Tulisan ini diangkat dari kisah nyata. Terinspirasi dari perjuangan seorang kawan dalam menggapai mimpinya. Hinaan, bully-an, pahit dan perih telah ia rasakan sejak awal menjadi santri. Semangat meraih cita-cita disertai doa yang terus ia pertaruhkan di hadapan sang Maha Kuasa menjadi alasannnya untuk senantiasa bertahan dengan segala kekurangan yang dimilikinya.

Manusia memang makhluk Tuhan yang tidak bisa terhindar dari salah dan dosa. Jangankan berbuat salah dan dosa, berbuat baik yang bernilai pahala saja oleh manusia kadang dinilai buruk. Yang baik dianggap buruk, yang buruk ya pasti bertambah buruk. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn ‘Athaillah bermunajat dalam kitabnya, al-Hikam. “Man kanat mahasinuhu masawiya, fa kayfa la takunu masawihi masawiya,” manusia itu, kebaikannya saja dianggap buruk (oleh manusia lain) apalagi keburukannya.

Terbayang, bukan? Ada orang yang rajin sedekah, dianggap riya’. Sekali dia tidak bersedekah orang-orang yang dengki semakin mantap berkata, “Memang pelit, tidak ada gunanya punya banyak uang, cuma awal saja rajin sedekah, ingin dipuji”.

Di pondok misalnya. Segala bentuk kebaikan, baik berupa ketaatan, kedisiplinan, dan keaktifan dalam mengikuti berbagai kegiatan tak jarang justru dianggap sebagai bentuk pencitraan, agar dipuji, seraya mendapat komentar, “Ila ayna?” (bahasa non formal pondok yang berarti “Mau kemana? Mau apa?” yang berkonotasi negatif).

Tidak berhenti di situ. Yang lebih miris lagi adalah jika santri yang taat itu dalam satu kesempatan tidak menjadi baik sebagaimana biasanya. Yang biasanya taat tiba-tiba ketahuan melanggar. Yang biasa disiplin ke masjid atau ke kelas, suatu hari kedapatan telat dan dijemur di depan marhalah. Meskipun perbandingannya adalah 1:10, keburukan biasanya akan tampak lebih mendominasi. Sekali melanggar, prestasi kedisiplinan dia sebelumnya seketika sirna. Dan di waktu itu juga dia mendapat julukan “muthi’ nakal” dari kawan-kawannya yang sudah biasa mengomentarinya sejak dia benar-benar rajin dan sama sekali tidak nakal.

Seperti itulah apa yang dialami kawan saya yang satu ini. Dia dinilai sangat rajin, bahkan oleh kawan lainnya yang juga rajin. Akan tetapi dia dianggap sangat berlebihan oleh kawannya yang pemalas. Sekilas memang benar, dia seakan menunjukkan sikap yang berlebihan. Namun sebenarnya hal itu tidaklah benar. Selama ini, asumsi “terlalu rajin” yang disematkan padanya adalah salah. Karena pada hakikatnya bukan dia yang terlalu rajin, tapi teman-temannya lah yang malas. Ia hanya menjalani hari-hari di pondok sesuai aturan dan anjuran. Ideal, yang wajib dan yang sunnah.

Sejak santri, dia langsung berwudhu’ ketika sampai di masjid, tak perlu menunggu “diusir” oleh mu’allim yang bertugas di serambi. Tasbih, kitab, sajadah, dan perlengkapan lain pasti selalu ia bawa. Kebiaasaan itu berlangsung hingga ia menjadi mu’allim. Ia juga dengan istiqomah menegur santri yang berbuat salah meskipun itu hanyalah kesalahan kecil yang kerap diabaikan oleh yang lain. Seperti menyeret sandal ketika berjalan, melepas peci saat dzikir setelah shalat, atau menguap namun tidak menutup mulut.

Tidak hanya santri. Sering juga saya melihat ia menegur temannya sendiri ketika ia sedang asyik berbicara tanpa menggunakan bahasa resmi, Arab atau Inggris. Temannya pun marah, tapi ia terpaksa berkata “Na’am, afwan lim”. Namun setelah kawan saya ini berbalik badan lalu beranjak, yang ditegur tadi pun menatapnya sinis, mengepalkan tangan dan mengangkatnya seakan ingin menghajarnya dari belakang.

Ia selalu diremehkan. Di depannya, teman yang membencinya pura-pura menghormatinya, berlagak sungkan, seolah memang mengakui bahwa tindakannya itu baik. Akan tetapi di belakangnya dia hampir tak lagi berarti apa pun bagi para pembencinya/korban tegurannya. Mungkin dia sadar, tapi dia tidak peduli dengan semua itu. Yang ia tahu hanya keharusan untuk benar-benar menjadi mu’allim. Jisman ‘aqlan wa ruhan.

Namun lihatlah dia sekarang. Berkat kedisiplinannya, buah dari ketaatan dan kegigihannya, dia berhasil menjadi pasukan pembela tanah air. Dengan badannya yang sedikit lebih berisi, dengan gagah dia berdiri di antara barisan TNI AD. Membusungkan dada yang sebelumnya sesak dengan caci maki dan peremehan orang lain. Menatap dengan perkasa, siap siaga menjaga kejayaan negara. Menanamkan tekad kesatria dan terus menggaungkan semangat yang membara.

Ia berinisial AA, alumni 2020 asal Jawa Barat. Tidak ada yang menyangka bahwa garis takdirnya adalah mengangkat senjata. Pernah suatu saat, ketika dia bercerita ingin menjadi seorang tentara di waktu masih berstatus santri, dia hanya mendapat tawaan dari temannya yang lain. Memang ada yang pura-pura men-supportnya, disertai senyum remeh yang menandakan “tidak percaya”.

Menjadi Abdi Negara ternyata sudah Tuhan tetapkan di lauh al-mahfudz-Nya. Membela tanah air sudah tertancap kokoh dalam jiwanya. Raganya sudah dia hambakan pada Indonesia tercinta. Al-Quran yang dihafalnya berhasil membawa dia ke titik di mana semua orang akan mulai mengakuinya. Tak akan ada lagi peremehan, apalagi hinaan. Yang ada hanya kekaguman dan kebanggaan tanpa kepura-puraan.

Di desa saya bahkan ada kawan yang sudah mengeluarkan biaya sekitar 400 juta untuk menjadi tentara (dengan budaya suap yang masih ada), namun gagal. Ada juga kawan lain, yang rela berhenti kuliah hanya untuk menjadi anggota polisi. Kuliahnya ditinggal, menjadi polisi pun gagal. Dan kabarnya, hingga sekarang dia masih pengangguran.

Berbeda dengan pak tentara berjiwa santri yang menjadi tokoh utama cerita kali ini. Hidupnya memang dipenuhi lika liku. Namun semangat yang dimilikinya berhasil menaklukkan semua itu. Sebelum benar-benar menjadi tentara, ia sudah memegang senjata di setiap derap langkahnya. Senjata tak kasat mata, yakni kedisiplinan, percaya diri dan juga istiqomah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.