Suatu malam, seusai meneguk segelas minuman herbal, saya menerima pesan tak terduga dari seorang kawan di seberang. Kalimatnya nyaris sama dengan beberapa alumni yang menghubungi saya, yakni sudilah kiranya saya bertanya pada Nyai Nazlah—saya memanggil beliau Puan Guru—terkait, berkenan tidaknya beliau mendengarkan masalah kawan saya ini.

Bila begini, wahai Pembaca Budiman, saya bakal menjawabnya, “Oke, siap. Aku tanya ke Puan Guru, ya. Tapi, apa masalahmu dulu, Kawan? Umpama nanti beliau tanya tentang apa, dan aku tak bisa jawab, rasanya kurang elok.”

Saya kira, kawan saya tadi bakal jawab secara garis besar saja. Tapi, dugaan saya keliru. Dia menceritakan masalah yang tengah dihadapi lewat pesan berjibun-jibun, dan saya terbelalak mendapati kalimat akhir.

“Aku ingin mati saja kalau begini. Aku sudah gak kuat. Di depan ada bensin eceran. Lebih baik aku mati sama anakku.”

Alamak, kata saya dalam hati. Tapi dasar saya yang tidak memiliki ilmu konseling, malah saya membalasnya begini.

“Kau tak sedang bercanda kan, Kawan?”

“Mana ada orang ingin bunuh diri bergurau, Riel?”

“Ya, kali, kamu ngeprank aku malam-malam begini.”

Percakapan terus berlanjut meski dihiasi kalimat-kalimat mencekam, sampai akhirnya saya bertanya, “Kau jadi konseling dengan Puan Guru, kah?”

Agak lama dia menimbang pertanyaan saya lantas membalasnya lewat kalimat, “Aku malu, Riel. Aku tak kenal dekat dan tak pernah berhubungan dengan beliau sebelumnya.”

Jawaban kawan saya ini sudah bisa ditebak. Beberapa alumni yang menghubungi saya dan melakukan hal serupa, kadang berakhir tanpa berkirim pesan ke Puan Guru. Penyebabnya karena sungkan atau gemetar dulu sebelum mengetik salam.

Malah pernah ada seorang kawan yang bertanya dulu kepada saya sebelum dia menghubungi Puan Guru.

“Aku bayar berapa setelah konseling ini, ya, Riel?”

“Ha? Bayar?”

“Maunya? Di mana-mana, ya, bayar, Riel. Di sini temanku habis berjuta-juta buat ke psikolog?”

“Astaga,” kata saya. “Sebentar, aku tanya dulu.”

Saya pun menghubungi Puan Guru dan bertanya soal tarif konseling. Sialnya, beliau malah tertawa usai membaca pesan saya.

“Bayar doa aja gimana? Doaaa terus meski saya sudah mati. Mau?”

“Kenapa? Kenapa Antum tak minta bayaran? Bukankah psikolog-psikolog di luar ada tarifnya?”

“Karena bukan untuk komersil, Riel. Lagipula, tidak semua hal harus dijawab dengan uang.”

Sejenak saya terdiam mendapati jawaban beliau, hingga akhirnya pesan tersebut saya teruskan ke kawan saya tadi. Tak lupa pula saya menambahkan beberapa kalimat di akhir.

“Kita salah orang, Cuuy. Sudah tahu kita pernah nyantri yang jelas-jelas pondok mengajari keikhlasan, kita masih nanya beginian. Apalagi beliau seorang Nyai. Ya, bukan bayaran tujuan utamanya. Hadeeuu.”

Pembaca Budiman yang saya hormati, dua kawan ini hanya segelintir dari beberapa alumni yang kebetulan meminta saya menjadi ‘perantara’ masalah hidup mereka dengan Puan Guru. Saya sangat yakin, selaku tuan rumah eL-PsikA di Putri, jumlah klien beliau tidak lagi bisa dihitung. Tapi, bukan soal kuantitas yang menjadi persoalan. Bukan pula soal kasus yang beragam. Atau saya hendak mengultuskan beliau selaku pemilik otoritas tertinggi di eL-PsikA Putri. Bukan. Bukan itu. Saya hanya ingin berbagi terkait bagaimana selama 2 tahun ini, saya belajar dari Puan Guru dalam menghargai psikologis orang lain. Kendati sebetulnya saya tidak memiliki ilmu mumpuni dan masih terus belajar hingga kini.

Begini, tiap insan yang bernyawa, rasa-rasanya memiliki masalah hidup yang beragam. Tak jarang masalah ini mempengaruhi tingkah laku sehari-hari padahal mental tiap orang berbeda-beda. Sialnya, iklim masyarakat kita kurang peduli terhadap isu kesehatan mental. Kawan saya yang ingin mengakhiri hidup, misalnya. Umpama dia betul-betul bunuh diri lalu tersebar di media sosial, maka tidak sedikit yang menghakimi dan menghujatnya lewat kalimat-kalimat cacian. Dan saya yakin, tidak sedikit pula yang mempertanyakan keimanannya padahal ia pernah menyantri.

Keyakinan saya ini tidak muncul begitu saja. Keyakinan ini lahir dari penuh sesaknya kolom komentar media sosial di mana portal berita memposting kasus seorang ibu yang bunuh diri bersama anaknya, maka warganet berbondong-bondong menghujatnya tiada ampun. Ada yang menyebutnya bodoh, tidak beriman, iblis jahanam, tidak bersyukur bahkan ada yang menyebutnya dengan nama binatang lantaran mengajak anaknya mengakhiri hidup.

Saya memang tidak membenarkan perbuatan ibu tersebut. Akan tetapi, bisakah kita sedikit saja berempati ketika orang lain terluka, kita tidak mengeluarkan kata-kata menyakitkan, baik lewat lisan maupun ketikan? Dari sependek pengetahuan saya, dari cerita kawan-kawan termasuk beberapa alumni yang ingin mengakhiri hidup, sebetulnya yang kita butuhkan tidak selamanya berupa solusi. Cukup didengar saja keluh kesahnya. Ya, cukup itu. Kita cukup menjadi pendengar yang baik atau bila kita yang memiliki masalah, cari tempat cerita yang tepat.

Sayangnya, menemukan tempat cerita yang tepat bukan perkara mudah. Belum lagi karakter seseorang yang tak mudah cerita ke orang lain. Belum lagi ketika kita cerita justru dihakimi, bukan dirangkul. Belum lagi ketika kita cerita, malah diremehkan, atau malah dibandingkan dengan masalah si pendengar. Belum lagi stigma dari masyarakat yang menyebut kita tak waras bila ketahuan konseling dengan psikolog.

Salah-salah bukannya lega usai bercerita, malah menambah sesak di dada dan kepala. Dan ini yang saya tangkap dari keberadaan eL-PsikA selama ini. Maka, tak heran, ketika seorang kawan selesai membaca novel terbaru saya, dia tidak menyangka jika tempat saya menyantri memiliki lembaga psikologi.

Tetapi, kata saya padanya, stakeholder pesantren pada dasarnya merangkul semua santri selama 24 jam. Mulai dari pengurus kamar, musyrifah, wali kelas sampai para nyai dan kiai, seluruhnya memperhatikan santri. Namun dalam keadaan tertentu, kita butuh bantuan dari ahli.

“Misalnya?” ujar kawan saya kian penasaran.

“Masalah yang dihadapi santri bukan sekadar telatnya kiriman bulanan atau beratnya setoran hafalan. Tapi masalah santri, juga bisa berasal dari luar kendali dirinya sendiri. Contoh, orang tua di rumah yang bertengkar lalu memutuskan bercerai. Mau tidak mau, pasti cerita ke anak yang ada di pesantren, bukan? Apa yang terjadi selanjutnya? Kemungkinan besar, psikologis anak ini akan terganggu. Belajarnya juga ikut terganggu. Mentalnya juga terganggu. Dan bisa jadi, dia melampiaskannya dengan melanggar aturan pondok. Maka, di sinilah peran psikolog dibutuhkan karena ada pendampingan dan terapi tertentu yang dilakukan oleh ahlinya.”

“Aku ingin sowan ke Madura, Mbak. Mau ke pesantren tempat sampean nyantri.”

“Oh, tentu. Saya siap keliling untuk itu,” jawab saya meyakinkan.

Saya memaklumi mengapa ia ingin ke Madura dan melihat secara langsung atas apa yang saya ceritakan padanya. Pertama, ia mengalami apa yang dialami salah satu tokoh di novel.

Pembaca budiman yang saya ta’dzimi.

Novel saya yang berjudul “Berapa Jarak Antara Luka dan Rumahmu?” ini memang meraih juara 2 dalam sayembara novel Islami yang diadakan oleh Gramedia Writing Project vs Elex Media Komputindo. Namun, ada sesuatu yang jauh lebih bermakna dari sekadar label juara, yakni novel ini saya garap khusus untuk Puan Guru.

Selaku murid yang ingin mempersembahkan karya terbaik untuk gurunya, saya berusaha betul agar novel ini memiliki cita rasa mental health kendati kadar di dalamnya tak begitu banyak. Maka, jatuhlah pilihan dengan menulis novel bernuansa pesantren di mana salah satu tokoh berasal dari kisah nyata. Sebutlah Kinar yang tak lain sahabat saya selama menyantri. Waktu itu, ibu sahabat saya ini wafat sebelum ia pergi ke pesantren. Tapi belum sampai setahun di pondok, ayahnya menyusul pergi.

Sekembalinya ke pondok, ia melanggar syariat sebulan lebih. Saya lupa, apakah ia tidak shalat jamaah atau meninggalkan shalat, namun di dalam novel, saya menulis pilihan kedua. Alasannya, karena saya mengingat kalimat yang ia lontarkan sebelum membuat BAP, dan saya mengetahui hal ini karena diceritakan Baperdat yang membawanya ke MPO. Tentu saja, redaksi kalimatnya tidak persis sama seperti di bawah ini.

“Buat apa saya shalat, sedangkan orangtua saya wafat? Buat apa saya tetap menyantri sementara satu-satunya motivasi saya menyantri adalah membuktikan pada Bapak kalau saya bisa lulus dari sini. Tapi Bapak sudah pergi,” jawabnya.

Karena luka kehilangan dan kegoncangan batin inilah, usai mengenakan pita, ia diminta konseling bersama Puan Guru. Waktu itu, kami kelas 5. Sesi konseling bukan di ruang eL-PsikA lama melainkan di rumah Alm. Kiai Idris. Tiap sore, kami jalan ke selatan. Barangkali karena saya kawan dekatnya, jadi, saya diminta membersamai si ‘Kinar’ selama sesi konseling. Kadang Puan Guru yang menemui, dan tak jarang Kiai Amir yang beri nasihat. Suatu waktu, kawan saya ini diminta berselimut sarung almarhum bapaknya sebelum tidur. Alasannya, karena luka akan sembuh bila kita tidak berlari. Seperih apa luka itu, kita harus hadapi.

Maka, usai diberi nasihat begitu, kawan saya ini mempraktikkannya. Sungguh, ingatan akan malam itu dan pada malam-malam selanjutnya, berkelindan ketika sekarang saya menceritakannya kepada Antum. Saat jam di tangan menunjukkan pukul 9 malam, saat seluruh santri hilir mudik dari hammam, kami menemui Bakam meminta izin ke musholla Asma’ Lathifah.

Di sana, di antara takdir dan luka yang terhubung lewat doa, saya membiarkan kawan saya ini shalat sunnah begitu lama. Saya sengaja duduk di belakang sementara dia di depan. Tak jarang, usai shalat, dia tidak menengadahkan kedua tangan, melainkan mendongakkan kepala, pertanda ia sedang berbicara dengan Tuhan.

Saya hanya bisa menghela napas kuat-kuat bila selesai shalat, matanya amat sembab. Dan saya hanya bisa memandang manakala sebelum tidur—kami kebetulan sekamar dan tidur bersebelahan—ia menutupi tubuhnya dengan selimut milik almarhum sang bapak, dan dia menahan sesak dalam-dalam sembari membaca shalawat sampai akhirnya terlelap.

Dan inilah yang saya ceritakan di novel. Tentu saja ada dramatisasi di sana, dan penjabaran tokoh Guru yang merangkul Kinar bukan gambaran dari Puan Guru secara utuh. Apalagi dari sisi historis lukanya, tentu beda jauh. Saya hanya mencoba melukiskan bentuk rangkulan beliau dalam membersamai santri.

“Jujur, aku pelan-pelan membaca novel ini, Mbak. Karena apa yang dialami Kinar, kurang lebih persis seperti yang aku alami dulu. Bahkan sampai sekarang, aku tidak punya nyali untuk menulis tentang kepergian orang tua. Rasanya, masih naik turun di fase kecewa sama Tuhan. Sejak ditinggalkan keduanya di usia SMA, aku selalu bertanya-tanya, aku ini hidup untuk siapa dan untuk apa?” kata kawan saya tadi.

Maka, inilah alasan mengapa kawan saya ini begitu ingin ke Madura dan bertemu dengan Puan Guru. Ada ikatan batin yang terjalin antara takdirnya sendiri dengan tokoh di novel, meski perbedaannya ada dalam bentuk rangkulan dan lembaga pendidikan sebab dia SMA, sementara Kinar di pesantren.

Untuk alasan kedua, yaitu bukan satu atau dua orang yang bertanya terkait lembaga psikologi di pesantren. Rasa-rasanya, tidak sedikit pembaca yang bertanya serupa. Entah yang saya kenal atau tidak. Bahkan di forum-forum pun, tak luput dari pertanyaan yang sama.

Barangkali karena tidak banyak pesantren memiliki lembaga psikologi di dalamnya, jadi mereka penasaran. Tapi ada dua hal yang saya rasakan ketika berbicara soal eL-PsikA. Satu sisi, ada kebanggaan ketika di suatu forum atau chat pribadi, saya berbicara soal proses kreatif menulis novel, kisah para tokoh yang terluka dan dirangkul, dan tentunya mengenalkan eL-PsikA kepada mereka.

Sementara di sisi lain, tak jarang saya merasa was-was, takut atau khawatir kurang bisa menghargai psikologis orang lain sehingga antara ucapan dan perbuatan saya tidak selaras. Namun di luar itu, saya tekankan kepada yang bertanya bahwasannya eL-PsikA adalah rumah bagi mereka yang terluka. Baik santri, alumni bahkan yang tidak pernah menyantri di pondok kita pun, ada yang menjadi klien Puan Guru.

“Saya yakin, semua orang kemungkinan besar pernah merasakan luka, Riel. Apa pun bentuknya. Apa pun sebabnya. Dan luka itu akan sembuh bila diobati orang yang tepat, dan orang yang tepat itulah yang disebut dengan rumah,” kata Puan Guru beberapa waktu lalu. Antum tahu, kalimat ini saya abadikan di dalam novel. Dan inilah alasan mengapa saya memberinya judul, Berapa Jarak Antara Luka dan Rumahmu?”

2 thoughts on “eL-PsikA: Rumah Bagi Mereka yang Terluka

  1. Fathur says:

    Alhamdulillah ada semacam lembaga psikologi di pesantren kita, baru tahu. Perlu diperluas ke putra juga. Penting pesantren punya seorang/beberapa orang guru khusus konseling dengan mengkader santri. Mungkin ini satu-satunya atau pertama pesantren yg punya lembaga seperti ini di Madura atau di Indonesia? Salam hormat untuk penulis dan Puan Guru.
    alumni 12 tmi

  2. Fathurrahman says:

    Alhamdulillah ada semacam lembaga psikologi di pesantren kita, baru tahu. Perlu diperluas ke putra juga. Penting pesantren punya seorang/beberapa orang guru khusus konseling dengan mengkader santri. Mungkin ini satu-satunya atau pertama pesantren yg punya lembaga seperti ini di Madura atau di Indonesia? Salam hormat untuk penulis dan Puan Guru.
    alumni 12 tmi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.