Salah satu faktor yang melatarbelakangi tulisan ini adalah materi kuliah, yang membahas soal cinta. Ya, cinta. Setiap manusia punya cara sendiri dalam mengartikulasikan cinta dalam banyak sisi kehidupan. Nah, kebetulan saat perkuliahan berlangsung di kelas, kami membahas tentang bagaimana seorang sufi memaknai cinta, sehingga sampai pada maqam cinta paling tinggi, yakni cinta kepada Tuhan.
Di dalam materi tersebut, terdapat sembilan tingkatan cinta dalam hidup, di antaranya: al-maylu, al-wala’, as-shobabah, asy-syaghaf, al-hawa, al-gharamu, al-hubbu, al-waddu, al-‘isyqu. Masing-masing kata yang disebutkan di atas, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih memiliki makna yang sama: cinta. Hanya saja, tingkatan “cinta” pada masing-masing istilah tersebut berbeda.
Lalu, dosen saya menganalogikan cinta, dengan peristiwa yang terjadi di sekitar lingkukangan saya. Analoginya barangkali sepele. Namun, jika direnungi memiliki kedalaman pemahaman yang luar biasa. Begini analogi sang dosen, melalui sebuah pertanyaan: kenapa orang Madura kebanyakan tidak harmonis dalam rumah tangganya? Dengan cepat pula setelah tidak ada respon dari teman-teman, beliau menjawab: karena dalam bentuk mengutarakan saja, tidak ada kata cinta dalam bahasa Madura.
Tentu saja, seketika kelas kami pun—yang notabene mahasiswanya berasal dari Madura—menjadi riuh. Mereka berkilah, dan mencoba menyebutkan kata cinta untuk sebuah pembelaan. Ada yang menyebutkan “terro” yang ditepis langsung oleh sang dosen, karena itu merupakan sebuah implementasi dari kata suka atau mau, bukan kata asli yang bermakna cinta. Ada juga yang secara menyebut kata “tresno” yang akhirnya mengundang gelak tawa. Tentu, karena itu merupakan bahasa Jawa yang diadopsi ke dalam bahasa Madura.
Karena saya bukan orang Madura, maka saya kebingungan dan tidak tahu betul, apakah memang bahasa Madura tidak memiliki istilah “cinta” dalam bahasa sehari-hari. Jadi, saya mengiyakan saja pernyataan dosen saya yang menepis jawaban teman-teman. Sepele namun bermakna. Saya pun dapat menyimpulkan, ternyata kata “cinta” dapat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari, sebagaimana disampaikan oleh dosen saya, dalam menjaga hubungan hidup tetap harmonis.
Jika dalam lingkup kehidupan bermasyarakat saja, dibutuhkan “cinta” agar dapat menjalin keharmonisan, tentu dalam berhubungan dengan Tuhan, juga demikian. Bagaimana seseorang dapat menghadirkan “cinta” dengan kata-kata cinta, untuk membangun keharmonisan dengan Tuhannya. Ini poin penting yang saat itu bisa saya catat. Artinya, betapa luar biasanya cinta seorang sufi kepada Tuhan, dengan bentuk dan tingkatan cinta yang bermacam-macam pula.
Misalnya, Rabi’ah al-Adawiyah, karena cintanya kepada Allah membuat ia menolak beberapa pria, sebab ketakutannya menduakan cintanya kepada Allah. Bahkan Robi’ah al-Adawiyah ingin menghilangkan surga dan neraka, karena takut ibadahnya hanya karena ia ingin masuk surga saja. Bukan semata-mata cinta kepada Allah.
Menguji Rasa Cinta
Barangkali, untuk menguji rasa “cinta” dalam diri kita, patut juga kita mengejawantahkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Maka, diri saya pun terusik untuk menguji ketahanan “cinta” dalam diri saya, dalam kehidupan di pondok pesantren, yang sedang saya jalani saat ini. Misalnya, bagaimana jika dalam mengabdi, mengajar di pondok pesantren, mendampingi santri-santri yang sedang menuntut ilmu, kita hadirkan rasa “cinta” dari lubuk hati kita terdalam?
Mula-mula pertanyaan sederhana itu mengalir begitu saja dalam kepala saya. Dengan penuh perenungan, saya membayangkan dapat mengajari para santri dengan penuh kasih sayang. Mendengarkan keluh kesah mereka, dan menjadi bagian dari keluarga mereka. Kemudian, kami saling berbagi cerita, berbagi nasib dan berbagi beban. Dan dalam perenungan tersebut, saya menyaksikan senyum mengembang di wajah para santri yang ingin menimba sejuta pengetahuan itu. Betapa menyenangkannya, dapat mengabdi dengan menghadirkan rasa “cinta” dalam diri kita.
Selama beberapa tahun mengabdi, saya belum sepenuhnya menghadirkan rasa “cinta” itu dalam diri saya. Namun, saya berupaya dan terus berlatih, dengan menguji rasa “cinta”, dalam mengabdi. Saya pun masih banyak mempertanyakan: apa yang bisa saya berikan kepada pondok pesantren ini? Dengan pertanyaan semacam ini, saya bisa memotivasi diri saya, untuk bisa memberikan yang terbaik, sesuai yang dibutuhkan oleh para santri. Tentunya, dengan rasa “cinta”.
Ketika shalat, kita sering melafazkan: inna sholaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillaahi robbil ‘aalamin. Nilai rohani yang terkandung dalam bacaan tersebut, sangat luar biasa. Sebuah pernyataan seorang hamba yang berserah diri di hadapan Rabb-nya. Makna dari bacaan tersebut, merupakan ruh utama, untuk menghadirkan rasa “cinta” dalam diri kita. Yakni, mengerjakan semua tugas dalam pengabdian, dengan didasari keikhlasan dan mengharap rida dari Allah SWT. Bukan karena takut dimarahi oleh mudir. Bukan karena khawatir dianggap “sok rajin” oleh teman-teman sepengabdian. Tapi, benar-benar “lillaahi ta’alaa”.
Sebagaimana Robi’ah al-Adawiyah, kita juga punya cara masing-masing untuk mengekspresikan rasa “cinta” dalam diri kita. Dengan mengabdi di pondok pesantren, kita bisa mengkerahkan semua tenaga, pikiran, dan usaha kita untuk pondok, dengan didasari rasa “cinta”. Bukan karena tuntutan. Jika masih ada yang salah dalam pekerjaan kita, coba kita renungkan: Apakah kita sudah cinta kepada pondok, serta mencintai amanah yang telah diembankan kepada kita?
Menjalankan amanah yang didasari rasa “cinta”, dapat membawa kita pada rida Allah. Dengan begitu, kita tidak akan terjebak dan merasa hanya melakukan rutinitas, tanpa adanya inovasi dan pengembangan untuk kebaikan. Padahal, jika kita sudah cinta, tentunya akan selalu melakukan perubahan-perubahan dalam rutinitas kita. Kita tidak akan rela, melihat sesuatu yang kita cinta, berjalan dengan tidak semestinya.
Sebagaimana Robiah al-Adawiyah, kita tidak perlu mengharap surga dan neraka, dalam wujud tuntutan dan peraturan yang akan menyanksi kita, jika melanggar. Karena, tidak ada rasa “cinta” yang menyakitkan, seperih apa pun itu. Apalagi, kita sudah berupaya semaksimal mungkin, menjalani pengabdian dengan sebaik-baiknya. Kata Iwan Fals, jika cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang. Dengan menghapus rasa “cinta” hanya akan menghambat kita dalam berkembang dan berinovasi.
Tulisan ini merupakan pengingat untuk diri saya pribadi. Semoga memantik percikan perenungan juga, untuk yang lainnya. Apalagi untuk teman-teman yang menjalani masa pengabdian di pondok. Jika masih ada yang mempersoalkan rasa ikhlas dalam mengabdi, mungkin karena kita lupa menyalakan rasa “cinta” yang mulai meredup dalam dada kita.