Tawuran atau perkelahian antar pelajar belakangan ini kembali terjadi di Yogyakarta menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan dan pola asuh kita yang harus kita akui. Kota ini yang dikenal sebagai kota pelajar dan pusat kebudayaan, sekarang harus menghadapi masalah sosial yang mengkhawatirkan. Fenomena tawuran pelajar bukan hanya tentang adanya kekerasan fisik di antara remaja, tetapi juga merupakan gambaran kegagalan kita dalam mengembangkan karakter peserta didik.
Belakangan ini, Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota pelajar, sekali lagi dilanda oleh konflik antar pelajar yang tersebar luas di media sosial. Fenomena ini tidak hanya merusak reputasi pendidikan, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran serius tentang keselamatan dan kerusakan karakter bagi generasi muda di masa depan.
Tanpa kita sadari, hal ini pasti akan sangat merugikan para pelajar karena akan mengganggu masa depan mereka dan membuat mereka harus berurusan dengan pihak yang berwajib. Bagi para orang tua, mereka merasa perlu untuk memberikan tekanan sebesar mungkin agar proses pendidikan anak-anak mereka dapat diawasi dengan baik hingga tuntas. Aksi tawuran antar pelajar terjadi tidak hanya di kota-kota besar, tetapi sudah menyebar ke daerah-daerah kecil di Indonesia.
Fenomena tawuran antar pelajar ini merupakan persoalan serius yang memerlukan perhatian dan aksi bersama dari berbagai pihak yang terlibat. Dengan pendekatan yang terkoordinasi dan komprehensif, kita dapat berupaya sebaik mungkin agar generasi muda kita tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang aman, mendukung pada prestasi, dan peduli terhadap masa depan mereka.
Dalam tulisan yang sangat sederhana ini, terdapat dua perspektif penting, yaitu Islam dan psikologi, dalam memahami dan mengatasi fenomena tawuran antar pelajar. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, dapat memberikan analisis dan strategi yang prefentif dalam mencegah tawuran antar pelajar.
Tawuran dalam Islam Boleh?
Salah satu bentuk kenakalan remaja adalah tawuran antar pelajar, dan solusinya harus ditemukan dengan tepat. Islam, sebagai agama yang mendorong perdamaian, memberikan beberapa jalan keluar dalam penanganan tawuran antar pelajar. Secara tegas, agama Islam tidak mendorong tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun. Tawuran di dalam agama Islam merupakan perbuatan yang terlarang dan haram dilakukan oleh umat Muslim karena dapat membahayakan orang lain.
Penekanan pada prinsip Islam yang mengedepankan sikap toleransi dapat ditemukan di beberapa ayat Al-Quran. Larangan untuk terlibat dalam pertikaian terdapat dalam sebuah QS. Al-Hujurat ayat 11:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain [karena] boleh jadi mereka [yang diolok-olokkan itu] lebih baik daripada mereka [yang mengolok-olok] dan jangan pula perempuan-perempuan [mengolok-olok] perempuan lain [karena] boleh jadi perempuan [yang diolok-olok itu] lebih baik daripada perempuan [yang mengolok-olok]. Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah [panggilan] fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim”.
Imam Al-Ghazali berpendapat dalam bukunya Kimiya’us Sa’adah bahwa di dalam diri manusia terdapat jiwa kebinatangan dan jiwa malaikat. Menurut Al-Ghazali, jiwa adalah inti sejati manusia yang perlu disucikan dan diperkaya melalui pengetahuan, perilaku yang baik, dan ibadah yang benar. Dengan memahami dan mengendalikan pikiran dan perasaan, seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati tanpa harus menyakiti atau merugikan orang lain.
Dua karakteristik ini bergantung pada bagaimana kita mengontrol dua elemen penting tersebut untuk memiliki sikap toleran terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Menjadi seorang pelajar perlu banyak belajar mengendalikan emosi dan nafsu, agar hidupnya seimbang. Keseimbangan dalam kehidupan seseorang sangat penting, jangan hanya karena perbedaan pendapat atau kalah dalam persaingan lalu dengan mudah dilampiaskan dengan aksi tawuran atau perilaku destruktif lainnya.
Masa Pencarian Jati Diri
Menurut Hurlock (1999: 206), secara psikologis, siswa berada di usia remaja, di mana mereka mulai menyatu dengan masyarakat dewasa dan merasa memiliki hak yang sama, bukan lagi merasa di bawah orang dewasa. Di samping itu, masa remaja seringkali dicirikan oleh perasaan mudah marah, mudah terpengaruh, dan sulit untuk mengendalikan emosinya. Itu dapat dengan mudah dilihat di berbagai platform media sosial. Banyak remaja di negara kita yang menggunakan media sosial tanpa memiliki keterampilan dalam bersosialisasi.
Para remaja sekarang ini mudah terobsesi dengan simbol-simbol status sosial yang sedang populer di tengah mereka, baik secara langsung maupun lewat media sosial. Dalam konteks predikat negatif, simbol ini kemudian dianggap sebagai pencapaian individu atau kolektif yang membuat mereka merasa lebih unggul daripada orang lain.
Menurut Erik H. Erikson, seorang psikolog Jerman, remaja berusaha mencari identitas diri dengan menjelaskan siapa mereka, peran mereka dalam masyarakat, apakah mereka anak-anak atau orang dewasa, apakah mereka mampu percaya diri, terlepas dari latar belakang ras, agama, dan nasionalitas mereka. Lebih jauh Erikson mengungkapkan, pencarian identitas ini memiliki pengaruh besar terhadap perilaku remaja. Salah satu cara yang umum digunakan untuk menguatkan identitas mereka adalah dengan menggunakan simbol status seperti motor, mobil, pakaian, dan barang-barang lain yang mudah terlihat, sebagai upaya untuk menarik perhatian.
Masyarakat dan kalangan pendidikan seharusnya dapat memahami dengan seksama berbagai hal tersebut perihal kondisi remaja. Banyak yang tidak mengerti sifat perkembangan remaja, sehingga mereka sering dicap sebagai pembangkang dan pemberontak.
Dampak logisnya adalah bahwa para remaja ini akan lebih mempercayai norma-norma yang diberlakukan oleh kelompok serta kepercayaan kelompok mereka daripada aturan hukum formal yang berlaku. Kenapa begitu? karena standar dan norma yang diterapkan oleh kelompoknya lebih mudah dipahami dan dimengerti. Karena itu, penting bagi kita untuk menggunakan pendekatan persuasif, salah satunya melalui komunikasi efektif dengan mendengarkan tanpa perlu menghakimi.
Pendekatan persuasif terhadap kenakalan remaja berpusat pada memperkuat hubungan yang positif, komunikasi yang efektif, dan memberikan dukungan yang konsisten. Dengan pendekatan ini, remaja didorong untuk lebih memahami dan mengubah perilaku mereka dari dalam diri mereka sendiri, bukan karena tekanan dari luar. Dengan kolaborasi yang baik antara orang tua, guru atau pendidik, dan masyarakat, pendekatan persuasif dapat membantu membimbing remaja menuju perilaku yang lebih positif dan membangun.