Tiap orang pasti memiliki pengalaman berbeda ketika berziarah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tentu akan sangat berbeda menjadi saksi mata dengan pelaku ziarah. Bagi yang hanya menjadi saksi mata, tentu akan terbersit dalam hati untuk apa berziarah. Melakukan tirakat jalan, baik dengan jalan kaki maupun berkendara dari suatu tempat ke tempat lain seperti seorang yang kurang kerjaan? Hal semacam ini pernah saya alami beberapa tahun silam, tepatnya setelah pengantin baru. Setelah menjadi menantu seorang Kiai yang juga istiqamah berziarah. Atau saat pertama kali berjumpa seorang musyafir tahun 2016.

Saya terus saja mencari jawaban secara perlahan. Saya amati dari jarak terdekat dan mulai menjadi seorang yang menyukai berziarah dari suatu tempat ke tempat lain dengan mengendarai sepeda Mio J Hitam yang saya beli sepulang dari Malaysia tahun 2012, yang kemudian sisa pembayarannya dibantu oleh aba saya, KH. Cholid Mawardi, sehingga tidak berlebihan jika setelah aba wafat, saya menyebutnya sepeda motor kenangan dari almarhum aba. Sepeda ini juga diberi gelar “Sepeda Malaikat” oleh Habib Alwy bin Idrus Baagil (Ketapang) dan alhamdulillah pernah dinaiki beliau dan saya yang menyetirnya.

Ternyata orang yang bermusafir sudah memiliki guru. Mereka datang untuk berziarah dengan bekal ilmu yang sudah diajarkan gurunya. Umumnya berguru kepada Kiai Siddiq baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada yang berasal dari lulusan pesantren, ada pula yang kejawen. Ada yang tirakat jalan, ada pula yang berkendara. Disadari atau tidak, berziarah dari satu tempat ke tempat lainnya akan membawa tongkat. Perihal membawa tongkat antara satu dan lainnya akan berbeda-beda. Mengapa mesti tongkat? Karena tongkat memiliki nilai filosofi kalau hidup mestilah memiliki pegangan.

Pernah suatu ketika saya merasa sangat marah, ketika berucap salam kepada seorang musyafir namun tidak dijawab. Lambat laun saya mulai mengerti ternyata saya tidak tepat dalam menyapa dan berucap salam. Karena ada waktu tertentu di mana tidak bisa saling bertegur sapa dengan orang lain sebelum wirid yang diistiqamahi selesai.

Ada satu pantangan yang tak boleh kita lakukan yakni bertanya setelah dari sini mau berziarah ke mana? Jika ini anda lakukan maka bersiaplah anda kecewa sebab umumnya anda tidak akan mendapatkan jawaban.

Dalam berpindah tempat ziarah antara satu musafir dengan musafir lainnya sangatlah berbeda-beda. Ada yang hitungan menit, jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun. Perbedaan ini bisa disebabkan dengan adanya isyarat yang mereka terima, atau perintah dari guru sebelum berangkat bermusafir. Tahapan yang dijalaninya pun sangat berbeda-beda. Ada yang boleh membawa bekal namun tak boleh melebihi yang telah diamanatkan oleh gurunya. Ada pula yang lebih memilih tetap berada di kawasan ziarah dan tidak keluar lagi kecuali sudah ada isyarat berpindah tempat.

Tak usah merasa heran, bila anda bertemu musafir yang sedang menjalani tirakatnya. Ketika memilih tirakat jalan dan anda menawarkan untuk mengantar ke tempat tujuan. Ada yang menerima bantuan anda dan ada pula yang menolak. Ada pula yang menolak rute terdekat yang anda berikan dan lebih memilih rute terlama dengan melewati jalur utama sebab itu bagian yang tak bisa dilanggar dan sudah menjadi ketentuan. Satu hal yang tak boleh anda tanyakan. Apa yang bisa didapat dengan bermusafir? Jika ini terpaksa anda tanyakan maka bersiaplah kecewa karena anda tak akan pernah mendapatkan jawaban. Kalaupun ada jawaban takkan sesuai dengan ekspektasi anda.

One thought on “Hal-Hal yang Menarik Perihal Berziarah

  1. ABD.HAYAT TOYYIB says:

    Sholih ustad, perlu perceraham, pemahaman terbenjut, terutama bagi teman-teman alumni, paling tidak untuk menambah wawasan keilmuan terutama berkaitan dengan masalah ilmu rohani (tasawuf), semoga bermanfaat,amien

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.