Santri-santri Al-Amien sangat familiar dengan istilah “ilmu ladunnī”. Salah satu medianya adalah doa yang mereka panjatkan bersama-sama dalam acara istirḥām atau istighātsah di malam Jum’at. Doa itu sendiri ijazahnya berasal langsung dari Kiai Djauhari. Lumayan panjang. Dalam salah satu bagiannya, doa itu berbunyi: “Allāhumma-rzuqnā wa iyyāhum ʿilman ladunniyyan wa ʿilman nāfiʿan, wa-ftah qulūbanā wa qulūbahum futūḥa-l-ʿārifīn, wa-jʿalnā wa iyyāhum min ʿulamāʾika-l-ʿāmilīna-l-mukhlashīn”. Jelas di situ bahwa santri-santri Al-Amien secara rutin memohon agar Allah anugerahkan ilmu ladunnī itu kepada mereka, sekaligus kepada guru-guru, saudara-saudara, dan anak-anak mereka.

Lalu, apa makna ilmu ladunnī itu bagi mereka? Kalau para santri itu ditanya, mereka mungkin akan memberikan beragam jawaban. Sebagian barangkali akan kebingungan. Sama seperti saya dahulu, saat masih duduk di kelas-kelas awal di TMI dan MTA. Ilmu ladunnī itu ya ilmu yang datang langsung dari Allah SWT. Bagaimana prosesnya, melalui jalur yang mana, seperti apa orang-orang yang memilikinya, apa bedanya dengan ilmu-ilmu lain yang biasanya kita punya, dan pertanyaan-pertanyaan lanjutan lainnya, tentu akan sangat sulit saya jawab.

Alih-alih merumuskan konsepsi teoretis tentang ilmu ladunnī, saya dan beberapa kawan saat itu merasa lebih nyaman memahaminya melalui proses “personifikasi”. Mungkin istilah itu kurang tepat. Tapi intinya, kami mencoba mencari sosok terdekat yang memenuhi kualifikasi untuk disebut pemilik ilmu ladunnī. Ternyata itu lebih mudah. Secara aklamasi, kami sepakat bahwa orang itu adalah Kiai Maktum. Maka definisi ilmu ladunnī bagi kami saat itu adalah sejenis ilmu yang dimiliki oleh Kiai Maktum. Lebih konkret, lebih berwujud, tapi tentu tidak betul-betul akurat dan tidak lantas menjadi lebih jelas. Pertanyaan-pertanyaan yang substansial tetap tidak terjawab. Misalnya, ilmu ladunnī yang kami anggap dimiliki oleh Kiai Maktum itu sebetulnya ilmu seperti apa? Apa sejenis mengetahui sesuatu tanpa sama sekali mempelajarinya? Atau tetap mempelajarinya, tapi dengan tingkat kecepatan belajar yang super? Atau apa?

Sebagai santri, kami lalu mengamati beliau. Suatu hari, seorang kawan datang ke kelas selepas istirahat, membawa cerita. Ia baru saja datang dari Perpustakaan. Di sana, ia menyaksikan Kiai Maktum sedang membaca beberapa buku. Satu buku dibukanya, dibolak-balik beberapa lembarannya, ditutup lagi, kemudian beliau pindah ke buku yang lain. Demikian terjadi berulang-ulang, cerita kawan saya tadi. Kami lantas bersama-sama mengambil kesimpulan: begitulah pemilik ilmu ladunnī belajar. Ia tidak perlu membaca seluruh buku. Cukup beberapa halaman, seluruh isi buku tertuang ke dalam pikiran.

Sebagai santri, kami memang mengamati guru-guru kami dengan seksama. Lebih seringnya, untuk mencari sesuatu yang bisa kami tiru, kami replikasi. Tapi kadang-kadang juga untuk mencari “kesalahan”. Bukan kesalahan besar. Biasanya, sejenis al-laḥn fī al-kalām,salah ucap, salah harakat akhir, salah peletakan dhamīr,  atau hal-hal kecil lain ketika mereka mengajar dengan Bahasa Arab atau menyampaikan sambutan dan nasehat dalam acara-acara Pondok. Guru-guru kami orang-orang hebat. Menemukan “kesalahan” kecil seperti itu, bagi kami, adalah “prestasi”. Tentu saja untuk itu, kami harus memasang telinga, menyimak guru-guru kami itu dengan konsentrasi penuh dan stamina yang terjaga. Saat seseorang dari kami menemukan sesuatu yang dianggapnya salah dari guru-guru kami, maka itu akan jadi bahan diskusi menarik. Namun seperti lazimnya diskusi orang-orang bodoh tentang sesuatu yang tidak betul-betul mereka pahami, tidak jarang perbincangan kami itu kemudian berakhir dengan perdebatan tanpa ujung.

Nah, Kiai Maktum adalah salah satu dari sedikit guru kami yang susah sekali dicari salahnya. Menemukan laḥn beliau, kata seorang kawan kami sambil mengutip sebuah fragmen dari hadits Rasulullah SAW, sama seperti mencari “jejak seekor semut hitam di atas batu besar yang juga hitam pada satu malam yang kelam.” Nyaris mustahil. Memang pernah ada momen saat kami mengira telah menemukan laḥn beliau. Suatu malam, Kiai Maktum memberikan sambutan berbahasa Arab pada acara Pembukaan Usbūʿ al-Lughah al-ʿArabiyyah. Di masa itu, satu-satunya padanan kata “acara” dalam Bahasa Arab yang kami tahu adalah “barnāmij”. Tiba-tiba, di awal sambutannya, Kiai Maktum mengucapkan kata “barnāmaj”, dengan harakat fatḥah di atas mīm. Kami tersentak, sedikit gembira karena akhirnya kami merasa menemukan kesalahan beliau. Tapi kegembiraan itu hanya bertahan sebentar, berubah menjadi rasa janggal di hati. Kiai Maktum ternyata mengulang-ulang kata barnāmaj itu beberapa kali dalam sambutannya. Pikir kami, ini jelas bukan laḥn. Orang yang salah-ucap tanpa sadar biasanya tidak mengulang-ulangnya dalam kesempatan yang sama. Kiai Maktum, seingat saya, kemudian memberikan penjelasan tentang kata “barnāmaj”  itu di akhir sambutan beliau. Saya lupa poinnya. Tapi kami terus mendiskusikannya di kelas-kelas, di kamar-kamar, berhari-hari. Sejak momen tersebut, saya kira, kata “barnāmaj” menjadi kosa-kata yang lazim kami ucapkan. Ia ternyata bukan laḥn seperti yang kami kira pada awalnya.

Sampai sekarang, saya sebetulnya tidak bisa mengklaim punya konsepsi yang betul-betul jelas tentang ilmu ladunnī itu. Hanya saja, belakangan, ia bergeser ke arah yang lebih spiritualis. Ilmu ladunnī itu diperoleh melalui laku spiritual, jalur yang supra-rasional. Kalau pengetahuan kita pada umumnya diperoleh melalui aktivitas belajar dan berpikir, maka ilmu ladunnī diperoleh dengan cara membersihkan hati, membuka aksesnya langsung ke Sumber pengetahuan tanpa batas. Al-Ghazālī punya perumpamaan yang menarik tentang hal ini. Dalam kitab Iḥyāʾ-nya, al-Ghazālī bercerita tentang persaingan di antara dua kelompok pemahat dan pelukis, satu dari Romawi dan satu lagi dari Cina. Raja kemudian memutuskan untuk mengadu mereka. Disiapkannya sebuah ruangan yang memiliki dua dinding berhadapan. Masing-masing kelompok diminta untuk menghias, melukis, dan memahat salah satu dinding yang ada. Di tengah-tengah mereka, dibentangkan tirai agar setiap kelompok tidak bisa melihat aktivitas kelompok lainnya. Maka sibuklah kelompok Romawi memperindah dinding di salah satu sisi dengan beragam pahatan dan lukisan. Sebaliknya, kelompok Cina tidak melakukan apa-apa selain membersihkan dinding yang satunya dan membuatnya semengkilap mungkin. Ketika jatah waktu yang ditentukan habis, tirai pun diangkat. Semua orang takjub menyaksikan hasil kerja orang-orang Romawi. Dinding yang mereka garap terlihat indah dengan beragam bentuk dan warna yang memukau. Tapi saat menoleh ke dinding satunya, mereka semakin takjub. Dinding itu berubah menjadi cermin yang mengilat saking bersihnya. Pada dinding itu, terpantul hasil kerja orang-orang Romawi dalam gambaran yang lebih indah, lebih berkilau, dan sama sekali tanpa cacat. Mudah diduga, orang-orang Romawi itu adalah kita yang mengira telah berhasil memproduksi ilmu pengetahuan dengan jalan belajar, bereksperimen, dan berpikir, sementara orang-orang Cina itu adalah para pemilik ilmu ladunnī yang, lantaran kebersihan hati mereka, menerima pancaran ilmu langsung dari Allah SWT. Singkat cerita, orang-orang Cina itu akhirnya memenangkan perlombaan dan memperoleh hadiah dari Sang Raja.

Apakah al-Ghazālī menganjurkan agar kita meninggalkan proses intelektual yang rasional dan beralih ke laku spiritual? Tidak juga. Ia justru menegaskan bahwa laku spiritual tersebut sebaiknya dilakukan setelah proses pencarian ilmu yang “normal” itu selesai. Kalau tidak, maka perjalanan spiritual itu akan menjadi sangat lambat, atau bahkan menyesatkan, karena sang pejalan membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasi gangguan-gangguan dalam perjalanannya. Padahal, jika ia membekali dirinya dengan ilmu yang cukup, maka gangguan-gangguan itu akan lebih mudah ia atasi.

Saya teringat kepada sebuah risālah yang ditulis oleh Ibn ʿArabī dan ditujukan kepada Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Yang pertama adalah seorang sufi terkenal, sekaligus penyair dan filsuf. Karyanya ratusan. Di antara yang paling terkenal adalah al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan Fushūsh al-Ḥikam. Sedangkan yang kedua adalah seorang teolog dan mufasir, juga filsuf dan ushūlī, yang sama-sama terkenal. Karyanya juga ratusan, dan banyak di antaranya yang dianggap sebagai bagian dari karya-karya terbaik dalam bidang masing-masing, seperti Mafātīḥ al-Ghayb di bidang tafsir serta al-Maḥshūl di bidang Ushūl al-Fiqh. Ibn ʿArabī adalah representasi dari para sufi. Gelarnya al-Syaykh al-Akbar dan Sulthān al-ʿĀrifīn. Sedangkan al-Rāzī adalah representasi dari para ulama-intelektual. Gelarnya adalah Syaykh al-Maʿqūl wa al-Manqūl atau Sulthān al-Mutakallimīn. Keduanya hidup semasa, tapi al-Rāzī sedikit lebih tua.

Risālah tersebut ditulis oleh Ibn ʿArabī lantaran sebuah informasi yang didengarnya tentang al-Rāzī. Alkisah, al-Rāzī suatu hari terlihat menangis hebat. Ketika ditanya sebabnya, ia kemudian bercerita bahwa ada sebuah persoalan yang telah ia yakini kebenarannya selama 30 tahun. Namun baru saja ia sadar bahwa apa yang diyakininya selama puluhan tahun itu ternyata salah berdasarkan dalil dan argumen yang baru ia pikirkan. Yang membuatnya menangis adalah: bagaimana jika pendapatnya yang baru ini ternyata juga salah dan ia membutuhkan puluhan tahun lagi untuk menyadarinya?

Pertanyaan semacam itu bisa mendorong seseorang menjadi nihilis. Tetapi Ibn ʿArabī mengajukan solusi yang berbeda, sebuah jalan keluar khas para sufi. Menurutnya, ilmu yang diperoleh melalui akal dan pikiran memang tidak pernah memberikan kepastian. Karena tidak pasti, maka pemiliknya juga tidak akan pernah tenang. Satu-satunya jalan adalah menaikkan level pencarian. Matikan pikiran, aktifkan hati, masuk ke medan riyādhah, mujāhadah, dan khalwah. Dengan cara itulah, menurut Ibn ʿArabī, seseorang bisa memperoleh ilmu yang pasti dan meyakinkan, langsung dari Allah SWT. Sejenis ilmu ladunnī yang kita bicarakan di atas.

Entah apa respons al-Rāzī terhadap surat tersebut. Yang jelas Ibn ʿArabi sempat menyampaikan apresiasi terhadap reputasi al-Rāzī sebagai seorang ulama-intelektual. Menurutnya, al-Rāzī adalah orang yang sudah selayaknya naik level. Petualangan intelektualnya cukup panjang, bekalnya sudah lebih dari memadai. Saya membaca bagian itu sambil senyum-senyum sendiri. Kita bukan al-Rāzī. Pengembaraan kita masih jauh dari cukup. Bahwa perjalanan spiritual harus dimulai, itu benar. Tapi belum saatnya mematikan pikiran. Ilmu ladunnī itu akan terus menjadi bagian dari doa-doa kita. Semoga sepercik dua percik kita memperoleh bagian darinya. Tapi mematikan pikiran untuk memperolehnya jangan-jangan termasuk ke dalam “syahwat yang tersembunyi” (al-syahwah al-khafiyyah) seperti diingatkan oleh Ibn ʿAthāʾillah al-Sakandarī dalam Ḥikam-nya.

Saya mungkin salah, dan boleh jadi, baru 30 tahun lagi saya akan menyadarinya.

4 thoughts on “Ilmu Ladunnī

  1. Amru says:

    Masyaallah asyik sekali membaca tulisan Pak Kyai… Saya jadi ingat bagaimana saya dan kawan-kawan sering berdebat tentang ilmu ladunni: nggak keliatan belajar, tapi kok juara terus…

  2. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz says:

    Subhanallah.
    Barokallah.

    Sangat Bagus Sekali Dan Menginspirasi.
    Terimakasih Atas Ilmu nya Pak Kiyai.

    Semoga Panjenengan Sekeluarga Senantiasa Sehat Wal ‘Afiyat Serta Dalam Lindungan Dan Ridho Allah SWT. Amien Yaa Rabbal ‘Alamin.

    PP. Baron Nganjuk Jawa Timur
    1. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz Alumni MTA 2006 M Dan IDIA 2010 M
    2. Usth. Riskiyatun, S.Th.I Alumni IDIA 2010 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.