Cuplikan tampilan pesantren selalu tampil sebagai lembaga pendidikan Islam. Tentu saja pesantren memiliki warisan pendidikan pembelajaran Islam yang khas dibandingkan lembaga-lembaga lainnya. Salah satu contohnya pembelajaran Al-Qur’an, mendapatkan perhatian khusus bagi para santri membaca, mengkaji dan mengaplikasikannya dalam keseharian santri. Kini pembelajaran Al-Qur’an menjadi ikon setiap pesantren dalam mencetak output Mutafaqqih Fiddin dan Munzirul Qoum.

Di pondok kita Al-Amien, mengaji Al-Qur’an mendapatkan perhatian khusus setiap waktunya, sebagaimana program yang telah ditetapkan, mengaji Al-Qur’an diwajibkan atas setiap santri usai melaksanakan sholat fardhu berjamaah. Tidak hanya itu, pembelajaran Al-Qur’an bagi santri-santri yang kurang mampu membaca Al-Qur’an dengan baik juga diterapkan setiap sore di marhalah, bahkan menjelang Ramadhan terdapat Daurah Qur’aniah. Tidak cukup dengan itu, beberapa wali kelas dan mudir juga terlihat mengajari anak didiknya belajar membaca Al-Qur’an di depan masjid.

Perhatian seperti itu menjadi warisan pendidikan pesantren dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya. Keikhlasan para guru dan adanya sarana juga ikut serta dalam keberhasilan pembelajaran yang dilakukan. Terkadang santri yang belajar membaca Al-Qur’an lebih membutuhkan metode khusus mempelajari Al-Qur’an, tidak cukup dengan keikhlasan dan sarana seadanya. Di bangku perkuliahan dulu, sempat menjadi diskusi para mahasiswa mengenai sarana metodologi pembelajaran Al-Qur’an. Mengapa pondok sebesar Al-Amien belum memiliki buku metodologi pembelajaran Al-Qur’an? Padahal perhatiannya pada Al-Qur’an sangatlah besar.

Inferensial diskusi itu membuahkan ide untuk melahirkan buku metodologi pembelajaran Al-Qur’an yang tepat untuk para santri. Dosen pengampu juga setuju dengan hasil itu, bahkan saat UAS tiba para mahasiswa diminta untuk membuat daftar isi sebuah buku metodologi pembelajaran Al-Qur’an, kemudian meminta salah satu mahasiswa untuk mengkoordinir pembuatan buku tersebut. Namun sayang, mahasiswa yang ditunjuk kurang tanggap merespon permintaan itu. Sehingga gagasan itu pupus dibawa lari oleh alasannya.

Rasanya sangat disayangkan jika gagasan cemerlang itu dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mengejewantahkan. Menimbang urgensi sarana pembelajaran Al-Qur’an di Al-Amien sangat diperlukan, penulis mencoba menganalisa kelemahan santri-santri yang kurang mampu membaca Al-Qur’an dengan baik. Terlebih saat mengajar mereka setiap sore di ruang-ruang kelas Marhalah Tsanawiyah, ataupun setiap subuh di depan kamar.

Sebab musabab kelemahan mereka ternyata banyak dipengaruhi oleh perhatian orang tua dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada anaknya. Ada yang dikarenakan broken home, sehingga orang tua lebih fokus pada pencarian nafkah dan lengah terhadap pendidikan anaknya. Beberapa di antaranya dikarenakan sering boyong dari guru ngajinya, bahkan ada yang dibiarkan begitu saja tidak mengaji lantaran anaknya malas untuk berangkat.

Tentu persoalan ini menjadi tantangan bagi pondok untuk menerapkan metode yang tepat. Namun dari persoalan yang ada, secara umum santri-santri yang kurang mampu membaca Al-Qur’an lemah di bidang makharijul huruf dan tajwidnya. Oleh karena itu penulis mencoba membuat buku “Tadrisul Qur’an” yang menitikberatkan pada makharijal huruf dan tajwidnya. Buku ini ditulis sesederhana mungkin sebagai sarana latihan harian belajar Al-Qur’an. Sehingga mudah dipelajari oleh santri-santri yang masih berlatih membaca Al-Qur’an dengan baik. Semoga dengan lahirnya buku ini dapat memberikan perubahan positif secara signifikan terhadap perkembangan mengaji para santri. Aamiin…

One thought on “Tadrisul Qur’an

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.