Suatu ketika saya bertemu dengan seseorang, seorang ibu; beliau bercerita kekagumannya tentang si fulānah, sebut saja Siti – seorang alumni TMI yang saat ini tengah berhasil mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur’an di kampungnya, rumah nya yang sederhana kini ramai dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an anak-anak SD. Tidak tanggung-tanggung anak didiknya sudah mencapai sekitar 100 anak. Pencapaian yang bagus menurut saya, di awal pendirian TPA sudah mempunyai anggota sebanyak itu. Siti akhirnya berhasil merekrut beberapa guru untuk membantunya mengajar mengaji. Ada hal menarik di pertemuan kami. Ibu itu tiba-tiba bertanya ke saya sambil berbisik, bagaimana si Siti saat di pondok, bagaimana guru-gurunya di pondok mengajarinya sampai ia berhasil seperti sekarang ini. Dengan penjelasan singkat saya menyampaikan kepada nya, bahwa inilah yang dinamakan al-ʻilmu an-nāfiʻ, ini juga yang dinamakan berkah-barokah yang didapat dari pondok.

Setelah pertemuan dengan ibu tersebut, saya berusaha mengingat-ingat bagaimana si Siti selama di pondok. Dan kesimpulan yang saya dapatkan adalah, Siti merupakan sosok yang sangat taʻẓĭm kepada para guru. Ia tidak ber-IQ tinggi, namun hormat nya ke guru sangat ia utamakan.   

Di kesempatan lain, beberapa minggu yang lalu, kembali saya bertemu dengan seorang ibu. Beliau menceritakan rasa syukurnya karena anak sulungnya yang sudah tamat studi di TMI kini mengajar mengaji di malam hari, membuka les private/bimbingan belajar sore hari, juga mengajar TK pagi harinya. Saya yang mendengar kabar tersebut ikut mengucap syukur dan kagum atas pencapaiannya, lagi-lagi karena saya mengetahui bagaimana kondisi anak tersebut selama di pondok. Ia bukanlah seorang anak yang menduduki peringkat the best di kelasnya, namun ketaatannya kepada guru, kedisiplinannya terhadap aturan pondok sangat ia jaga. Pada moment haru saat ibunya bercerita, saya sempatkan bertanya kepada beliau, apa kira-kira yang ibu amalkan selama anaknya di pondok. Beliau menjawab, “saya tidak punya amalan apa-apa, saya memahami kondisi anak saya memang tidak pintar, namun saat saya memasukkan ke pondok dan selama ia belajar di pondok saya pasrah se pasrah-pasrahnya kepada pengurus pondok, kepada kyai dan nyai serta guru di pondok, ketika anak saya mengeluhkan sesuatu, saya selalu membesarkan hatinya dan menyadarkannya bahwa pada kehidupannya nanti tidak akan berjalan mulus semua, pasti ada liku-likunya bahkan bisa saja lebih beragam. Dan anak saya harus belajar dewasa menyelesaikan masalah nya. Selain itu saya berdoa agar ilmu yang didapatnya bermanfaat, saya tawakkal dan pasrahkan ia kepada Allah. Karena sejatinya ia adalah titipan Nya”.

Kedua cerita tersebut nyata adanya, cerita pertama menjelaskan bahwa keberhasilan seseorang sebab hormat/taʻẓĭm nya kepada guru, sedangkan yang kedua sebab ketaatan anak dan kepasrahan orang tua terhadap guru serta tawakkal nya kepada Allah swt.

Taʻẓĭm, taat, pasrah kepada guru saya simpulkan menjadi salah satu adab dalam menuntut ilmu. Seseorang dengan IQ yang biasa-biasa namun ber-adab lebih sukses dari pada yang ber-IQ tinggi tapi dia kurang ber-adab. Pernyataan saya ini bukan bermaksud mengesampingkan IQ, akan tetapi lebih pada mengutamakan adab, sebagaimana Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menyatakan dalam qoul nya; “Aku lebih menghargai orang yang beradab, dari pada orang berilmu. Kalau hanya berilmu, iblispun lebih tinggi ilmunya dari manusia”. Syekh Abdul Qadir memposisikan orang yang beradab (berakhlak) lebih utama dari pada orang yang berilmu. Apabila ini kita telaah lebih mendalam tentu benar, karena seseorang dengan adab yang baik dapat menggunakan ilmu yang ia peroleh untuk kebaikan, kemajuan dan hal-hal yang positif, baik untuk dirinya sendiri dan atau untuk orang lain disekitarnya. Dengan demikian adab merupakan dasar atau pondasi seseorang yang harus dimiliki sebelum ilmu.    

Adab secara bahasa addaba – yuaddibu – ta’dib, bermakna proses mendidik; adab sering dikaitkan dengan akhlak yang bermakna sopan santun, tata krama atau budi pekerti. Adab menempati posisi penting bagi kehidupan seseorang, kenapa demikian; karena adab akan menuntun seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Maka tidak berlebihan jika saya menyimpukan bahwa adab (akhlak) bisa menjadi penyebab kesuksesan dan keberhasilan seseorang. 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib – khalifah ke empat yang mendapat julukan bābul ʻilmi dari Rasulullah SAW. pernah berkata : “anā ‘abdun man ‘allamanĭ harfan wāhidan, in syā-a bāʻa, wa in syā-a aʻtaqa, wa in syā-a istaraqa” –“Aku adalah hamba bagi seseorang yang mengajariku walau hanya satu huruf, aku pasrah padanya, aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap sebagai seorang hamba”. Qoul Sayyidina Ali ini mengajarkan kepada kita bahwa betapa sangat taat dan hormatnya beliau kepada siapapun orang yang telah mengajarinya walau hanya sedikit ilmu yang diajarkan. Tentu saja beliau tidak pandang siapa orangnya, namun lebih pada apa yang diajarkannya.

Kisah lain saya ambil dari keteladanan Imam Syafi’i, salah satu ulama empat mazhab ini juga dikenal sangat menghormati gurunya. Sepeninggal ayahnya, beliau dibawa oleh ibunya ke Mekkah dan tumbuh besar disana. Semangat menimba ilmu terlihat dari banyaknya bidang keilmuan yang ia pelajari dari beberapa guru yang berbeda, diantaranya; Muslim bin Khalid Az-Zanji seorang mufti tempat berguru ilmu fiqh, Dawud bin Abdurrahman al-Athar, Sufyan bin Uyainah, dan masih banyak yang lainnya. Begini kisahnya, pada suatu hari Imam Syafi’i bertemu dengan seseorang yang sudah tua, dalam kesempatan itu beliau langsung mencium tangan dan memeluk orang tua tersebut. Kejadian ini membuat orang yang berada di sampingnya terkejut dan heran terhadap sikap Imam Syafi’i, ia lalu bertanya kepada Imam Syafi’i; “mengapa engkau lakukan hal itu, bukankah laki-laki itu sudah tua, apakah engkau mengenalnya?”. Kemudian Imam Syafi’i menjawab “ia adalah guruku, yang harus aku muliakan, karena aku pernah bertanya kepadanya bagaimana cara mengetahui seekor anjing yang sudah dewasa, lalu ia menjawab; kita bisa melihat anjing itu sudah dewasa jika ia mengangkat sebelah kakinya ketika kencing”.

Dua kisah tersebut mengajarkan kepada kita adab menghormati guru, dengan tanpa melihat siapa dia, unur mā qāla wa lā tanur man qāla. Siapapun orangnya selama yang disampaikan itu memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi kita maka selayaknya kita menghormatinya.

Mari bersama-sama kita ber-muhasabah, introspeksi diri, sudahkah kita menghormati orang yang telah mengajari kita ilmu meskipun hanya sehuruf saja?, sudahkah kita menghormati guru yang selama ini telah banyak mengajarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman berharga kepada kita?. Jika belum sempurna kita lakukan maka perlu kita segerakan. Dalam proses pembelajaran formal di kelas-kelas misalnya; ketika kita ikhlas mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru, memperhatikannya saat ia menjelaskan kata demi kata kepada kita, maka guru akan ikhlas juga mengajari kita. Dan pada saat murid dan guru sama-sama ikhlas, maka proses transfer ilmu insya Allah akan lebih mudah dan diridhoi-Nya. Semoga kita termasuk dari bagian orang-orang yang mendapatkan al-ʻilmu an-nāfiʻ dan barokah. Aamiin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.