Tel Aviv, Sabtu,  07 Oktober 2023

Hari ini, sabtu, 07 Oktober 2023, adalah hari berlangsungnya festival Sukkot atau perayaan Tabernakel. Ini merupakan sebuah perayaan di agama kami, ummat Yahudi. Hari raya Tabernakel adalah sebuah perayaan sebagai tanda rasa syukur kami atas hasil panen bumi di wilayah Israel. Kegiatan ini akan berlangsung selama tujuh hari di bulan purnama, yaitu antara bulan September dan Oktober.

Sejak berumur lima tahun, ibu selalu memberi nasehat agar aku menjadi penganut agama Yahudi yang taat. Semua ibadah dan perayaan hari raya, harus dijalani. Jika tidak, ibu akan marah, dan langsung mengunciku di dalam kamar mandi seorang diri. Ibu juga kerap memberikan doktrin kepadaku tentang Palestina. Ibu bilang, orang Palestina adalah musuh kami. Mereka, orang-orang Palestina itu, layaknya seekor binatang yang tidak berguna, dan harus dibinasakan.

Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, guru dan pemuka agama juga mengajarkanku untuk membenci orang-orang Palestina. Mereka tidak memberikan alasan yang jelas, kenapa harus membenci penduduk Palestina. Berangkat dari doktrin itulah, aku terpaksa menanamkan kebencian terhadap orang-orang Palestina.

Pagi ini, sebelum berangkat ke acara festival Sukkot, aku menunaikan Syahariat terlebih dahulu. Syahariat merupakan ibadah sembahyang yang dilakukan di pagi hari. Lebih tepatnya, saat matahari mulai muncul ke permukaan bumi. Kain panjang pemberian ibu tidak lupa kukenakan, sebagai bukti bahwa aku adalah pemuka agama Yahudi yang taat.

“Anak ibu cantik sekali!” ujar ibu. Aku membalas senyuman ibu dengan penuh semangat.

Di rumah ini, memang hanya ada aku dan ibu. Ayah meninggal dunia saat menjalankan tugasnya sebagai tentara IDF . Di tahun 2003, saat aku lahir, ayah menjadi salah satu tentara yang tewas melawan pasukan Hamas. Sampai hari ini, aku hanya mendengar kisah ayah dari cerita ibu.

“Emillia, kamu dewasa dan semakin cantik. Sayang, ayahmu tidak pernah melihat wajah cantik anaknya” perkataan ibu seakan membuka sebuah luka lama.

***

Jalur Gaza, Sabtu, 07 Oktober 2023

Kaki langit di sudut kota Gaza membiru. Gedung-gedung bertingkat begitu mempesona. Apartemen tempat tinggal warga Gaza mulai menjulang tinggi.  Suasana bahagia terpancar dari setiap insan yang kutemui di pinggir jalan. Beberapa pedagang menawarkan dagangannya, bahkan tidak segan mereka memberikannya kepadaku secara sukarela. Aku tersenyum melihat pemandangan yang sudah hampir satu tahun ini terlihat aman, tanpa ada peperangan. Anak-anak di Gaza sangat senang akan kehadiranku, dan kedua rekanku yang lain.

Indonesia?” tanya salah seorang gadis kecil berambut keriting.

“Ya” jawabku penuh hangat.

I like Indonesia” lanjutnya lagi dengan senyuman khas anak kecil yang manja.

Menjadi relawan Mer-C di tanah Gaza adalah sebuah impian yang kubangun sejak duduk di bangku kelas akhir Madrasah Aliyah. Aku memang pernah bercita-cita untuk mengunjungi kota Baitul Maqdis, kiblat pertama umat Islam di seluruh dunia. Baitul Maqdis juga sebagai tempat Rasulullah SAW melakukan perjalanan malam Isra dan Mi’raj. Sebagaimana dikisahkan di dalam Al-Quran surat Al-Isra ayat 1, yang berbunyi;

Subhanaladzii asra bi ‘abdihi lailaa minal masjidil haram ilal masjidil aqsha”.

Aku ditugaskan menjadi relawan Mer-C di bulan Juni tahun 2022 lalu. Tugas ini merupakan tugas yang berat, mengingat negara Palestina adalah wilayah yang rentan konflik dengan negara penjajah Israel. Setelah melalui berbagai tes dan prosedur yang harus diikuti, hanya tiga orang yang lulus seleksi. Aku, Miftah, dan Farhan. Aku berasal dari Jakarta, Miftah utusan dari Surabaya, sementara Farhan dari daerah Palembang Sumatera Selatan.

Mer-C  merupakan kepanjangan dari Medical Emergency Rescue Committee, yaitu sebuah organisasi sosial kemasyarakatan. Organisasi yang berdiri pada tanggal 14 Agustus 1999 ini bertujuan untuk membantu penanganan akibat kerusuhan, atau konflik peperangan yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan.   Dr. Rizal, sebagai ketua Mer-C se Indonesia telah merekomendasikan aku, bersama dua rekan lainnya untuk pergi ke Gaza Palestina. Tugas yang diberikan untuk kami adalah memantau langsung kondisi di rumah sakit Indonesia Gaza yang berdiri sejak tahun 2011 lalu.

Sore ini, aku mendapatkan sebuah berita yang membuatku tercengang. Di sebuah ruangan berukuran 4×4 meter, kami mendapatkan informasi dari media elektronik, tentang kabar Hamas menyerang ibukota Tel Aviv.

Setengah percaya, aku bertanya kepada salah seorang tim medis yang berkewarganegaraan Palestina.

“Apakah berita ini benar, akhi?” tanyaku kepada Sulaeman Al Jayd.

“Benar, Ahmad!” katanya sambil menatapku dengan mata yang berbinar. Aku langsung menarik napas panjang. Semoga semua akan baik-baik saja.

***
Tel Aviv mencekam. Festival Sukkot yang berlangsung meriah mendadak ricuh. Iringan tarian dan nyanyian terpaksa berhenti karena dentuman suara bom yang bersumber dari langit. Beberapa paralayang , yang entah apa di dalamnya, tampak terjun bebas ke arah ratusan pengunjung festival.

Aku, Emillia, salah satu pengunjung festival Sukkot ikut berlari dengan penuh ketakutan. Beberapa temanku yang tadi pergi bersamaku, entah di mana kini keberadaannya. Sekuat tenaga, aku mencoba menghindari serangan demi serangan. Tiba-tiba, kakiku tersandung batu besar. Tubuhku terpelanting jauh beberapa kilometer dari acara festival yang tadi sempat berlangsung meriah. Keningku berdarah tersungkur ke atas tanah. Mataku mendadak meredup.

Gelap. Entah kenapa, tiba-tiba aku sudah berada di dalam ruangan sempit ini. Seperti goa atau ruang bawah tanah.

Sebuah suara seorang laki-laki asing menyadarkanku. Bahasa yang tidak aku mengerti semakin membuatku ketakutan.

Hampir 4000 warga Gaza di tahan di penjara Israel

“ Apakah kita harus berdiam diri untuk melawan zionis yang sudah menjajah tanah ini selama tujuh puluh lima tahun?”

Baitul Maqdis harus kita jaga keutuhannya! Kobarkan semangat jihad fi sabilillah!” bahasa asing yang terlontar dari beberapa lelaki yang tidak kukenal sama sekali itu, membuatku semakin ketakutan. Aku membayangkan wajah ibu. Dan mendadak,  kebencianku terhadap orang Palestina semakin memuncak. Ibu benar, orang Palestina itu jahat. Buktinya, aku menjadi tawanan di ruang bawah tanah ini.

Ketakutanku semakin menjadi, manakala seorang lelaki dengan tubuh tinggi tegap, menggunakan penutup kepala menyuruhku untuk mengikuti arahan dan petunjuknya. Setengah berdiri, lemas penuh rasa takut, aku terpaksa mengikuti perintahnya.

Lima belas menit aku berjalan mengikuti lorong gelap. Ternyata, ada sekitar puluhan wanita dan anak-anak yang kurasa adalah orang Israel asli duduk tenang di sana.

Mereka menyambutku dengan senyuman manis. Sementara, aku masih dibuat bingung dengan kejadian ini.

Lelaki penutup kepala itu menyodorkanku sebuah air kemasan botol berukuran sedang. Dengan angkuh, aku menolaknya. Entah apakah dia marah, atau kecewa, aku tidak tahu. Yang pasti, hari ini, aku menangis sejadi-jadinya, dan sangat membenci orang Palestina.

***

Jalur Gaza-Rumah Sakit Indonesia,  21 November 2023

Dugaanku benar. Isarel melakukan aksi balas dendamnya atas apa yang telah Hamas lakukan di tanggal 7 Oktober 2023 kemarin. Serangan demi serangan dibalasnya ke seluruh penduduk Gaza Utara. Hampir sepuluh ribu nyawa  melayang, dengan korban banyak dari kalangan bayi, anak-anak dan wanita.

Hari ini, Israel mengepung rumah sakit tempatku bertugas. Mereka memperingatkan kami agar segera keluar dari gedung rumah sakit. Dengan alasan, rumah sakit Indonesia menjadi salah satu tempat persembunyian Hamas. Alasan yang dibuat-buat tanpa ada dasar bukti yang kuat. Padahal, di dalam gedung rumah sakit ini, kami sedang menangani ratusan pasien yang merenggang nyawa akibat serangan tentara IDF.

Kami terpaksa mengosongkan gedung rumah sakit Indonesia. Tidak lama, sebuah bom dahsyat dijatuhkan, meluluhlantakan sebagian rumah sakit ini. Kami  lari berhamburan sembari tidak hentinya melafalkan kalimat takbir.

Allahu Akbar. Hasbunallah wa nikmal wakil, nikmal maulaa wa nikma nashir”

Suasana malam selalu mencekam. Keimanan warga Gaza kerap menenangkan hati kami.  Andaikata, takdir harus menentukan aku dan kedua rekanku wafat di tanah kelahiran para nabi ini, semoga kami diwafatkan dalam keadaan syuhada. Sebagaimana impian para penduduk Palestina demi mempertahankan tanah leluhurnya.

“Ahmad, pemerintah Indonesia akan mengevakuasi kita. Apakah kita siap meninggalkan Gaza dalam keadaan seperti ini?” tanya  Farhan.

“Aku tidak akan meninggalkan Gaza. Jika pun harus mati di sini, semoga Allah menjadikan aku sebagai syuhada” ujarku sambil menatap ke atas langit yang penuh asap tebal hitam akibat serangan udara rudal Israel.

“Aku ikut denganmu, Ahmad” sambung Farhan.

“Aku juga” Miftah mengamini.

***

Genjatan Senjata, Gaza Utara, 27 November 2023

Orang-orang bertutup kepala itu memperlakuanku dan tawanan lainnya dengan baik. Mereka memberikan kami makanan dan minuman yang layak. Bayanganku tentang orang Palestina terbantahkan langsung dengan apa yang kualami saat ini. Kebencianku tentang mereka, perlahan mulai menghilang.

Hampir setiap hari aku mendengar mereka melantunkan nyanyian-nyanyian yang membuat bulu kudukku merinding. Saat kuintip kegiatan mereka dari balik tembok tempat di mana kami di tawan, mereka sedang melakukan ibadah yang belakangan kuketahui dari beberapa tawanan di sini dengan sebutan sholat. Salah satu di antaranya berdiri di depan, sementara yang lainnya berbaris di belakang mengikuti apa yang dilakukan oleh pemimpin  di barisan paling depan.

Lantunan demi lantunan dibacakan oleh pemimpin mereka. Entah bacaan apa, aku tidak paham. Yang pasti, aku mendengar dengan jelas suara lelaki yang berdiri di barisan paling depan tampak serak,  bahkan sesekali terdengar isakan tangis mengiringi peribadatan mereka.

Syahdu dan tenang. Itu yang kurasakan. Sebelumnya, aku berpikir mereka akan menganiaya, melecehkan, bahkan membunuhku sebagai seorang tawanan perempuan. Ternyata, dugaan itu salah besar. Mereka sangat menghormati kami sebagai tawanan. Bahkan, tanganku, sama sekali tidak pernah disentuh oleh mereka.

Malam ini, aku dan beberapa tawanan lainnya akan dibebaskan. Perang yang berlangsung hampir sebulan penuh itu kabarnya akan berakhir. Ya, semoga kabar itu benar.

Genjatan senjata. Pertukaran tahanan siap dilakukan. Aku termasuk salah satu tawanan pasukan Hamas yang malam ini akan dibebaskan. Iringan mobil ambulance menyambut kehadiran kami.

Aku berusaha tersenyum saat kudapati beberapa pewarta berita mengambil gambarku dari kamera yang mereka miliki. Ingin rasanya bercerita ke dunia tentang Hamas.  Pandangan mereka tentang Hamas  sebagai teroris, adalah salah besar. Hamas hanya tentara biasa, yang mencoba mempertahankan tanah Palestina.

Kejadian di festival Sukkot kemarin, sebagai aksi pembelaan Hamas terhadap warga Palestina yang telah ditawan oleh pemerintah kami sendiri, Israel.

Aku ingin bercerita kepada dunia melalui pewarta berita, bahwa orang-orang Palestina tidak layak untuk dibunuh karena mereka bukan binatang, seperti doktrin yang selama ini kudapatkan. Tetapi entah kenapa bibirku kaku. Aku tidak ada keberanian untuk mengungkapkan kebenaran itu. Malam ini, aku hanya ingin memeluk ibu, yang selalu menyuruhku untuk menjadi penganut Yahudi yang taat.

Aku akan mengubur kebencianku terhadap Hamas, apalagi terhadap warga Palestina. Kubuang jauh prasangka burukku tentang mereka.

Seakan berbanding terbalik seratus derajat, malam ini aku mengobarkan api kebencian pada negaraku sendiri. Aku benci  pada pemerintahannya, benci kebijakannya. Karena mereka lah peperangan ini terjadi.

***

Malam Tenang, Gaza Utara, 29 November 2023

Aku menyaksikan sendiri bagaimana tubuh-tubuh tidak berdosa itu bergeletakkan. Darah segar mengalir. Mayat-mayat terbujur kaku di setiap sudut jalan. Kami sudah tidak berdaya untuk menolong warga yang masih selamat tetapi butuh pertolongan. Tidak ada lagi peralatan medis yang layak untuk dipakai. Karena semua sudah diambil alih oleh pasukan IDF.

Sejak pasukan IDF mengusai rumah sakit Indonesia, aku dan dua rekan lainnya memilih mengungsi bersama para penduduk kota Gaza yang masih tersisa.

“Hari ini genjatan senjata terakhir” ucapku.

“Begitu tenangnya Gaza tanpa perang” Miftah melanjutkan pembicaraan.

 “Ya” kataku yang sudah merasa lelah.

“Semoga tidak ada lagi perang” lanjut Farhan, yang kami aamiinkan.

“Sudah sholat Isya?” tanya Farhan. Aku dan Miftah menggeleng. Kami bertiga siap beranjak hendak bertayyamum. Karena pasokan air di sini tidak ada, jadi kami memilih bertayamum sebagai salah satu syarat sah wajib sholat.

Baru beberapa meter kami meninggalkan tempat duduk. Sebuah ledakan dahsyat  kembali terjadi. Sebuah ledakan menghancurkan bangunan rumah di sebelah kami duduk. Di saat yang bersamaan pula, potongan tubuh yang sudah hancur mendarat tepat di hadapan kami.

Kami bertiga nelangsa menatap langit hitam pekat di sudut kota Gaza. Sudut bibir kami nyaris bersamaan mengucapkan kalimat;

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”

Isarel melanggar perjanjian. Mereka tidak  mau menghentikan peperangan. Ini bukan sekedar perang, tapi ini merupakan sebuah genosida. Entah sampai kapan.

Tubuhku melemas. Rasa rindu pada Indonesia yang begitu damai mulai menggerayang. Aku tidak tahu, apakah kami bisa pulang ke tanah air dalam keadaan selamat, atau nanti akan menjadi korban keberingasan Israel selanjutnya.

Ah, perih hati ini, menatap langit Gaza yang sudah tidak lagi membiru.

***

Jakarta, 05 Desember 2023

Diangkat dari kisah nyata saat ini. Telah terjadi pembantaian genosida di wilayah Gaza oleh tentara IDF

Sumber berita: TV One, Republika, Detik.com