Sebagai tenaga pendidik, cukup banyak tanggung jawab yang memenuhi catatan di pundaknya, dituntut untuk telaten, ikhlas, ulet, dan optimis dalam setiap urusan pendidikan. Sehingga tidak heran bilamana para ahli mengatakan bahwa kedudukan tenaga pendidik (guru) layaknya orang tua kedua dalam pendidikan anak.

Telaten dalam artian teliti dan sabar dalam mendidik, perlu diperhatikan dengan seksama bahwa sebagai sebagai mahluk biasa, manusia tidak akan pernah lepas dari sifat marah. Tetapi yang membedakan antara satu dengan yang lain adalah bagaimana seorang pendidik mampu menyikapi sifat itu dengan positif.

Beberapa tahun terakhir dunia pendidikan kerap kali dikejutkan dengan fenomena yang cukup memprihatinkan, menyayat hati. Itu didominasi oleh kasus yang terjadi pada beberapa guru dimana tindakannya terindikasi kekerasan, imbas dari laporan hukum yang dilayangkan oleh pihak keluarga siswa terkait.

Hal ini turut menjadi bahan evaluasi terhadap sebagian pendidik yang sebelumnya keras dalam mendidik siswa untuk senantiasa mencari pendekatan lain yang dinilai lebih efektif dalam menciptakan suasana yang kondusif serta harmonis.

Setiap pendidik mengharapkan kebaikan terhadap peserta didiknya. Akan tetapi tak jarang pendidik dengan keras memasang target harapannya di titik maksimal pada tingkatan kebaikan terhadap setiap peserta didiknya, lebih dari pada sekedar baik pada akademik maupun tingkah lakunya. Sehingga tanpa disadari ia lengah dalam memperhatikan kapasitas individual mereka, akibatnya apabila pendidik mendapati peserta didik yang dinilai belum bisa memenuhi harapannya, tidak segan-segan ia akan menegur dengan teguran yang berpotensi menjatuhkan mentalitas peserta didiknya atau bahkan lebih daripada itu.

Menyikapi hal itu, tiba tiba saya teringat dengan dawuh dari salah satu ulama yang sangat karismatik, KH. Maimoen Zubair. Di suatu kesempatan beliau pernah mengatakan “jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang, nanti kamu hanya marah marah ketika melihat muridmu tidak pintar, ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik, masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Doakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah”.

Sederhananya ada tiga poin inti, pertama setiap pendidik dituntut untuk konsisten dan sabar dalam melakoni perannya sebagai pendidik, di samping posisinya yang sangat subtil maka posisi itu juga sangat sensitif, meberikan bimbingan dengan baik serta tidak bosan dalam memberi teguran yang mendidik, memperbaiki niat menjadi suatu keharusan yang tidak terpisahkan darinya, karena sedetik saja ia lengah maka akibatnya juga akan sangat fatal.

Kedua, ketika melihat pada tugas utama seorang pendidik (guru) maka kita akan mendapatinya juga sebagai fasilitator, artinya ia berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Sehingga tidak heran bila sebagian orang mengatakan istilah yang juga tidak asing di telinga kita “guru adalah pelayan”.

Ketiga, selain hubungan horizontal yang sangat erat dengan peserta didik sudah semestinya menjalin hubungan vertikal dengan Tuhan yang sangat baik. Melibatkan Tuhan di dalam pendidikan merupakan ikhtiar seorang pendidik yang sangat penting, mengingat posisi pendidik sebagai perantara dan sejatinya Tuhanlah yang berhak memberikan ilmu dan hidayah bagi siapapun yang dikehendaki-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.