Retorika seorang santri tidak pernah terlepas dari perjuangan seorang guru yang berani menyumbangkan seperuh kehidupannya untuk santri-santrinya, Kerapkali terjadi penghujung tombak kemajmukan yang sangat berat untuk dipikul ke jayaannya, terdengar sangat kaku dan tak lagi memiliki elektabilitas untuk dipertahankan. Perjuangan serta pengorbanan tak layak untuk dipertunjukkan dihalayak dunia luar, sebab teori teologi mulai dikesampingkan, sandang pangan penghuni lokal tak begitu kencang untuk di industrialisasikan kembali, sebab identitas diri mulai disoroti sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Kelucuan mulai terlihat begitu jelas sejak kemunculan-kemunculan krikil yg tak begitu senang dengan adanya momen penghambaan kepada sang tuhan. Dunia seakan mulai rapuh, perjuangan dan pengorbanan hidup tak kunjung dilirik dan tak diperbarui kembali, sebab keinginan masih terasa tabu dengan jelas dalam coretan khidmat perjuangan. Ketika melihat keadaan hanya sebatas orientasi kemenangan belaka, jadi teringat bahwa penyandang gelar santri masih disinggung keberadaan dan perannya untuk dapat menunjukkan bahwa kebenaran haqiqi itu ada disekeliling mereka.
Kutipan kiyai diberbagai pinggiran desa terpencil dipedalaman sangat berantusias untuk memajukan dan memakmurkan masyaraka disetiap sisi budaya lokal yang dituang dan ditanamkan sejak dini oleh para pegiat-pegiat mushalla terpencil. Mengetahui akan hal itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika masih tercermin sebagai penopang satu kesatuan antar perbedaan dalam masyarakat. Akan tetapi hal demikian perlu diingat bahwa kecenderungan kekuasaan yang mengedepankan nafsu serta ego yang berlebihan akan berdampak pada kebijakan dan tindakan kita sebagai pemegang gelar santri ketika memiliki hasrat menguasai hingga bermunculan gagasan yang mengesampingkan nilai toleransi, tentunya pedoman serta budi luhur harus menjadikan landasan utma bagi para penguasa yang berlatarbelakang seorang santri agar tujuan untuk tetap menegakkan keadilan bisa tercapai.
Jauh sebelum itu para ulama’ terdahulu juga sudah menunjukkan bagaimana cara mewujudkan teori-teori sosial keislaman yang dipadukan dengan konsep budaya modern yang ada. Dalam kitab Ushul Fiqh dijelaskan wala ta’tsau fi al-ardi mufsidin “dan jangalah kamu berkeliaran dimuka bumi dengan berbuat kerusakan”. Maka gerakan sosial yang memadukan anatara konsep kebudayaan sosial lokal dengan konsep kebudayan sosial kontemporer yang kekinian sangat perlu untuk diimplementasikan, sebab identitas santri sangat berpengaruh dikehidupan saat ini. cerminan tokoh-tokoh ulama’ terdahulu itu memang berusaha untuk mengalokasikan gerakan yang sedemikian rupa, Dikarenakan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri yang mengubah nasib mereka sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam surah Ar-ra’d ayat 11 innallaha la yughayyiru ma bi qoumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim (sesungguhnya allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri).begitulah perjuangan dalam hidup ini, perubahan bersekala besar yang dinantikan agar terwujudnya suatu kaum yang mengedepankan nilai etika dan moral dalam kebijakan yang meniti diatas tubuh kebangsaan ini. Saat ini kita yang terlahir dari sebuah kaum cendikiawan jebbolan pesantren dapat mengembangkan konsep inspiratif nilai dasar gerkan perjuangan dengan berlandaskan asas ke islaman.
Maka peran santri dalam ranah sosial, politik, serta gerakan-gerakan vundamental yang berbau keislaman sangat diperlukan untuk menjamu bangsa ini menuju masa ke emasan yang bergemilang, dimasa yang sudah memasuki post-post milenial saat ini seharusnya, santri harus juga lebih berperan dan kompeten untuk menyikapi segala bentuk retorika problematika kebangsaan mulai dari sekala regional, lokal maaupun nasional.
Peran santri tersebut untuk mengisi ruang-ruang kosong mulai dari dimensi politik, ekonomi, dan semacamnya. sebagai seorang yang menyandang setatus santri, tentu akan tetap berpegang dalam konsepan Man jadda wajada, maka meski seutas talipun akan terancam putus namun dengan nilai percaya diri itu yang membuat kokohnya suatu keyakinan dalam diri seorang tholabul ‘ilmi. Sesuai dengan nash-nash dalil yang dijadikan bahan rujuksn dalam kehidupan berbangsa. oleh sebab itu para santri tentu akan menjadikan kekuatan yang tak dapat ditandingi. seperti yang di sampaiakn oleh imam al-ghazali beliau mengatakan Siyasatul Ummah Mabniyatun a’la aqidatiha, (politik sebuah ummat harus didasarkan pada akidahnya.) Begitulah Yang disampaikan dalam kitabnya Ihya’ ulumuddin. Maka dari sini peran santri serta nilai-nilai kebangsaan harus tetap berlandaskan dengan ajaran keislaman.
Kesulitan memang akan selalu datang secara tiba-tiba, pertanyaannya apakah baik jika seorang santri masih memikirkan hak secara individu saja, tanpa melihat kejadian yang sering berlalu lalang dibangsa ini, dalam konteks nilai sosial terkenal dengan istilah prismitik yang mana dibedakan dengan dua istilah yaitu paguyuban dan petambayan, paguyuban yaitu nilai sosial yang lebih mengedepankan hak sosial secara universal sedangkan petambayan menerangkan nilai sosial yang lebih mengedepankan hak individu, maka jadilah sesosok manusia khoirunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baiknya manusia ialah yang bermanfaat bagi mamusia yang lain) serta mengimplementasikan maslahatul ummah untuk bangsanya, bangsa ini akan maju ketika peran perjuangan seorang santri itu juga terlibat di ranah sosial, ekonomi, politik, serta penegakan hukum tentunya. seperti dauh yang di kemukakan oleh mbah hasyim as’ari saat revolusi jihad hubbul wa thon minal iman. Bukan hanya pengimplementasian peringatan santri saja yang dijadikan bahan kebanggaan, namun peran sebagai santri yang mengedepankan nilai ke-islaman seperti habulum minallah, hablum minanas, hablum minal alm, itu juga patut diperhatikan dan terrealisasikan. Santri yang memiliki moralitas akan menjadikan dirinya sebagai acuan untuk ranah berpijak meniti karir di masadepan untuk bangsa dan negri ini, percayalah jikalau barakah seorang guru itu memang ada dan nyata. Sebab gerakan cendikiawan seorang muslim itu sangat dinantikan maka keharusan bagi seorag santri untuk tetap melakukan penyebaran agama disemenanjung nusantara ini. Tak hanya nepotisme belaka yang harus dijadikan tolak ukur gerakan tersebut, namun reformasi serta revolusi besar yang ditunggu oleh masyarakat agar peran seorang santri dibidang sandang pangan, sekaligus bidang politik kekuasaan yang dapat mengubah sirkulasi kehidupan dengan nilai dasar etika dan moral dalam ketatanegaraan dibangsa ini sebagai negara hukum