Madīnī. Secara garis besar, mereka semua mengapresiasi dan memuji kitab tersebut. Namun ada di antara mereka yang mengkritik beberapa hadits dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan menganggapnya sebagai hadits-hadits yang tidak memenuhi kualifikasi untuk disebut sahih. Konon, jumlahnya empat hadits. Saya tidak tahu persis apakah al-Bukhārī kemudian tetap memasukkan hadits-hadits yang dikritik itu ke dalam kitab Ṣaḥiḥ-nya atau tidak.

Meski sudah biasa dilakukan, namun hasil penilaian atau testimoni itu awalnya tidak ditulis khusus untuk dimasukkan sebagai bagian dari buku yang hendak “diterbitkan”. Saya memang tidak punya data pastinya, tapi saya kira fenomena terakhir ini muncul jauh lebih belakangan, terutama setelah mesin cetak ditemukan. Dalam kitab-kitab berbahasa Arab, kita kemudian menyebutnya dengan taqrīzh,semacam apresiasi atau ulasan apresiatif yang diberikan oleh seorang tokoh untuk sebuah karya tulis dan biasanya dimasukkan ke dalam edisi cetak dari karya tersebut. Format awalnya relatif pendek dan sederhana, hanya berisi pujian dan penekanan tentang pentingnya buku tersebut untuk dibaca dan ditelaah. Belakangan, sebagian taqrīzh itu berubah menjadi lebih panjang dan kompleks. Banyak orang kemudian memilih istilah “taqdīm”, semacam “pengantar” yang bertujuan untuk mengantarkan pembaca kepada sebuah buku yang hendak dibacanya, namun ditulis bukan oleh penulis buku tersebut. Dewasa ini, keberadaan “pengantar” dalam buku-buku yang beredar di pasaran adalah sesuatu yang sangat lazim.

Perkembangan istilah “taqrīzh” menjadi “taqdīm”itu sebagiannya disebabkan oleh persoalan bahasa dan makna. Secara leksikal, taqrīzh memang bermakna “pujian untuk seseorang yang masih hidup”. Persoalannya, ulasan terhadap sebuah buku seringkali tidak hanya berisi pujian, tapi juga kritik dan saran, atau bahkan uraian panjang lebar tentang tema yang diangkat oleh buku tersebut. Karena alasan itulah, istilah taqrīzh kemudian dirasa kurang memadai,dan istilah taqdīm atau yang sejenis dengannya dipilih sebagai alternatif.

Menariknya, taqrīzh itu ternyata tidak betul-betul asing di Pondok kita. Ada sebuah buku berbahasa Arab karya kiai kita di Al-Amien yang pernah memperoleh taqrīzh, yaitubuku Ilmu Sharf yang ditulis oleh Kiai Idris. Judul lengkapnya: Al-Qawāʿid al-Sharfiyyah, Mabāḥits ḥaula al-Kalimāt al-ʿArabiyyah fī Ḥāl Ifrādihā. Yang menulis taqrīzh-nya adalah Syekh Muḥammad Yāsīn al-Fādānī al-Makkī, seorang ulama keturunan Padang yang lahir dan besar di Mekah. Sampai cetakan paling mutakhir, taqrīzh yang ditulis oleh Syekh Yāsīn itu terus dicantumkan di salah satu halaman awal, dalam bentuk yang masih berupa tulisan-tangan beliau sendiri.

Bagi saya, taqrīzh ini adalah dokumen yang sangat bernilai. Pertama, karena sosok pemberi taqrīzh-nya. Kita sama-sama tahu reputasi Syekh Yāsīn al-Fādānī sebagai ulama, terutama di bidang hadits. Sekadar dengan melihat gelar “musnid al-ʿashr” atau “musnid al-dunyā” yang disandangnya, kita sudah cukup memperoleh bukti tentang reputasi beliau yang mendunia. Kedua, tentang peran yang diambil oleh kiai-kiai kita dahulu. Penyusun bukunya memang Kiai Idris. Tapi taqrīzh itu bukan tentang beliau semata. Tanggal yang tercantum dalam taqrīzh itu adalah 22 Muharram 1405 H., sekitar bulan Oktober 1984 M.. Pada tahun tersebut, Kiai Tidjani masih di Mekah, dan beliau dikenal memiliki kedekatan khusus dengan Syekh Yāsīn. Melalui Kiai Tidjani-lah, draf kitab Sharf karya Kiai Idris itu sampai ke tangan Syekh Yāsīn. Bukan hanya itu, saya juga menduga bahwa kedekatan hubungan antara Kiai Tidjani dan Syekh Yāsīn berpengaruh dalam keputusan Sang Musnid al-Dunyā ini untuk menuliskan taqrīzh tersebut. Begitulah kiai-kiai kita dahulu mengambil peran masing-masing, berkolaborasi, lalu melahirkan warisan yang menyejarah. Ketiga, tentu karena isinya. Taqrīzh itu betul-betul merupakan apresiasi dan endorsement. Saya mencoba menerjemahkan beberapa bagian darinya berikut ini.

“Telah saya periksa buku al-Qawāʿid al-Sharfiyyah karya saudara yang mulia, Syekh Muhammad Idris Jauhari. Saya mendapatinya sebagai buku yang mudah dicerna (sahl al-tanāwul), gampang dipahami (qarīb al-maʾkhadz), tidak bertele-tele dan tidak rumit (lā ḥasyw fīhi wa lā taʿqīd). Buku pengantar semacam ini sangat layak untuk dimiliki dan diberi perhatian, terutama oleh murid-murid yang tekun, karena ia bisa membuka bagi mereka pintu ilmu [Sharf] ini dengan mudah dan gampang. Semoga Allah membalas penulis kitab ini dengan sebaik-baik balasan dan menjadikan karyanya bermanfaat bagi anak-anak kita yang cerdas. Menjadikan buku ini sebagai salah satu buku pegangan di pesantren-pesantren (al-maʿāhid al-Islāmiyyah) adalah sesuatu yang baik dan dianjurkan karena ia, dengan gaya bahasanya yang mudah, bisa mengungguli banyak buku Sharf lain yang sudah beredar selama ini.”

Syekh Yāsīn wafat pada tahun 1990. Kiai Tidjani pada tahun 2007. Kiai Idris di tahun 2012. Taqrīzh di atas adalah jejak silaturrahim mereka. Silaturrahim keilmuan. Bukankah seringkali dinyatakan, “al-ʿilm raḥim bayna ahlihī”—ilmu itu adalah rahim yang menyatukan para pemiliknya, para ahl al-ʿilm? Saya mengenangnya dengan doa: semoga kita semua diberi kemampuan untuk mengambil manfaat dari karya-karya para kiai kita seperti yang diharapkan oleh Syekh Yāsīn dalam taqrīzh tersebut. Lebih jauh lagi, saya juga berharap bahwa dari rahim Pondok kita, akan terus bermunculan karya-karya lain yang tidak kalah besar manfaatnya. Amin.

One thought on “Taqrīzh

  1. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz says:

    Subhanallah.
    Barokallah.

    Sangat Bagus Sekali Dan Menginspirasi.
    Terimakasih Atas Ilmu nya Pak Kiyai.

    Semoga Panjenengan Sekeluarga Senantiasa Sehat Wal ‘Afiyat Serta Dalam Lindungan Dan Ridho Allah SWT. Amien Yaa Rabbal ‘Alamin.

    PP. Baron Nganjuk Jawa Timur
    1. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz Alumni MTA 2006 M Dan IDIA 2010 M
    2. Usth. Riskiyatun, S.Th.I Alumni IDIA 2010 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.