Saat istirahat, tiba-tiba seorang kolega bertanya, “Bapak, memang dari dulu bercita-cita jadi guru?” sambil menyeruput kopi di mejanya. Saya tak menjawab “ya” atau “tidak,” namun saya bercerita tentang studi sebelum kuliah. “Pak, saya nyantri di pesantren yang visi-misinya adalah mencetak para pendidik. Namanya Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah” Kata saya santai.

Kiai kami berpesan kepada para santri, “Setelah kalian pulang ke masyarakat kelak, apa pun kiprahnya, kalian harus menjadi guru…” Begitu kurang lebih pesan KH. Muhammad Idris Jauhari.

KH. Muhammad Idris Jauhari adalah pimpinan dan guru kami di Pesantren Al-Amien. Beliau adalah sosok karismatik yang begitu dihormati, tidak hanya oleh para santri dan ustadz, namun juga sangat disegani para kiai lainnya. Beliau gemar blusukan ke asrama-asrama santri pada waktu shalat tiba atau acara-acara lainnya. Beliau turun langsung, menggerakkan santri, supaya hidup disiplin, cepat dan tepat waktu.

Pernah suatu ketika, banyak ustadz yang telat datang ke kelas, maka pada sore hari, beliau mengumpulkan ustadz di Aula. Beliau menegaskan, bahwa guru tidak akan berhasil mendidik murid-muridnya, bila tidak berdasarkan panggilan gairah jiwa (the passion of soul). Tentu, tujuannya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab hanya dengan jiwa dan niat baik pembelajaran bisa menghadirkan suasana “saling mencintai”. Guru “mencintai” murid, dan murid pun “merindukan” gurunya.Mendidik dengan cinta adalah kunci utama untuk membuka ilmu yang berkah. InsyaAllah. Amin!

Saya merenungi kembali rangkaian nasihat kiai di atas, hingga akhirnya saya memahami, atau setidaknya sedikit mengerti, bahwa setelah lulus dari ma’had, para santri dengan beragam kiprahnya di masyarakat dituntut untuk memiliki jiwa guru. Guru dalam arti sifat yang melekat padanya, bukan guru sebagai pengajar formal di sekolah-sekolah.

Tukang sate yang guru, tukang bakso yang guru, penjual gorengan yang guru. Nelayan, petani, pedagang, pejabat, penulis yang guru, dan lain-lain.

Sebagaimana juga sering kami dengar nasihat kiai, bahwa guru mesti memiliki Trijiwa Guru: guru sebagai inspirator, adalah kawan (suhbah) yang senantiasa menjadi sumber cahaya yang mencerahkan. Guru sebagai pioner, adalah teladan (uswah) yang senantiasa dicontoh siapa pun. Guru sebagai motivator, yang mengajak (dakwah) umat agar berjalan dalam koridor siratal mustaqim. Guru adalah jiwa, bukan profesi semata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.