Ahad pagi pada tanggal 16 Juli 2023 bertepatan dengan 27 Dzulhijjah 1444 H, merupakan hari terakhir saya mengawas kegiatan Murajaah ‘Ammah di TMI Al-Amien Prenduan. Hari tersebut bersamaan dengan pelaksanaan haul Kiai Idris Patapan dan Milad Hijri. Namun sayang, saya tidak bisa menghadiri undangan acara tersebut, karena secara bersamaan, saya mesti menghadiri acara silaturahmi bulanan alumni TMI Angkatan 2006 (Sunser) Korda Pamekasan-Sumenep, yang bertempat di Blumbungan Pamekasan, di rumah Zainal Abrori, alumni TMI yang saat ini menjadi perawat di RSUD Moh. Noer Pamekasan. Walaupun saya tidak hadir ke acara haul yang diadakan di pondok pesantren Al-Amien Prenduan, namun dari Pamekasan kami juga melaksanakan munajat doa tahlil dan sebagainya untuk para almarhumin pondok pesantren Al-Amien Prenduan, berikut kepada para sesepuhnya, terutama tawassul kepada Kiai Idris Patapan.

Sebagaimana rutin dilakukan, kegiatan bulanan ini diisi dengan kegiatan bacaan surah Yasin, bacaan tahlil berjamaah, dan pengajian kitab turats yang disampaikan oleh Kiai Fakhrur Rozi (alumni TMI tahun 2006), dari pesantren Al-Is’af Kalabaan Guluk-guluk Sumenep. Pengajian kitab ini sudah berlangsung lama, dimulai dengan mengaji kitab Sullamut Taufiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Tohir Ba Alawi Al-Hadhromi Al-Syafi’i (1191-1272 H/-1777 M), dan saat ini kami sedang mengaji dan mengkaji kitab Tafsir Yasin Karya Syaikh Hamami Zadah. Kegiatan silaturahmi bulanan ini sudah berjalan sekitar hampir 5 tahunan, kalau dalam sejarahnya kegiatan ini diinisiasi pada bulan Juni tahun 2019. Kegiatan ini diikuti oleh alumni dan abituren TMI Angkatan 2006, ada yang berprofesi sebagai guru, dosen, perawat, pedagang, pengukir, aparatur desa dan jenis profesi lainnya. Tidak hanya diikuti oleh alumni yang lulus dari TMI, tapi ada diantara yang ikut merupakan abituren TMI, yang mondok di TMI hanya sampai kelas 2.

Di hari itu, sengaja tidak mengaji kitab, karena berbarengan dengan kegiatan haul Kiai Idris Patapan, maka setelah memunajatkan doa dan tahlil, kemudian diisi obrolan ringan, diantaranya membahas tentang sosok Kiai Idris Patapan. Saya sesekali menimbali tentang pengetahuan saya tentang sejarah Kiai Idris Patapan yang pernah saya kaji selama ini. Menurut sejarah yang saya kaji, awal abad ke-19 M di sebuah kampung yang disebut “Patapan” (Bahasa Madura; tempat bertapa), letaknya di salah satu sudut desa Guluk-guluk. Di kampung tersebut berdiamlah seorang kiai sederhana bernama “Kiai Idris”, yang kemudian dikenal dengan Kiai Idris Patapan. Dia dikenal sebagai seorang sufi yang memiliki pandangan jauh ke depan, dengan senantiasa berharap agar anak cucunya kelak menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Kiai Idris tergolong sebagai kiai kharismatik. Kehidupannya kaya dengan nuansa sufi. Hari-harinya dihabiskan dalam kegiatan penyucian diri, dalam bentuk kebiasaannya dalam bertapa, sehingga oleh masyarakat Guluk-guluk disebut Kampung Patapan. Nama Kiai Idris pun juga bertambah, menjadi Kiai Idris Patapan.

Kiai Idris memiliki nasab keturunan dari Wagung Ru’yat dan Nyai Purnama yang dikaruniai putra Kiai Irawan dan putri yang bernama Raden Ayu Saini alias Potre koneng. Dan dari Potre koneng ini lahir Jokotole dan Banyak Wedi. Kiai Irawan kemudian punya keturunan Raden Kumbara (Kiai Sendir I), lalu Raden Kumbara punya keturunan Kiai Abdurrahim atau Kiai Sendir II (suami Putri Galugur). Di samping itu, Kiai Abdurrahim dikaruniai keturunan Kiai Abdullah. Putri Kiai Abdullah kemudian dikawin Kiai Abdul Qidam atau Kiai Tellu, kemudian dari perkawinan ini lahir Kiai Ibrahim.

Kiai Ibrahim alias Bindara Bungso yang bermukim di Batuampar Timur, yang kemudian melahirkan ulama dan umara di tengah-tengah masyarakat Madura. Bindara Bungso beristri dua orang, pertama Nyai Kursi dan yang kedua Nyai Narima. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai beberapa putra-putri diantaranya: Kiai Saba, Kiai Talang, Kiai Bandungan, Bindara Hasan, Nyai Tanjung, Nyai Tengnga, Nyai Kadungdung, Bindara Saot, Kiai Nuruddin dan Kiai Nurgrahan. Diantara putra-putri Kiai Ibrahim yang menjurus ke pemerintahan adalah Nyai Sendir/Nyai Tengnga (istri Kiai Tengnga) dan Bindara Saod. Sedangkan keturunan Kiai Ibrahim yang terjun ke dunia pesantren atau pendidikan agama dan dakwah adalah Kiai Nuruddin, Nong Tenggi (Nasab Kiai Tidjani Djauhari) dan Kiai Nurgrahan alias Kiai Abdul Akhir. Kemudian Kiai Nuruddin dikaruniai putra Kiai Abdul Qarib/Kiai Abdullah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Buju’ Damar, Barakas Tlaga Pakamban Daja. Kiai Abdul Qarib dikaruniai putri Nyai Murdiyah, yang merupakan penghubung kekerabatan antara Patapan dan Bangkoneng. Dan Nyai Murdiyah (Nyai Beluh) ini dikaruniai putra Idris Patapan. Kiai Idris adalah putra dari Kiai Balu, Rembang Lembung Pragaan Daya. Sedangkan ibunya bernama Nyai Murdiyah, putri dari Kiai Abdul Qarib bin Abdul Akhir. Masa muda Kiai Idris dihabiskan untuk mengaji, nyantri dan mondok, salah satu gurunya adalah Kiai ’Imad putra Kiai Asrar dari Panggung Pekamban Daya, mengikuti jejak ayahnya yang nyantri kepada Kiai Asrar.

Pada saat Kiai Idris mondok kepada Kiai Imad di pesantren Panggung Pekamban Daya, dia tidak hanya mengaji ilmu agama Islam, namun sambil lalu ikut membantu memelihara kuda peliharaan milik Kiai Imad. Suatu waktu, Kiai Imad pernah menyampaikan kepada Kiai Idris, bahwa kalau saat ini, Kiai Idris yang belajar kepada Kiai Imad, namun kelak di masa yang akan datang, keturunan Kiai Imadlah yang akan berguru kepada keturunan Kiai Idris. Nampaknya prediksi ini menjadi kenyataan, karena dari Kiai Idris Patapan inilah, kemudian para keturunannya saat ini mengasuh beberapa pesantren di Jawa Timur. Di beberapa pesantren yang diasuh keturunan Kiai Idris Patapan, banyak dari keturunan Kiai Imad, menimba ilmu, baik nyantri mondok atau nyantri sambil kuliah di perguruan tinggi yang ada di beberapa pesantren tersebut.

Setelah Kiai ’Imad memandang Kiai Idris cukup ilmu, lantas ia meminta Kiai Idris untuk pulang kampung ke Patapan. Beberapa saat setelah itu, ia dinikahkan dengan Nyai Khadijah. Dari perkawinan ini kemudian dikaruniai empat orang putra-putri, yaitu Kiai Chotib, Kiai Hafiduddin, Nyai Nursiti, dan Nyai Mariyah. Namun, Kiai Idris harus berpisah dengan sang istri, setelah Nyai Khadijah wafat. Lalu Kiai Idris menikah dengan adik Nyai Khadijah sendiri yang bernama Nyai Aminah. Bersama Nyai Aminah, Kiai Idris dikaruniai dua orang putri, yaitu Nyai Halimatussa’diyah dan Nyai Halimatussa’adah.

Dari keturunan Kiai Idris Patapan, berdirilah beberapa pesantren di Jawa Timur. Dari Kiai Chotib bin Idris Patapan, berdiri pesantren Al-Amien Prenduan dan pesantren Nurul Huda Pekandangan. Dari keturunan Nyai Nursiti binti Idris Patapan, berdiri pesantren di Bataal Ganding dan Pesantren Karay, Ganding. Dari keturunan Kiai Hafidzuddin bin Idris Patapan, berdiri pesantren Hidayatut Thalibin, Lembung, Pragaan, pesantren Al-Islah, Daleman, Ganding, dan beberapa pesantren di Kabupaten Jember. Dari Nyai Mariyah binti Idris Patapan, berdiri pesantren Annuqayah Guluk-guluk. Dari keturunan Nyai Halimatus Sa’diyah binti Idris Patapan, berdiri pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, pesantren Sumber Anyar, Tlanakan Pamekasan dan pesantren Kembang Kuning, Lancar, Larangan Pamekasan, serta sebagian pesantren di Oro/Toronan Pamekasan. Dan dari Nyai Halimatus Sa’adah binti Idris Patapan, mengasuh pesantren Majlisus Sa’adah Glenmore, pesantren Al-Muqri Prenduan, dan pesantren Al-Is’af Kalabaan, Guluk-Guluk.

Kalau ditelisik dari penamaan Patapan di belakang nama Kiai Idris, dikarenakan beliau hidup di sebuah kampung atau dusun bernama Patapan yang berlokasi di wilayah kabupaten Sumenep, konon masyarakat menyebut Patapan karena di kampung inilah mulanya Kiai Idris melakukan riyadhah diri dengan istikamah salat dan zikir di atas batu. Menurut Kiai Fathol Mannan (keturunan Kiai Idris yang tinggal di Patapan saat ini). Dinamakan patapan karena tempat bertapanya Kiai Idris. Sebenarnya daerah tersebut bernama Gunung Bunter, berubah namanya dikarenakan penisbatan kepada amaliyah bertapanya Kiai Idris di daerah tersebut.

Di sisi lain, Kiai Idris walaupun tinggal di pelosok gunung, namun memiliki impian dan obsesi besar dalam hidupnya. Kiai Idris senantiasa berdoa agar anak dan keturunannya kelak menjadi seperti pohon asam, yang pohonnya rindang (banyak memberikan manfaat bagi orang lain). Dari obsesi dan doa suci inilah, kemudian saat ini, keturunan Kiai Idris banyak mengasuh pondok pesantren besar di Madura dan Jawa Timur sebagaimana disebutkan di atas. Subhanallah!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.