Santri Menulis

Pengalaman saya jelas biasa saja dibandingkan dengan mereka yang lebih dulu di wisuda. Dari segi apapun saya merasa kurang dari mereka, khususnya berbahasa dan sastra. Kalau literasi ilmiah mungkin bisa dibilang ‘cukup’ setara. Hanya saja kelemahan saya terletak pada sifat introvert yang sejak dulu berusaha untuk saya hilangkan. Tapi kali ini kita tidak akan menjabarkan mengenai hal tersebut, tulisan saya ini lebih berkenaan dengan berakhirnya siklus literasi di pondok kita. Saya sebut berakhir dalam artian kualitas dan kuantitas yang dihasilkan para penulis dari tahun ke tahun mengalami penurunan drastis, meskipun kesadaran akan mempertahankan keberadaan literasi itu tetap ada. Hanya saja eksekusi yang mereka lakukan tidak seperti pendahulu mereka yang berani mengorbankan segala hal hanya untuk kepentingan kepenulisan.

Sebagai contoh saya ambil pengalaman saya ketika berkecimpung di dunia buletin. Sudah menjadi tradisi turun temurun setiap redaksi buletin, menceritakan sejarah emas yang telah diukir oleh para pendahulu mereka, dengan harapan generasi baru dapat meniru dan melanjutkan apa yang telah mereka lakukan.

Senja, nama sebuah buletin, sudah mencapai edisi ke 89 ketika saya baru memperoleh amanah kepengurusan buletin tersebut di tahun 2020. Saya rasa baru Senja yang mencapai  edisi  tersebut, bahkan mengalahkan jumlah edisi buletin ‘Aliyah yang menginjak angka 78/79 di tahun 2021. Melalui cerita yang disampaikan kepada saya, Senja memperoleh masa keemasannya sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2015 dan 2017. Masa-masa itu adalah masa dimana penerbitan senja mencapai 11 eksemplar (2015) dan 12 ekslempar (2017). Tentu saja dengan kualitas yang tak kalah bagus, khususnya dari segi karya tulis.

Pada tahun 2015, Senja dikenal oleh hampir seluruh penghuni pondok sebagai salah satu buletin yang produktif menerbitkan karya tulis, baik itu sastra ataupun ilmiah. Hal itu tak lepas dari peran salah seorang figur yang turut memberikan bimbingan dalam proses penerbitan karya tersebut, seperti halnya Ustadz Ach. Nurholis Majid yang memberikan pengarahan langsung kepada redaktur Senja waktu itu, seperti Ustadz Achmad As’ad Abd. Aziz, Ustadz Mudiuddin dan kawan-kawannya yang lain.

Hingga saat ini, nama Ustadz Ach. Nurholis Majid menjadi pembangkit semangat literasi dalam diri mereka sebagai sosok guru yang turut menyokong geliat kepenulisan bagi mereka. Sehingga pada waktu itu dikenal sebagai tahun bergengsi dalam geliat literasi di yang ada di Pondok. Kemudian dua tahun berikutnya, Semangat itu kembali tumbuh, lebih menggelegar dari sebelumnya, tentu saja berkat arahan dari pendahulu mereka serta kesadaran tinggi yang muncul karena suka rela. Sehingga terciptalah sejarah emas buletin Senja dari 12 eksemplar yang berhasil diterbitkan selama 1 tahun.

Jika penulis bisa berpendapat, sebab utama sejarah itu tercipta adalah dari solidaritas kesamaan kesadaran dalam menerbitkan karya-karya sastra maupun ilmiah. Ini yang harus diperhatikan terlebih dahulu, tentang kesadaran individu atas tugas kelompok. Berkenaan dengan bagaimana cara meningkatkan kesadaran tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam metode, diantaranya adalah dengan membabi buta atau kaderisasi melalui pengalaman sejarah. Dalam konteks saya kali ini, membabi buta memiliki makna kesadaran yang dikembangkan melalui kerja nyata, atau tindakan non verbal (visuil). Melihat dari mayoritas masyarakat saat ini yang membutuhkan bukti nyata terhadap apa yang harus mereka lakukan. Sebagai contoh di tahun 2020, masa pandemi covid-19, masyarakat tidak percaya dengan pernyataan yang mengatakan bahwasannya vaksin dapat mencegah penularan virus covid-19, dikarenakan adanya efek samping dari beberapa konsumen seperti demam, susah tidur bahkan meninggal. Padahal sebenarnya semua itu tidak akan terjadi apabila mindset atau pola pikir masyarakat tidak buruk, termasuk rasa takut, kepada vaksin itu sendiri. Maka tak lama setelah itu, presiden Joko Widodo segera menguji secara langsung vaksin tersebut di depan masyarakat. Meskipun banyak pandangan yang mengatakan adanya kebohongan dalam praktiknya, tetapi setidaknya tindakan itu sudah cukup memberikan pengaruh kepada masyarakat agar memiliki keinginan untuk melakukan hal yang sama demi menghentikan penyebaran virus covid-19.

Berbeda dengan metode yang pertama, metode kedua hanya menggunakan tindakan verbal untuk meningkatkan kesadaran individu atas tugas turun-temurun yang harus ia lakukan secara berkelompok. Akan tetapi metode yang satu ini, hanya berlaku pada orang-orang yang memiliki pemahaman serta pengalaman hidup yang baik. Dan tidak berlaku bagi mereka yang hanya memprioritaskan kepentingannya sendiri.

Ada pula alasan mengapa orang itu tidak ingin melakukan perkembangan adalah karena mereka merasa sudah ada orang yang telah melakukan hal yang demikian. Sehingga mereka tidak perlu lagi untuk melakukannya. Ini juga termasuk salah satu pandangan yang harus diperbaiki. Karena hal tersebut akan berdampak kepada tingkat pencapaian visi suatu kelompok atau individu. Dan ini yang menjadi permasalahan santri sekarang. Ketika seseorang dirasa sudah pandai dalam suatu bidang, seperti kepenulisan, bahasa, atau olahraga, mereka (kawan yang lain) akan berdiam diri, tak melakukan apa-apa, dipikiran mereka hanya, “Ah, ngapain aku melakukan itu, toh sudah ada dia yang pandai melakukannya.”  atau “Biar dia sajalah yang melakukannya, lagipula lebih hebat dia daripada aku.” dan lain sebagainya.

Suatu kelompok, organisasi, atau bahkan bangsa, pasti akan hancur apabila anggotanya hanya berpatokan pada satu orang saja. Hanya bergantung kepada orang yang dirasa paling hebat. Begitulah kondisi literasi pondok saat ini. Dari ratusan anggota shof, yang berkeinginan mendalami dunia literasi hanya 10–18 orang, itupun terkadang masih disaring lagi menjadi 1 – 5 orang saja yang benar-benar peduli, dan berkat kepedulian mereka jadilah mereka ahli dalam hal itu, sehingga ratusan orang yang lain tidak mempedulikan keahlian literasi lagi. Dan mereka merasa sudah ‘diwakili’. Baiklah, kita dapat mengatakan ratusan orang yang lain itu mengisi keahlian lainnya agar shof mereka terlihat ahli dalam segala hal, akan tetapi bagaimana dengan 5-8 orang yang bergabung ke dunia literasi tapi tidak melakukan apapun? Sungguh itu akan membebani mereka yang sangat peduli dengan literasi, mulai dari pembuatan karya, pengetikan hingga design dan layout sebelum akhirnya di bagikan ke orang-orang tertentu. Beban itulah yang menjadikan publikasi karya mereka terhambat. Belum lagi santri saat ini malu untuk berkonsultasi kepada mereka yang sudah berpengalaman, menyalurkan masalah seputar penerbitan, dan sebagainya.

Mu’allim Wata, Gabriel, Rifqi sudah membuktikan  kemampuan sastra TMI ke seluruh wilayah Madura beberapa hari yang lalu, jangan sia-siakan apa yang telah mereka lakukan. Jangan berkata ‘mereka saja’, kita semua harus berbuat sesuatu yang dapat mengharumkan nama Al-Amien. QOF, KLIK, MEDITASI, RESTART, SENJA, RABBANI, dan AVICENA harus benar-benar melakukan peningkatan dan perubahan. Bukan hanya dari segi kepenulisan saja, melainkan juga dari manajemen kepengurusan buletin, harus ada yang menjadi pemeran utama dan pendukung dalam pergerakan literasi. Kita semua harus bangkit mengembalikan jubah Al-Amien yang telah lama ditanggalkan, dan tidak hanya memusatkan perhatian kepada mahkota yang saat ini juga tengah diupayakan pengembaliannya. Kita harus mendapatkan kembali kedua-duanya. Sekaligus!

Iqbal Ainul Rafi, santri kelas VI IPSI A asal Sidoarjo.

One thought on “Siklus Literasi Generasi 2020

  1. Pingback: Mid 2 Dibuka, Mudir Ma'had: Jadikan Ujian Kemarin Sebagai Introspeksi | TMI Al-Amien Prenduan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.