Cara berpikir dalam geometri, walaupun sedikit lain bentuknya, termasuk juga dalam cara kita berpikir sehari-hari. Semakin cerdas otak kita dilatih oleh matematika, kian besar harapan kita akan ketetapan dan kebenaran buah pikiran kita, yakni kalau kita perhatikan syarat lainnya bagi kesempurnaan berpikir. Kalau seorang bapak yang berpengalaman mengingatkan anaknya yang keras hati bahwa uang di dalam kantongnya itu tidak cukup untuk menempuh perjalanan yang begitu jauh, maka sebenarnya ia memasang alasan, seperti ahli matematika yang sedang menguji benar tidaknya suatu persoalan. Si bapak menghitung berapa lama waktu perjalanan, kebutuhan belanja sehari, dan sebagainya.
Jika dalam perhitungannya ia menemukan uang yang diperlukan jauh lebih banyak dari yang ada di kantong anaknya, maka ia memutuskan bahwa uang anaknya tak cukup. Baginya, si anak terburu nafsu, salah perkiraan. Kalau seorang advokat mengajukan, memasang beberapa hukum untuk membenarkan perbuatan orang yang dia lindungi atau untuk menyalahkan lawannya, maka dia sebenarnya memakai cara yang sehari-harinya juga ditetapkan oleh ahli matematika. Semakin tersusun alasannya, kian benar satu per satu alasan itu, serta makin tangkas ia membentuk alasannya, bertambah besar pula pengaruhnya bagi pendengar.
Vladimir Lenin, sesaat sebelum oktober 1917, sesudah ia memperhatikan materialism dialektis dan mengingatkan pertentangan kelas dalam sejarah dunia dan Rusia, mendesak para pengikutnya untuk merebut pemerintahan dengan alasan seperti berikut; 1) suasana revolusioner, ekonomi dan politik memang cukup, 2) partainya memang berdisiplin keras, 3) seluruh rakyat Rusia memang sudah berada di bawah pengaruh Partai Komunis, dan 4) musuh di dalam dan luar Rusia sedang bercekcok.
Dia memasang semua alasan yang benar dan tepat sehingga percobaan itu akan berhasil. Teorinya (dalam hal ini teori itu berarti perhitungan sudah benar) hasilnya semata-mata bergantung pada kecerdikan dan keberanian yang menjalankan. Sebaliknya, bila kita hendak mengemukakan bahwa Gandhism, kalau dipraktikkan sedikit mesti meruntuhkan banyak penduduk dan kecerdasan rakyat india, maka sulit bagi kita memakai cara sintetis (memasang) alasan untuk menguji paham kita. Dalam hal ini, ada baiknya kita gunakan analitis. Kita misalkan Gandhi dan Gandhism sekarang mengemudikan India merdeka. Kita tahu bahwa Ghandi menganggap mesin sebagai setan dan kota tempat berkumpulnya mesin sebagai neraka. Kita mengetahui bahwa dia percaya pada “perkakas tenun tangan” yang diangkutnya sampai London dan dijadikan syarat hidup bagi pengikutnya. Sekarang kita periksa akibatnya kalau Ghandi dan Gandhism mengendalikan ekonomi Hindustan.
Setan mesin tidak dipakai lagi. Dengan demikian, pabrik kain, kereta api, kimia dan mesin sendiri tak berguna. Tambang arang, besi dan lain-lain mesti ditutup. Maka, ilmu alam, kimia, matematika dan lain-lain apa gunanya? Sekolah yang mengajarkan semua ilmu barat itu tak akan pula berguna lagi. Sepertinya bagi Ghandi, satu mangkuk susu lembu sehari dengan dua atau tiga biji pisang, dan barangkali ditambah sedikit nasi tak berdaging, cukup untuk hidup sementara menunggu perpaduan dengan yang rohani. Begitulah mestinya dia anggap besar kecilnya keperluan manusia.
Jika demikian maka yang ada ialah jatuhnya mesin, jatuhnya ilmu pengetahuan, jatuhnya ilmu kedokteran yang sehidup semati, semaju mundur dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut tak ada daya upaya lagi untuk memberantas malaria, kolera, pes atau penyakit baru yang mesti berjangkit akibat pengangguran dan kelaparan yang mesti hebat dahsyat. Dengan jatuhnya ilmu kimia, jatuhlah pula pertanian. Di sisi lain, kalau kekurangan makan, maka seperti dulu, tak ada kapal atau kereta pengangkut makanan dari tempat kaya makanan ke lokasi miskin dengan segera. Matinya manusia seperti dulu lagi, bertimbun-timbun dengan datangnya bahaya kelaparan berulang-ulang. Jadi, penduduk India, walaupun boleh jadi suci dan alim seperti Mahatma Ghandi, akan turun drastis dari kurang 400 juta dari sekarang.
Dengan jalan memisalkan Ghandism sungguh dijalankan, kemudian memeriksa akibatnya seperti seorang ahli matematika, kita sampai pada tesis yang kita ajukan bahwa Ghandism mesti setidaknya menyusutkan penduduk India, kalau tidak melenyapkannya sama sekali. Lenyap, sebab jangan lupa, dunia sekarang hanya untuk golongan yang kuat, bukan dunia impiannya Mahatma Gandhi. Kalau seterusnya kita mau ajukan bahwa ahimsa Mahatma Gandhi itu tak bisa menciptakan perdamaian dunia, seperti Mahatma sendiri pernah mengakui bias, maka jitu dan pendek sekali kita gunakan cara ketiga, yakni menguji teori dengan penyesatan.
Kita mulai! Kalau ada orang yang bertentangan dengan paham kita mengatakan bias, maka ikutilah sampai dia tersesat. “Kalau bias”, kata kita, ”tentu perdamaian dunia sudah lama datang”. Tetapi, perdamaian sekarang lenyap. Oleh sebab itu, “ahimsa” tak bisa menciptakan perdamaian dunia. Jadi, paham lawan kita salah sedangkan kita benar QED. Mahatma Ghandi sudah terkenal di dunia fana ini sejak tahun 1919. Lebih dari 20 tahun melalui radio atau jalan lain, dia menyampaikan ahimsa pada mereka yang berkewajiban memegang perdamaian dunia tak pernah terwujud dan pasti tidak akan ada selama kapitalisme masih hidup!
Memang dalam perdebatan politik, sering kali dipakai metode ad absurdum. Jalan ini menyelesaikan problem, yaitu “perjumpaan titik dari dua jalan”, intersection of logic, sebenarnya tidak asing bagi kita. Perhatikan kemana perginya pemburu macan yang cerdik. Ia pergi ke suatu tempat dimana jalan macan bersilang, memutus jalan mangsanya, misalnya rusa. Pada seluruh jalan macan itu, boleh jadi ia menjumpai macan, tetapi seluruh jalan itu (lingkaran pertama) begitu panjang. Kalau dia ikut seluruh jalan rusa, boleh jadi ia akan bertemu macan yang hendak memangsa rusa. Tetapi, seluruh jalan rusa itu (lingkaran kedua) terlalu panjang pula.
Hal ini lebih dekat dan lebih besar harapan si pemburu kalau ia pergi ke titik di mana dua lingkaran tadi bersilang bertemu. Di sini, bisa jadi sekali ia berjumpa macan. Pelarian karena mencuri atau membunuh pelarian karena politik ada banyak perbedaan, tetapi ada pula persamaan. Perbedaanya tentu mudah dicari. Adapun persamaannya, selain melarikan diri, tiada selalu dikenal. Tetapi detektif, resosir yang bijaksana mesti tahu akan persamaannya. Terlebih lagi kalau pelarian politik tadi berdarah filsafat pula. Dalam hal ini, si pelarian filsafat tertarik oleh tempat yang sunyi. Hal ini pun menarik si pencuri seperti magnet menarik besi. Di sinilah pertemuan logis kedua makhluk yang berakal tadi. Si resosir yang ahli bijaksana tak perlu mengetahui dan mengetahui seluruhnya jalan si pencuri atau si pelarian politik berdarah filsafat. Dua jalan mereka biasanya bersilang, bertemu pada satu tempat, yaitu tempat yang sunyi. Inilah rahasia bagi resosir yang cerdik. Tetapi, bagi pelarian yang cerdik, rahasia ini bukan rahasia lagi. Bagaimanapun juga, yang kita ajukan di sini ialah pandangan bahwa cara berpikir intersection of logic bukan semata-mata perangkat berpikir ahli matematika.
Pingback: Penutupan Gebiyar Bahasa, Pengasuh: Tiada Hari Tanpa Inovasi | TMI Al-Amien Prenduan