Seseorang itu, untuk menjadi seorang pemimpin harus mampu melalui proses. Prosesnya pun bermacam-macam. Ada yang lamban, dan ada yang progresif. Tentu, kita semua sepakat untuk memilih yang kedua, sesuai kapasitas dan kemampuan kita masing-masing.

Sikap kepemimpinan harus dilatih dengan latihan-latihan mengatur diri sendiri, sebelum mengatur orang lain. Misalnya, bisa dimulai dengan melatih kepekaan diri terhadap hal yang kecil, seperti membuang sampah, disiplin waktu, dan sebagainya. Barulah kita bisa melatih diri, untuk mengatur kelompok-kelompok kecil, seperti di kelas, di kamar dan komunitas tertentu.

Semasa nyantri di Al-Amien, saya pernah menjadi ketua kamar, ketua kelas, hingga ketua shof, saat kelas 5 dan kelas 6. Alhamdulillah, berkat latihan-latihan di kelompok kecil tersebut, pada tahun 1987, saya ditakdirkan oleh Allah menjadi Ketua ISMI.

Pada masa itu, formatur ketua ISMI bukan dipilih langsung dari beberapa pasangan kandidat. Melainkan, dengan voting suara terbanyak dari guru dan santri, yang menunjuk perseorangan saja. Saat itu, saya memperoleh voting suara terbanyak dan dipercaya sebagai ketua ISMI. Dan suara terbanyak berikutnya, di bawah saya, menjadi wakil ketua ISMI, untuk menemani saya dalam mengurus organisasi santri.

Untuk bisa dipilih menjadi ketua ISMI, zaman itu, tidaklah instan. Menuntut proses dan pengalaman panjang. Bahwa, experience is the best teacher, benar-benar teruji. Dan pada zaman itu, seorang ketua ISMI dan pengurus bagian lainnya, memiliki wibawa yang luar biasa di mata anggota. Pengurus benar-benar berfungsi. Jadi peran guru di luar jam belajar di kelas, hampir tidak ada. Di luar kegiatan formal, semua kegiatan ditangani oleh pengurus. Bahkan, yang menjadi imam salat jamaah, kecuali imam salat Jumat.

Sungguh pengalaman tersebut, sangat berkesan bagi saya.

Melatih Mental di Masyarakat

Pengalaman lain selama saya jadi pengurus, yakni, ketika harus melatih mental menghadapi masyarakat. Saat itu, para pengurus yang terdiri dari kelas 5, wajib mengajar di luar pondok, di langgar-langgar kecil milik masyarakat sekitar pondok, siang hari, selepas jam belajar formal.

Ini pengalaman yang menyenangkan. Bagaimana tidak, setiap siang saya dan teman-teman yang mendapat tugas mengajar di luar pondok, mendapat jatah makan siang dari masyarakat. Jadi, tidak perlu menanak nasi.

Namun, siang itu adalah siang yang nahas, bagi saya dan teman-teman. Siang itu, saya dan teman-teman tidak mendapat jatah makan siang. Maka, kami memutuskan untuk membeli rujak di warung depan pondok. Ketika kami sedang menikmati rujak, ada seorang ustadz yang baru pulang kuliah dari Pamekasan memergoki kami. Sehingga beliau melaporkan kami ke Kiai Idris (almaghfurlah).

Akibat dari kecerobohan itu, kami pun harus menerima sanksi “botak berjamaah”. Sungguh cerita yang sangat berkesan. Tak heran, setiap kali ada kesempatan kumpul bersama alumni, cerita ini selalu menjadi cerita yang selalu diulang-ulang, dan tak pernah absen untuk dikenang.

Cerita lainnya, waktu itu di Al-Amien Prenduan masih berlaku sanksi keras “tempeleng”. Namun, setiap santri yang mendapat sanksi tersebut, biasa saja. Tidak ada satu pun dari mereka yang melapor kepada wali santri mereka. Itulah bedanya, wali santri dulu dan sekarang. Dulu, wali santri pasrah sepenuhnya 100%, kepada pengurus pondok dan seluruh kebijakannya.

Dalam tradisi masyarakat Madura, pasrah sepenuhnya adalah syarat utama untuk menjadikan anaknya seorang santri. Terutama wali santri dari Bangkalan. Bahkan ada yang sampai berkata: mak pole tempeleng, ancor sekaleh been cong, engkok ikhlas (jangankan ditampeleng, hancur sekalipun saya ikhlas).

Jadi, saat itu tingkat pelanggaran santri benar-benar minim. Melanggar sedikit, langsung tindak di tempat. Namun, walaupun ditempeleng, santri tidak cengeng. Tidak mengadu. Karena, jika mengadu pada walinya, pasti ditambah dengan pukulan yang lebih keras. Karena mindset wali santri waktu itu, anaknya tidak akan ditempeleng oleh pengurus apalagi ustadz, jika ia tidak salah.

Hanya saja, tahun itu ada cerita menarik. Ada seorang santri asal Bogor yang sudah berhenti. Ia kembali ke pondok untuk silaturrahim ke teman-temannya. Di Qomat (sekarang kantor yayasan), ada qismud dhuyuf. Santri yang bersangkutan, menggambar bintang segi 6, yang dikenal sebagai simbol Yahudi di tempat tersebut.

Aksinya kemudian diketahui oleh teman saya, Bagian Keamanan. Diproseslah santri tersebut dan dibawa ke kantor ISMI, yang saat itu terletak di As-Sa’adah (sebelah timur Marhalah ‘Aliyah). Santri tersebut ditempeleng oleh bagian keamanan. Tidak puas, sandal pun melayang di mukanya, dengan suara yang begitu keras.

Peristiwa tersebut menarik perhatian para guru yang sedang berada di kantor dewan guru, yang letaknya bersebelahan dengan kantor ISMI. Maka, teman saya yang menghukum santri tersebut diproses. Yang memukul diskorsing. Sementara bagian keamanan lain yang beranggotakan tiga orang, dipulangkan semua ke orang tua mereka.

Menjadi Uswah Hasanah

Setelah kejadian itu, muncul istilah “tahun kasih sayang”. Sejak itu, Kiai Idris (almaghfurlah) mendeklarasikan, bahwa tahun itu merupakan tahun kasih sayang. “Bagi siapa pun yang memukul santri, itu sama saja dengan memukul anak saya, Ghozi,” tegas Kiai Idris.

Namun, walaupun Kiai Idris mendeklarasikan tidak ada pemukulan, masih ada saja pengurus yang menjatuhkan sanksi dengan memukul santri. Karena, bukan hal mudah perubahan tradisi yang sudah berjalan dari tahun-tahun sebelum kami dilantik menjadi pengurus.

Menanggapi persoalan tersebut, kami akhirnya bersepakat untuk meminimalisir pemukulan. Maka, munculah istilah shoorim min ghairi syiddah wa roohimun min ghairi dho’fin (tegas tapi jangan kasar, sayang tapi jangan dimanja). Artinya, antara tegas dengan kasih sayang, harus benar-benar pandai memosisikan diri.

Untuk mengapresiasi istilah di atas, kami pun melakukan upaya saling tegur dan mengingatkan. Namun, untuk pelanggaran yang dapat menghalau proses pendidikan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip pondok, jangan sampai dilanggar. Karena seluruh pengurus merupakan tangan kanan Kiai, yang harus siap menindak. Nah, jika kami tidak mampu dalam menangani santri yang melanggar dengan segala upaya, maka kita serahkan santri yang bersangkutan kepada Majelis Pertimbangan Organtri (MPO).

Satu hal yang harus digarisbawahi, bahwa wibawa pengurus itu sebenarnya sudah terbentuk. Jadi, dengan tidak memukul saja, hanya dengan tampil menyandang sajadah di antara santri, mereka  sudah terpesona, kagum dan segan dengan sendirinya.

Saya sendiri tidak pernah memukul. Saya lebih sering menghadapi santri dengan uswah hasanah. Dan seorang pengurus, memang seharusnya menghadirkan uswah hasanah dalam dirinya, sehingga membuat para santri kagum. Selain itu, pengurus harus memiliki excellentist (kelebihan), yang bisa menjadikannya istimewa di mata santri.

Uswah hasanah, merupakan prinsip dasar kepemimpinan. Allah berfirman dalam al-Qur’an: sungguh telah ada dalam diri rasulullah, suri tauladan yang baik bagimu. Sekecil apa pun kontribusi pengurus, ustadz, dan mujahid pendidikan kepada pondok, itu akan menjadi kunci sukses bagi mereka. Bi qadri maa ta’tani, tanaalu maa tatamannaa. Karena tidak ada yang sia-sia, sepanjang kita mau berusaha.

Setelah lulus, saya memutuskan untuk mengabdi dan mewakafkan diri saya pada pondok. Keputusan tersebut, semata-mata untuk mencari barokah. Sebagaimana prinsip Imam Syafi’i, saafir tajid ‘iwadan ‘an man tufaariquhu. Satu lagi, jika saya pulang, orang-orang rumah bakal tetap memanggil saya dengan sebutan ‘cong’. Beda lagi jika saya pergi jauh dengan menetap di pondok ini. Tidak ada ruginya.

Tapi, semua balik lagi pada diri kita masing-masing. Salah satu barokah yang saya peroleh, saya dapat melaksanakan kuliah S1 dan S2, tanpa biaya alias gratis. Itu merupakan sebuah keberkahan yang tiada tergantikan dengan materi apa pun.

Intinya, ada dua poin penting yang harus dimiliki, untuk menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Pertama, jalani amanah dengan sepenuh jiwa, ikhlas, serta yakin, bahwa sekecil apa pun kontribusi yang kita lakukan, pasti akan kembali pada kita.

Kedua, hati kita harus selalu ta’alluq (rindu) dengan tugas atau amanah. Kemudian irtibath (komitmen) pada janji dan tugas. Ihtimam (peduli) terhadap tugas, santri, dan tanggung jawab yang diemban. Serta isham (berkontribusi) dengan tugas yang diembannya.

Maka dari itu, jangan gampang mengeluh dengan kendala kita hadapi. Berupayalah mencari dan memberi solusi. Sebab, seorang yang memiliki jiwa kepemimpinan dalam dirinya, tidak pernah menjadi “problem maker”, tetapi justru menjadi “problem solver”. Wallahu a’lamu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.