Malam itu menjadi malam terindah bagi saya selama ‘nyantri’ di Al-Amien Prenduan. Ya kira-kira akhir tahun 1999 silam. Kala itu saya masih duduk di kelas V TMI (Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah) di akhir tahun menjelang kenaikan kelas. Ba’da sholat Isya’, seperti biasa rutinitas sebagian besar santri adalah makan malam dan biasanya dilanjutkan belajar bersama wali kelas di kelas masing-masing. Sementara saya sebagai pengurus ISMI (Ikatan Santri TMI) bagian kesenian yang baru beberapa bulan saja dilantik, sedang sejenak istirahat di kamar dua rayon Al-Kautsar sehabis makan malam. Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar deru sepeda motor dari kejauhan. Dari suara knalpotnya bisa ditebak kalau itu deru motor bebek tua. Suaranya semakin nyaring dan mendekat. Motor itu ternyata memang berhenti di depan rayon Al-Kautsar. Bagi sebagian besar kami santri TMI, suara motor bebek itu tidak lagi asing. Saya langsung tebak siapa yang datang. Ya, Kyai Imam Syafii (Allahumaghfirlahu). Di mata saya beliau adalah sosok guru yang mudah akrab, energik, dan humoris. Meski usianya sudah cukup lanjut, kemana-mana masih sering terlihat naik motor sendirian. Bukan hanya di sekitar pondok, bahkan hingga keluar kota menempuh jarak yang tidak dekat.
Kala itu terdengar beliau memanggil saya, sontak saya langsung beranjak ke luar kamar menjumpainya. Saya sempat ingin menanyakan maksud kedatangaan beliau kemari, namun beliau sudah lebih dulu meminta saya untuk mengambil gitar. saya bergegas mencari gitar akustik meski terbersit rasa penasaran dalam hati, ‘untuk apa beliau malam-malam cari gitar?’. Awalnya saya kira beliau hanya sekedar ingin pinjam, tapi nyatanya setelah sebuah gitar akustik saya dapatkan, saya malah diminta naik ke boncengan motornya. Saya manut saja, meski sebenarnya sungkan. Tidak sopan rasanya kalau saya harus dibonceng beliau. Tapi mau bagaimana lagi, ini perintah. Saya ikuti saja dan tidak berani membantah.
Pelan, bebek tua itu melaju meninggalkan rayon Al-Kautsar. Bagi siapapun yang melihat saya kala itu, mungkin saya terlihat tenang atau malah bangga naik motor dibonceng Kyai, padahal kenyataannya degup jantung saya terasa kurang nyaman, ‘dredeg’ tidak karuan. Saya salah tingkah, ini hal yang tak lumrah terjadi dalam kehidupan santri di pesantren. Seorang santri menenteng gitar ala anak band dibonceng kyai. Sungguh langka, sangat langka. Entah apa yang ada di pikiran teman-teman santri melihat kami berdua melintas dalam keadaan seperti itu. Sejenak saya merasa menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi saya juga merasa was-was karena takut jatuh kala motor tua ini terlihat tersiksa sekali ditunggangi kami berdua. Kyai Imam yang bertubuh agak besar dan saya yang meski berpostur pendek tetapi tidak kurus, kami berdua menindih motor bebek tua yang hampir-hampir hanya tersisa mesin dan rangka saja. Ringkih seolah tak berdaya. Lajunya pelan seakan terpaksa.
Ternyata itu belum seberapa. Ada hal lain yang seketika membuat saya semakin salah tingkah tatkala beliau mengarahkan laju motornya menuju kediaman Kyai Idris (KH. Muhammad Idris Jauhari (Allahumaghfirlahu)). Perasaan saya semakin tidak karuan. Bagi saya ini terasa absurd dan ganjil, seorang santri ‘nyabis’ ke kediaman Kyai dengan membawa gitar. Setahu saya di mana-mana santri di pesatren datang menghadap Kyai dengan membawa kitab untuk mengaji. Saya kira bahkan Dewa Budjana, John Paul Ivan hingga Rhoma Irama tidak akan selancang itu terhadap gurunya. Saya sempat kembali ingin bertanya kepada Kyai Imam, untuk apa saya diajak kemari? Untuk apa gitar ini? Apakah saya telah melakukan kesalahan? Apakah setelah ini saya akan menerima hukuman atas kesalahan saya itu? Sebab saya pikir, mustahil kalau saya diminta konser di kediaman Kyai. Itu mustahil, sangat mustahil. Tapi sekali lagi saya sungkan. Saya simpan saja pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati. Ini perintah. Saya manut saja tanpa berani bertanya, apalagi membantah.
Setibanya di kediaman Kyai Idris, Kyai Imam mengajak saya masuk ke ruang tamu lewat pintu samping. Kala itu saya melihat Kyai Idris sedang menerima tamu di teras depan. Di kediaman beliau itu ada sebuah kamar di bagian depan yang sengaja dijadikan tempat istirahat bagi tamu-tamu beliau. Saya diajak masuk ke sana dan di sana saya dipertemukan dengan seseorang yang kemudian saya kenal sebagai Ustad Wahib Abdur Rahman. beliau lalu bercerita panjang lebar bahwa beliau adalah adik kelas atau murid Kyai Idris semasa di Gontor. Dalam karirnya, beliau adalah seorang musisi dan pencipta lagu. Banyak sudah lagu karyanya yang sudah beredar di masa tahun 90-an. Bahkan tak sedikit yang dinyanyikan oleh artis ternama tanah air. Demikian kira-kira beliau menceritakan pengalamannya. Saya, Ustad Wahib dan ikut serta pula beberapa asatidz kala itu lebur dalam perbincangan yang hangat. Saya dan teman-teman lebih sering menyimak saja, sementara Ustadz Wahib lah yang banyak bercerita pengalaman hidupnya.
Beberapa saat kemudian Kyai Idris datang menghampiri kami. Kami semua beranjak menyalami dan mencium tangan beliau. Masih terngiang hingga kini aroma parfum yang beliau kenakan kala itu. Hingga setiap saya menyalami beliau atau sekedar berpapasan dengan beliau dalam kesempatan berbeda, tercium aroma parfum yang sama. Bukan sekedar itu, dalam setiap kesempatan bersua, dari wajahnya dan tutur katanya terpancar wibawa, ketulusan, keihlasan dan kasih sayang seorang guru sekaligus ayah. Itu yang saya rasakan hingga kini. Kalau saya harus menceritakan sosok beliau di mata saya, saya harus menulisnya dalam edisi khusus dan paragraf yang sangat panjang. Singkatnya, beliau adalah sosok guru dan ayah yang mengagumkan. Tidak hanya bagi saya, bahkan seluruh santri yang pernah mengaji langsung kepada beliau juga memberikan kesan dan kesaksian yang sama.
Malam itu ‘jaros’ berdentang berapa kali, tanda jam malam sudah dimulai, waktunya tidur dan istirahat bagi seluruh santri. Sementara kami masih terus berbincang. Kyai Idris menjelaskan kepada saya maksud Ustad Wahib datang ke pesantren. Ia datang dengan membawa sebuah lagu gubahannya yang sengaja dibuat untuk kelak menjadi lagu wajib pesantren. Akan tetapi setelah membaca teks syair lagu tersebut, Kyai Idris merasa kurang sreg. Menurut beliau, syairnya belum pas dengan jiwa pesatren (Al-Amien Prenduan). Singkatnya kemudian Kyai Idris tulis sendiri sebuah syair yang diharapkan lebih pas dengan falsafah, moto dan jiwa pesantren. Namun setelah syair tersebut tuntas beliau tulis, sebagian rangkaian nadanya menjadi tidak cocok dan harus direvisi. Tentu bukan hal mudah untuk melakukannya. Belum tentu bisa tuntas dikerjakan semalam. Sementara Ustad Wahib tidak bisa tinggal lama di pondok. Seingat saya, dua hari berikutnya beliau pulang ke Jombang. Akhirnya saya diminta untuk mencoba mengerjakan tugas revisi lagu tersebut. Saya tertegun. Kali ini terjawab sudah sekian pertanyaan yang mengendap dalam batin saya sejak dijemput Kyai Imam di Rayon Al-Kautsar petang tadi. Entah atas dasar apa saya dipilih untuk mengerjakan tugas yang tak mudah itu? Saya bukan musisi apalagi pencipta lagu, main gitar saja masih tingkat dasar. Jangankan merangkai nada, membaca not lagu saja terbata-bata. Tapi ya begitulah, saya tidak mungkin bisa menolak tapi tidak pula menyatakan sanggup. Saya bilang bahwa saya akan coba semampu yang saya bisa upayakan, tentu dengan penuh harap semoga Allah menuntun saya untuk dapat dengan mudah menyelesaikannya.
Maka senyampang ada Ustad Wahib, dengan berbekal sedikit kemampuan bermain gitar, malam itu langsung saya pelajari rangkaian nadanya. Bait demi bait lagu asli yang pertama kali ia tulis, ia ajarkan kepada saya bagaimana cara melantunkannya. Saya coba nyanyikan berulang kali sampai akhirnya bisa benar-benar saya hapal ritme, irama dan temponya. Setelah merasa cukup paham, saya bergegas pamit pulang ke kamar sebab malam sudah semakin larut. saya yakin Ustadz Wahib juga sangat letih dan harus istirahat. Dalam perjalanan pulang, saya mengingat kembali rangkaian peristiwa sejak petang tadi, rasanya bagai dalam mimpi. Ada rasa haru sekaligus bangga. Haru karena saya yakin bahwa kelak peristiwa ini akan menjadi kenangan indah saya selama menjadi santri, bangga karena seumur hidup saya belum pernah sedekat ini dengan ayahanda Kyai Idris, sosok guru sekaligus ayah yang sangat saya kagumi.
Keesokan harinya dan hari-hari berikutnya, hampir setiap pagi dan sore saya dipanggil untuk datang ke kediaman Kyai Idris. Dan setiap saat itu pula saya datang dengan masih menenteng gitar akustik. Saya pelajari syair yang ditulis Kyai Idris, menghitung kosakata, kalimat, baris dan baitnya sembari mencocokkan ulang dengan rangkaian notasi lagu karya Ustad Wahib. Beruntung dulu saya juga dibekali ilmu sastra oleh Ustadz Moh. Hamzah Arsa. Hal itu sangat membantu saya dalam memahami kalimat-kalimat puitis dalam syair yang tidak hanya begitu dalam maknanya, tapi juga indah saat dibaca atau dilantunkan. Dari keseluruhan syair lagu tersebut, tak banyak yang saya ubah kecuali saya tambah beberapa baris kalimat saja, menyempurnakan beberapa kalimat yang tidak pas dengan bait lagu dan merangkai ulang notasi lagu di beberapa bagian yang terasa belum utuh. Setiap kali ada bagian yang saya revisi, selanjutnya dikoreksi oleh Kyai Idris. Lalu keesokan harinya saya dipanggil lagi untuk mempelajari hasil koreksi beliau dan merevisi bagian yang terasa kurang pas dimana sudah beliau tandai dan diberi catatan. Proses ini terus berlangsung hingga hampir sepekan lamanya.
Pernah suatu pagi, entah hari ke berapa, sesaat menjelang bel masuk sekolah, kala saya sedang menyusun rangkaian nada sembari memetik gitar dan bersenandung, Kyai Idris datang menghampiri saya. Beliau suguhkan sesisir pisang di atas piring putih dari keramik dan air mineral dalam kemasan gelas plastik. Dengan pakaian rapi, kopiyah hitam, berdasi dan tak ketinggalan aroma parfum yang sama seperti kemaren, beliau terlihat sedang bersiap menuju kelas hendak mengajar. Saya sempat tertegun dan berhenti bernyanyi karena malu dan canggung, namun beliau meminta saya untuk terus bersenandung. Bahkan sesekali beliau ikut bernyanyi. Suara beliau bagus juga ternyata, terdengar lembut dan merdu. Sayapun larut dalam suasana syahdu. Mengingatnya kembali kali ini, saya jadi terharu dan rindu.
Setelah proses revisi lagu tersebut rampung juga akhirnya, Kyai Idris meminta saya untuk merekamnya ke dalam pita kaset, menggandakannya hingga beberapa keping dan menyebarkannya ke lembaga-lembaga yang ada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan untuk selanjutnya diajarkan kepada seluruh santri. Dibantu beberapa teman dan asatidz, saya merekamnya menggunakan tape recorder sederhana dengan musik alakadarnya. Cukup gitar akustik murahan dengan petikan jemari saya yang tak begitu yakin dan vokal saya yang juga tak semerdu Ebiet G. Ade, terdengar berat dan dipaksakan. Meski demikian saya larut dalam perasaan haru dan bangga, membayangkan bahwa kelak lagu ini akan terus disenandungkan oleh anak cucu kami. Tidak hanya oleh santri di pesantren, tapi juga alumni dan simpatisan. Tidak hanya di prenduan, tapi di segenap penjuru mata angin dimana di sana ada santri Al-Amien.
Dalam beberapa acara formal bersama santri, setiap selesai koor Oh Pondokku dan Hymne Al Amien Prenduan, Kyai Idris hampir selalu paparkan makna syair lagu yang beliau tulis itu. Tentang kasih sayang dan cinta seorang Ibu, tentang ketulusan, perjuangan dan pengorbanan, tentang falsafah hidup, komitmen dan rasa bangga, juga tentang harapan, cita-cita dan doa.