Saya selalu menemukan artikel opini di koran, blog, buletin, dan banyak media lainnya, tapi saya tidak pernah benar-benar berminat untuk membacanya. Biasanya saya akan membaca artikel opini yang mengandung sejarah (mengingat saya menyukai novel dan bagi saya sejarah itu serupa novel), ekonomi, atau hal-hal yang berhubungan dengan dunia internasional. Itupun kalau saya mood, kalau tidak tentu saja saya tidak akan membacanya.
Sebenarnya alasan saya tidak terlalu suka membaca artikel opini karena saya kurang menemukan hal menarik di dalamnya. Ketika saya membaca artikel opini, saya seolah diajak untuk berenang di lautan makna yang begitu asing, tak terjamah pikiran saya. Hal itu disebabkan karena beberapa artikel opini ditulis dengan data yang (menurut saya) kurang menarik, atau hanya memaparkan opini pengarangnya yang itu-itu saja pembahasannya. Menurut saya itu sangat membosankan.
Tentu apa yang saya tulis di atas bersifat subjektif. Tapi, kalau boleh menyebutkan contoh artikel opini yang menarik, maka saya akan menyebutkan artikel opini KH. Dr. Ghozi Mubarok Idris, MA. Mengapa? Karena saya menyukai data-data yang beliau kemukakan, dimana dalam artikel opininya beliau menyajikan data-data berupa sejarah deskriptif. Contoh artikel opini menarik lainnya adalah artikel opini Remmy Novaris, pemilik penerbit Teras Budaya, penggagas Seni Lapak Cikini (Selaci), anggota Dapur Sastra Jakarta, yang berjudul “Salam Insaf, Sekali Lagi Tentang ISBN”. Dalam artikel opininya, beliau menyajikan data dengan bahasa yang mengalir, tidak kaku, serta menarik mengenai penyebab pengajuan ISBN beberapa waktu lalu yang dipersulit.
Selain itu, saya sangat menyukai artikel opini yang memungkinkan terjadinya diskusi dan perdebatan, lewat kegiatan saling membalas tulisan dengan tulisan. Menurut saya fenomena ini sangat menarik. Mengingat bahwa artikel opini selain memuat fakta melalui referensi-referensi, juga memuat unsur-unsur subjektif berupa pemikiran, gagasan dan opini penulisnya, maka itu menyebabkan apa yang ditulis dalam artikel opini kadang kurang sahih bagi sebagian orang, karena pola berpikir yang berbeda. Dari hal itu, sebagian orang tergugah untuk memberikan sanggahan dan pengoreksian terhadap suatu artikel opini.
Fenomena semacam ini sudah sering terjadi, dan rekam jejaknya nampak dalam koran, blog dan sebagainya. Salah satu contoh dari ‘perdebatan’ melalui tulisan adalah tulisan Remy Sylado berjudul “Ilusi Denny JA Menyangkut Puisi Esai”, yang merupakan tanggapan dari tulisan Denny JA berjudul “Remy Sylado, Puisi Esai dan Kisah Kacang di Pesawat.” Tulisan itu ditulis oleh Remy Sylado untuk mengkritisi tanggapan Denny JA mengenai keengganannya dalam meneken kontrak penulisan kata pengantar di buku antologi puisi esainya.
Contoh lain dari ‘perdebatan’ melalui tulisan bisa kita lihat melalui tulisan Prof. Arief Anshory Yusuf yang terbit di Kompas pada 12 Oktober 2021 berjudul “Terdistorsikah Publikasi Akademi Kita?” Tulisan itu merupakan tanggapan atas tulisan berjudul “Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia” yang dimuat di Kompas pada tanggal 25 September 2021.
Sebenarnya ada beberapa contoh lain yang pernah saya dengar dan saya baca, tapi saya lupa. Seperti saat seorang dosen INSTIKA memuat tulisan tentang ‘tengka’, tulisan itu mendapat tanggapan dari seorang dosen di IDIA bernama Ust. Totok. Selanjutnya tulisan Ust. Totok mendapat tanggapan dari dosen INSTIKA itu, lalu Ust. Totok kembali menanggapi tanggapan dosen INSTIKA tersebut. Demikian menurut bisik-bisik yang saya dengar dari beberapa ustadz (karena saya tidak pernah menyaksikan hal itu langsung), perdebatan itu terjadi selama dua pekan, dan selama itu tulisan-tulisan itu sangat menarik diikuti. Selain itu, masih ada lagi contoh dari ‘perdebatan’ melalui tulisan, seperti yang terjadi di Jawa Pos, yang kalau tidak salah terjadi pada tahun 2020, mengenai permasalahan yang saya sudah lupa apa itu (perdebatan itu terjadi ketika saya kelas VI, membahas tentang suatu momen di Surabaya yang saya tidak ingat lagi).
Daripada itu, sebenarnya setiap tulisan tanggapan atau komentar dari suatu tulisan, hendaknya memperhatikan beberapa hal. Menurut Johan Wahyudi melalui tulisannya di blog Kompasiana, seseorang yang mengomentari suatu tulisan hendaknya menjaga bahasa, menjaga isi, serta menjaga norma. Artinya tulisan tanggapan harus ditulis dengan santun serta selalu berkaitan dengan topik.
Sementara itu, di blog yang sama Boy Rachmad juga menulis mengenai etika dalam menanggapi suatu artikel. Menurutnya ada lima prinsip yang harus dilakukan ketika akan menanggapi suatu tulisan, yaitu rangkum keseluruhan poin artikel yang ingin ditanggapi, hindari hanya menanggapi sebagian isi, hanya menuliskan pandangan terhadap inti artikel, menyertakan sumber yang mendukung keabsahan tanggapan, serta jangan pernah menyerang pribadi penulis yang tidak ada kaitannya dengan artikel yang ditanggapi. Menurutnya, seseorang yang hendak menanggapi suatu tulisan hendaknya hanya fokus menanggapi tulisan, bukan penulisnya. Karena jika suatu tanggapan dibumbui dengan suatu penilaian terhadap diri penulis dari tulisan yang ditanggapi, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seumpama permusuhan. Hal ini terjadi pada Remy Sylado dan Denny JA.
Memang seyogyanya setiap tulisan tanggapan harus memperhatikan etika dan adab sopan santun, demi mengingat bahwa tulisan adalah cerminan kepribadian penulisnya. Menurut Johan Wahyudi, melalui membaca tulisan kita bisa berdialog dengan penulisnya. Kita dapat mudah mengetahui kepribadian, visi dan karakternya. Memang tulisan tidak dapat menggantikan dan tak tergantikan meskipun penulis berusaha mengelak anggapan pembacanya. Karena itu, Johan Wahyudi menyatakan bahwa tulisan adalah jiwa penulisnya.
Terlepas dari itu, saya pribadi mengharapkan agar ‘perdebatan’ via tulisan bisa mulai mewujud di kalangan santri. Jadi mereka tidak hanya menulis tentang kritikan ini-itu saja (yang menurut saya kurang menggairahkan karena sudah dibahas berkali-kali,dan solusinya pun sudah lama diketahui) sehingga tidak terkesan seperti mereka kehabisan ide untuk menulis.
Melalui perdebatan via tulisan, saya mengharapkan munculnya ruang diskusi baru yang menggairahkan. Para santri akan dipacu untuk membaca karya temannya, lalu menanggapinya dalam bentuk tulisan. Sementara itu, yang tulisannya ditanggapi akan dilatih untuk bersikap legowo melihat tulisannya dikupas sedemikian rupa oleh teman-temannya.
Hal ini menurut saya sangat menarik. Munculnya ‘perdebatan’ via tulisan akan memacu minat santri dalam menulis, dan yang menulis akan merasa dihargai karena tulisannya dibaca. Saya berharap hal ini bisa segera terwujud, dan tentu saja saya mengharapkan agar ada yang mengupas tulisan saya ini dan menyajikannya dalam bentuk tulisan. Jika itu terjadi, tentu itu akan sangat menarik.
Pingback: Darul Amanah Kembali Kunjungi TMI Al-Amien Prenduan | TMI Al-Amien Prenduan
Pingback: KJMA Gelar Rekrutmen Keredaksian dan Orientasi Kelompok Jurnalistik | TMI Al-Amien Prenduan