Ini tentang hidup yang terus mengalir selayaknya air, seiring dengan berjalannya waktu tidak terasa aku sudah sampai di ujung perjalanan panjang yang penuh dengan berbagai macam cobaan di dalamnya. Namun semua itu tetap terasa menyenangkan dan terasa lebih cepat ketika aku mau belajar untuk menerimannya dengan ikhlas dan lapang. Yahh…. begitulah kehidupan akan terasa indah jika kita mau menerimanya dengan ikhlas. Kita semua pasti pernah menjadi orang yang berfikir bahwa takdir yang diberikan Allah untuk diri kita adalah sebuah kesialan…padahal jika kita mau merenungi semua yang terjadi dalam hidup kita pasti akan sadar bahwa tidak ada yang namanya sial di dalam hidup, yang ada hanya kita yang tidak mau bersyukur. Dan aku adalah salah satu dari orang-orang yang menganggap takdir dari Allah adalah sebuah kesialan yang menimpa aku. kejadian itu berlangsung ketika aku sedang libur kenaikan kelas pada saat itu aku duduk di kelas 2 SMP. Siang itu aku sedang membantu kakakku yang sedang mempacking barang karna dua hari lagi dia akan berangkat ke pondok pesantren yang letaknya di Madura. Tiba-tiba aku dipanggil oleh ayah, ketika itu ayah berkata, “Dinda kamu mau tidak sekolah di Madura sama kak Zahra?” disitu aku hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh ayah. Kemudian ayah bertanya lagi, “Dinda akung nggak sama ayah,” dan aku hanya menganguk kemudian ayah bicara lagi “kalo kamu akung ayah mau ya, ikut kak Zahra sekolah di pondok.” Aku langsung saja mengiyakan karena saat itu aku tidak ingin membuat ayah kecewa akhirnya aku memutuskan untuk mengangguk.

Sampailah aku ke pondok yang bernama TMI AL-Amien yang letaknya di prenduan aku duduk dikelas satu F dan kakak aku di kelas 1 Int E. hari demi hari aku jalani walaupun ada perasaan ingin pulang aku tetap memaksa diriku untuk bisa bertahan di pondok ini. Awalnya aku kira aku bisa bertahan ternyata tidak, hari-hari di pondok lebih banyak diisi oleh tangisan. Entahlah aku tidak tau apa yang membuat diriku terus menangis dan selalu memaksa ingin pulang, mungkin karena saat di rumah aku sering dimanjakan oleh ayahku dan tidak terbiasa ditinggal jauh jadilah aku tidak betah.

Terkadang aku iri dengan teman-teman yang selalu dikirim oleh orang tuanya sedangkan aku sekalipun tidak pernah. Hal ini membuat aku semakin tidak kerasan di pondok dan puncaknya ketika malam takbiran aku menangis di pojokan kamar karna untuk pertama kalinya aku tidak lebaran bersama keluarga ditambah tidak ada keluarga yang bisa datang untuk menjenguk aku di pondok untungnya saat itu aku tidak sendiri karena masih ada kakakku di sini. Keesokan harinya banyak dari teman-temanku yang dijenguk oleh orangtuanya, hal ini membuat aku kembali menangis ingin sekali aku seperti mereka yang orang tuanya bisa datang kapanpun mereka mau. Malam harinya selepas maghrib aku berangkat sendirian ke purum (dapur umum) untuk makan karena temanku yang lainnya sudah makan bersama keluarganya ketika sore hari. Di tengah perjalanan menuju dapur aku dipanggil oleh ustadzah yang kebetulan sedang duduk di samping kantor ma’had, terjadilah percakapan antara aku dan ustadzah itu:

Usth: ukhti…kemari

Aku: iya ustadzah ada apa?

Usth: anti mau kemana?

Aku : mau ke dapur ustadzah

Usth: loh memangnya kamu tidak dikirim?…inikan hari raya…

Aku: tidak ustadzah aku orang jauh jadi orang tua aku tidak bisa datang kemari

Usth: kalau begitu sekarang kamu ikut aku ya..ke kamar aku….

Setelah sampai di kamar ustadzah aku disuruh menunggu sebentar di luar, setelah beberapa menit menunggu ustadzah itu keluar membawa kantong plastik kemudian kantong itu diberikannya kepadaku

Usth: ini.. buat anti gak usah ke purum yaa

Aku: iya ustadzah…makasih ustadzah…

Usth: iya..sama-sama…

Aku berjalan pulang sembari bersyukur karna mendapat rezeki tidak terduga yang diberikan Allah melalui ustadzah itu. Sampai sekarang aku tidak tau siapa nama ustdzh baik itu, aku hanya bisa berdo’a dimanapun beliau berada semoga selalu dilindungi oleh Allah swt.

Tidak terasa tinggal dua hari lagi perpulangan maulid Nabi, aku sangat senang. Bukan saja karena akan pulang tapi aku akan berhenti dari pondok ini. Hari itu pun tiba hari dimana aku memutuskan untuk mengambil keputusan yang pada akhirnya aku sesali diakhir ya… aku memilih berhenti dari pondok, walaupun sudah dibujuk oleh kak Zahra agar tetap di sini, aku tidak mau…entahlah aku tidak tau kenapa aku dulu begitu egois sehingga tidak memikirnkan perasaan orang tua yang kecewa dengan keputusan yang aku ambil, bahkan dengan tega aku meninggalkan kakakku di pondok ini sendirian tanpa keluarga. Selama bersama denganku setengah tahun di pondok, tidak pernah sekalipun aku melihat dia menangis bahkan dia selalu terlihat baik-baik saja ketika bersamaku. Aku tau dia juga sedih tapi setidaknya dia mencoba baik-baik saja di depanku agar aku bisa bertahan di pondok ini. Tapi sekali lagi saat itu egoku lebih menguasai diriku dari pada rasa empati, dan hari itu aku melihat dia menangis dipelukan ayahku disebabkan oleh diriku.

Dua tahun aku menjalani hidup di sekolah baruku aku menjalani hari-hari dengan normal,walaupun kadang perasaan bersalah dan menyesal sering menghantuiku tapi apa boleh buat waktu sudh berlalu dan apa yang sudah aku sesali menjadi sia-sia karna seberapa besarpun rasa sesalku hari yang sudah lewat tidak akan kembali lagi.

Tapi setidaknya aku bisa mengurangi rasa kecewa orang tuaku dengan memilih melanjutkan SMA di pondok pesantren Al-Amien Prenduan, pondok lamaku. Aku masuk dan diterima di kelas 1 Int G, awalnya memang sama seperti ketika pertama kali masuk di pondok tapi aku menasehati diri sendiri untuk bertahan di pondok, dan saat itu aku juga sudah mulai belajar berdamai dengan waktu dan kerinduan dengan membiarkan semuanya berjalan mengikuti alur kehidupan aku tidak menganggap semua yang terjadi pada diriku adalah sebuah kesialan. 4 tahun sudah aku menempuh pendidikan di pondok pesantren ini dan tidak terasa tinggal beberapa hari lagi waktu yang tersisa untuk aku. Aku bersyukur karena takdir masih mau membawaku kembali ke sini. Tempat yang menjadikanku pribadi yang kuat, tempat yang mengajarkanku banyak hal, seperti ibu, rasanya berat jika harus meninggalkan pondok tercinta ini, terlalu banyak hal yang sudah aku lewati di sini, terima kasih pondokku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.