Tidak semua orang memiliki keberanian mengkritik diri sendiri. Mengakui bahwa dirinya telah melakukan kesalahan, atau kurang tepat dalam mengambil sebuah keputusan, bukan hal yang mudah dilakukan.

Kebiasaan mengkritik diri sendiri, merupakan barang langka, sebagai langkah preventif untuk memperbaiki diri dari kesalahan yang lalu-lalu. Bila seseorang terbiasa melakukannya, akan dapat membangun spirit tahsînul amal bagi setiap pekerjaan yang belum dapat ia tuntaskan dengan optimal. Seseorang juga akan dapat dengan mudah mengidentifikasi letak kesalahan, kemudian berupaya untuk terus memperbaiki dan melakukan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap kesalahan tersebut.

Istilah “kritik”, selama ini masih dipandang sebagai “monster” yang menakutkan bagi sebagian orang. Sehingga mereka menyikapi kritik tersebut dengan perasaan meluap-luap. Alih-alih merespon kritik itu dengan positif, yang ada justru kritik dapat menimbulkan alergi di ruang publik. Sementara, bila membiarkan kritik itu menguap tanpa adanya respon, justru akan mengurangi kepercayaan publik terhadap orang tersebut.

Dalam ajaran agama Islam, tradisi mengkritik diri sendiri merupakan sesuatu yang dianjurkan. Barangkali tradisi ini juga sering disampaikan oleh para kiai di Al-Amien Prenduan, dalam banyak kesempatan. Tradisi “kritik” itu, dikenal dengan istilah muhasabah atau introspeksi diri. Tujuannya sama, sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi dan berbenah diri dari kesalahan-kesalahan.

Selama ini, muhasabah dipahami sebagai bentuk aktivitas memperhatikan dan merenungkan hal-hal baik dan buruk yang dilakukan seseorang. Termasuk di dalamnya, menimbang ulang niat dan tujuan suatu perbuatan yang akan dan atau telah dilakukan. Apa untung dan rugi dari perbuatan tersebut. Namun sayangnya, aksi dalam merespon aktivitas muhasabah ini hanya sebatas endapan-endapan perenungan, yang menumpuk sebagai arsip pribadi dalam diri. Sementara upaya-upaya memperbaikinya pun kadang menghadapi jalan buntu.

Al-Qur’an menempatkan pentingnya aktivitas muhasabah, agar manusia tidak lupa diri. Dan bahkan, Allah menyebut orang-orang yang lupa diri itu sebagai orang yang fasik. Ayatnya populer. Bunyinya; yâ ayyuha al-ladzîna amanû ittaqullaha waltandzur nafsun qaddamat li ghad. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (hari akhirat). (QS. Al-Hasyr:18)

Ayat di atas, merupakan seruan Allah terhadap hambanya, untuk melihat ke dalam diri. Beberapa ahli tafsir, mengartikan ghad sebagai “hari akhirat”. Sementara sebagian yang lain, menafsirkannya sebagai “hari esok”. Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni hari setelah hari ini. Jadi, konsep muhasabah tersebut berlaku bagi siapa pun, yang telah berbuat sesuatu pada hari ini, perlu menimbang-nimbang mengintrospeksi perbuatannya, untuk perbaikan di hari setelah hari ini.

Sementara Ibnu Katsir, menafsirkan ayat tersebut selaras dengan hadits Rasulullah, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi: Hâsibû qabla an tuhâsabû. Buatlah perhitungan dengan dirimu, sebelum kamu dihisab.

Dari dua referensi di atas, konsep muhasabah identik dengan menilai diri sendiri. Mengevaluasi perbuatan dan upaya introspeksi terhadap perbuatan tersebut. Muhasabah juga menjadi salah satu cara untuk memperbaiki hati, melatih, dan membersihkannya dari perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji.

Mengubah Kebiasaan

Kebiasaan mengkritik diri sendiri, boleh jadi pekerjaan yang bersifat subjektif dan sulit diukur. Melatih diri membiasakannya, tentu bukan perkara mudah. Namun, jika dibiarkan, akan menjadi malapetaka pembenaran. Maka, perlu alat bantu yang tepat untuk melatih kebiasaan mengkritik diri sendiri tersebut.

Dalam upaya tersebut, para kiai dan pendiri Al-Amien Prenduan menganggap tradisi mengkritik diri ini sebagai persoalan serius. Sebagai bagian dari program pembelajaran, para kiai memfasilitasi seluruh santri dengan alat bantu tersebut. Setiap santri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, wajib memiliki sebuah buku bernama “Mufakkiroh”. Saya tidak tahu pasti, sejak kapan awal mula Mufakkiroh ini diberlakukan. Tapi selama saya menjadi santri, buku ini sudah wajib dimiliki oleh saya dan santri lainnya.

Di dalam buku Mufakkiroh, terdapat berbagai macam instrumen untuk membantu santri. Di antaranya, lembaran yang memuat data prestasi akademik dan non akademik, data pelanggaran, data perizinan, dan sebagainya. Nah, melalui instrumen-instrumen inilah, tradisi mengkritik diri sendiri dapat terukur dengan baik.

Jika digunakan dengan maksimal, buku Mufakkiroh yang dimiliki oleh setiap santri akan sangat membantu mereka mengkritik diri sendiri dan mengubah aktivitas mereka menjadi lebih positif dan produktif. Buku ini, akan menjadi pengingat bagi santri untuk memperbaiki segala aspek yang harus mereka capai dalam priode tertentu.

Misalnya, pencatatan rekam prestasi sebagai upaya meningkatkan gairah belajar. Tentu catatan tersebut bisa menjadi lonceng pengingat bagi santri, untuk memperbaiki prestasi atau target-target tertentu yang belum tercapai.

Instrumen lainnya, pencatatan pelanggaran. Bila di satu hari terdapat santri yang melanggar tidak melaksanakan salat jamaah, maka pelanggaran tersebut terekam dalam catatan Mufakkiroh. Rekaman catatan inilah yang nantinya akan membuat santri lebih waspada dan hati-hati, untuk tidak mengulangi lagi pelanggaran serupa, atau pun pelanggaran lainnya, pada hari-hari selanjutnya.

Di sinilah bentuk pembelajaran yang diterapkan untuk mengubah kebiasaan para santri. Sehingga, aktivitas salat berjamaah yang semula dirasa berat dan terpaksa, lambat laun akan menjadi kebiasaan yang dilandasi kesadaran.

Bila kemampuan mengkritik diri sendiri sudah terlatih sejak menjadi santri, tentu akan lebih mudah untuk menerapkan pola-pola pencatatan semacam ini, pada periode selanjutnya. Paling tidak, kebiasaan semacam ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan hidup, dengan melakukan perbaikan dan penyempurnaan-penyempurnaan di kesempatan yang lain, dalam motif yang lebih luas dan beragam.

Jadi, tak perlu alergi dengan mengkritik diri sendiri. Mengkritik diri sendiri sama halnya dengan mawas diri. Meninjau ke dalam kedalaman hati nurani, untuk memastikan benar tidaknya tindakan atau keputusan yang telah kita ambil. Sehingga, kita bisa menjadi manusia yang lebih bertanggung jawab atas segala tindakan dan keputusan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.