Komunikasi menjadi salah satu komponen penting dalam keberhasilan pendidikan dan pengasuhan. Banyak masalah muncul dalam kehidupan sehari-hari, yang bersumber dari kesalahan komunikasi. Dalam konteks pengasuhan pesantren misalnya, di tataran paling bawah; antara pengurus dan santri, atau antara santri senior dan junior, kita temukan banyak sekali kesalahpahaman berujung konflik atau anarki, yang disebabkan karena komunikasi yang tidak efektif.
Disadari atau tidak, model komunikasi yang selama ini kita suguhkan masih cenderung otoritatif dan instruktif. Dampaknya, komunikasi masih bersifat satu arah, sehingga tidak terbuka secara luas ruang untuk berdialog. Ada anggapan bahwa model komunikasi semacam itu, dapat membangun kewibawaan. Padahal, kewibawaan tidak terbentuk dari sikap arogan, menjaga jarak, menjaga image, teriakan, bentakan atau gestur tubuh yang “garang”. Kewibawaan dibentuk dari keteladanan dan kedekatan.
Setidaknya ada 9 prinsip untuk membuat komunikasi menjadi efektif. Pertama, hindari melakukan SOK (Salahi, Omeli dan Kritik). Bagaimana rasanya disalahkan, diomeli dan dikritisi tanpa konfirmasi? Alih-alih membuat santri tunduk dan patuh, kebiasaan ini akan membangunkan otak reptilnya. Otak reptil berfungsi mengatur gerak refleks dan keseimbangan koordinasi pada tubuh manusia. Otak inilah yang memerintahkan tubuh agar bergerak jika terjadi bahaya. Bentakan dan omelan memang bisa membuat santri patuh dan tunduk seketika, tetapi mereka akan merekam itu sebagai alarm tanda bahaya. Pada binatang reptil, ular misalnya, saat bahaya datang, jika dia merasa lawannya lebih lemah, dia akan menyerang langsung di titik yang mematikan. Namun jika dia merasa lawannya lebih kuat, dia akan menghindar (lari) atau menunggu hingga lawan lengah untuk menyerang. Begitu pula yang akan terjadi pada santri-santri jika mereka terus menerus diSOK.
Kedua, beri penghargaan yang jujur dan tulus. Memberi penghargaan adalah bentuk kasih sayang dan kepedulian. Mereka yang berada dalam situasi penuh penghargaan dan diakui eksistensinya, akan tumbuh menjadi pribadi yang optimistik dan empatik. Komunikasi yang baik, harus mendahulukan hal-hal positif daripada yang negatif.
Ketiga, bangun keinginan untuk berhasil dalam diri orang lain. Prinsip ini mengharuskan komunikator untuk memahami apa yang ingin dicapai oleh lawan bicara. Dalam konteks pengasuhan pesantren, setiap komunikator harus mendalami target-target perilaku yang ingin dicapai oleh lawan bicaranya terkait topik yang sedang dikomunikasikan. Komunikator bertugas untuk mendorong dan memotivasi lawan bicaranya agar mengerahkan seluruh potensinya sehingga target itu dapat tercapai dengan sukses.
Keempat, senyum. Senyum menjadi pintu bagi terciptanya komunikasi yang menyenangkan dan terbuka. Tersenyum membuat lawan bicara merasa diterima dan dihargai. Perkara senyum ini, kadang bisa jadi berat dan kikuk bagi sebagian orang, tetapi itu bisa dilatih dan dibiasakan. Melatih tersenyum bisa dilakukan di depan cermin atau di depan teman (agar bisa memberikan feedback), dengan cara mengucapkan “cheers” dan menahannya selama 7 detik.
Kelima, menjadi pendengar yang baik. Keberhasilan seorang komunikator adalah ketika ia mampu membuat lawan bicaranya berbicara lebih banyak dari dirinya. Seorang komunikator yang sukses adalah yang mampu menguak banyak cerita dengan sedikit bicara. Bukan sebaliknya. Itulah mengapa Allah menciptakan untuk kita dua telinga dan satu mulut, supaya kita bisa lebih banyak mendengarkan daripada mengomentari.
Keenam, berkuasa dengan nama. Saat melakukan komunikasi dengan orang lain, penyebutan nama menjadi hal penting. Ketika menyapa atau berbicara dengan menyebut nama lawan bicara, secara psikologis hal itu dapat memberikan rasa nyaman dan kedekatan. Dampaknya tentu saja akan tercipta keterbukaan dan rasa aman. Pada level berbeda, pengenalan terhadap nama, juga melahirkan rasa sungkan pada santri, saat dia melakukan pelanggran.
Ketujuh, berilah perhatian yang sungguh-sungguh. Saat berbicara dengan orang lain, letakkan dulu handphone atau hal-hal lain yang berpotensi mendistraksi. Fokus dan beri perhatian pada lawan bicara. Posisikan diri dalam kondisi “here and now”, baik fikiran dan perasan. Jangan sampai fisik kita bersama lawan bicara, tetapi pikiran kita berkelana kemana-mana.
Kedelapan, berbicaralah sesuai minat orang lain. Memahami minat lawan bicara juga bisa menjadi bahan untuk menciptakan komunikasi yang klik dan asyik. Hal ini juga bisa dilakukan untuk mencairkan suasana kaku selama berkomunikasi. Secara psikologis, orang akan merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan mereka yang memiliki minat yang sama.
Kesembilan, buatlah agar orang lain merasa dirinya penting dan lakukan dengan tulus. Penting untuk tidak mendominasi pembicaraan saat berkomunikasi dengan orang lain. Meminta pendapat tentang topik pembicaraan, adalah bentuk penghormatan terhadap lawan bicara. Menghormati pendapat lawan bicara akan membuat dirinya merasa dilibatkan dan diterima..
Ke depan, kita berharap tidak ada lagi konflik yang muncul karena kesalahan komunikasi. Karena itu, persoalan keterampilan berkomunikasi efektif ini menjadi sangat urgent untuk dikuasai. Kita sedang lakukan gerakan massif untuk membenahi kondisi ini untuk menghadirkan kehidupan yang lebih harmonis dan kondusif di dalam pondok. Langkah awal yang kita ambil adalah berguru kepada pakar di bidang pendidikan dan pengasuhan, kemudian ilmu itu kita tularkan kepada seluruh penghuni pondok. Saat ini, kita menfokuskan pembenahan di sektor cabang (rayon). Mengingat lebih dari 50% waktu santri dihabiskan di kamar (rayon). Pembenahan yang dimaksud adalah dengan memberikan edukasi terkait komunikasi yang efektif kepada para mulahidhah, musyrifah, mutsaqqifah, wali kelas, dan juga pengurus organtri. Kita ingin semua pihak memiliki visi misi dan paradigma yang sama. Kegiatan ini dilaksanakan serentak dan akan terus dilakukan secara bertahap sampai diterima oleh seluruh santri tanpa terkecuali.
Tidak sampai di situ, kita juga akan menyusun konsep dan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada terciptanya suasana-suasana ideal seperti yang kita harapkan. Meski harus diakui, kita masih punya banyak pe-er untuk segera diselesaikan. Mengubah mindset dan tradisi keliru yang berlangsung bertahun-tahun, memang bukan perkara mudah, tetapi kita optimis suatu saat nanti, kita akan merasakan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan ideal di pondok tercinta ini.
(Catatan dari kegiatan FGD bersama Griya Parenting)