Kami ingin punya hati yang penuh syukur, agar ketika hidup kami terasa sempit, dada kami tetap seluas lautan. Kami ingin memiliki hati yang penuh sabar, agar ketika kami ditimpa sesuatu yang jauh dari ekspektasi, tetap tegar kami jalani hidup ini. Kami ingin memiliki hati yang diliputi cinta dan kasih, agar ketika kami menerima hal seburuk apa pun, yang kami tunjukkan bukan amarah, namun stok maaf dan pemakluman-pemakluman. (Bisyarotul Hanun)

Kebiasaan bersyukur merupakan nikmat Allah yang sangat luar biasa, setelah nikmat iman dan Islam. Banyak sekali orang yang di hatinya memendam kegelisahan, karena kurangnya rasa syukur. Segala hal yang ia terima terasa kurang. Bahkan, meski Allah telah memenuhi segala kebutuhannya. Usia, tenaga, kesehatan, materi dan hal-hal lain yang ia kejar untuk dimiliki, menjadi perkara yang sia-sia, karena hilangnya rasa syukur di dalam hatinya.

Di samping sebagai nikmat, “syukur” rupanya juga merupakan sebuah “skill” yang perlu dilatih dan dibiasakan. Hal tersebut tidak bisa serta merta menempel pada diri seseorang. Skill tersebut dapat diwujudkan melalui pembiasaan-pembiasaan baik, sedini mungkin. Misalnya, dengan tidak memanjakan anak dan mengajarkan tanggung jawab kepada anak. Dalam artian bahwa, orang tua tidak perlu memfasilitasi segala hal yang menjadi keinginan anak. Tanamkan dalam dirinya untuk belajar berempati terhadap kesusahan orang lain. Berikan gambaran pada mereka bahwa di luar sana, masih banyak orang yang sulit, bahkan hanya untuk mengganjal perut.

Tidak hanya dalam hal materi, pembiasaan baik yang perlu ditanamkan pada diri anak, juga dapat berupa usaha untuk mengajarkan anak agar mampu bertanggung jawab terhadap apa pun yang menjadi bagiannya. Anugerah akal, misalnya, bentuk syukurnya dapat dibuktikan dengan membiasakan anak menggunakan kemampuan tersebut untuk terus mengeksplor dunia sehingga kemampuan kognitif dan afektif mereka terus berkembang dari waktu ke waktu. Sesederhana itu, sesuatu yang kadang kita anggap sebagai aktivitas rutin belaka, sejatinya merupakan sebuah bentuk syukur kita atas nikmat-nikmat yang Allah berikan.

Rasa syukur tentu tidak hadir begitu saja. Ia butuh proses untuk tumbuh dan mendarah daging pada diri seseorang. Kita bisa memulainya dari hal kecil nan sederhana. Tentu banyak sekali yang bisa disyukuri sebelum hal-hal besar datang dalam kehidupan kita. Sesederhana masih bisa melihat senyum orang tua, pasangan, saudara dan anak-anak, misalnya. Sesederhana mengucap terimakasih atas kebaikan mereka, atau mengucap terimakasih kepada siapa pun yang memudahkan jalan kita. Rasa terimakasih yang kita munculkan dalam hati kita, akan menimbulkan rasa syukur perlahan-lahan.

Selain itu, usaha untuk terus mengahadirkan diri dengan meminta kepada Allah agar diberikan kecukupan dan hati yang lapang, sekalipun dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, menjadi facktor penting untuk menunjang proses bertumbuhnya rasa syukur itu di dalam hati kita.

Jelas, bahwa itu bukanlah proses yang sebentar dan instan. Barangkali ada seseorang yang justru harus lebih dulu melewati banyak tempaan, banyak rasa sakit, kemudian diberikan kepadanya kemudahan-kemudahan sebagai ganti dari kesulitan yang telah ia lalui. Dari sanalah rasa syukur itu bertumbuh.

Ada pula seseorang yang justru rasa syukurnya bertumbuh melalui kesulitan-kesulitan orang lain yang ditampakkan kepadanya. Sehingga yang demikian, menjadikan ia berpikir bahwa kesulitan yang ia alami, tidak sebanding dengan kesulitan yang dihadapi oleh orang lain tersebut. Misalnya, seorang yang menangis karena tidak memiliki sepatu, sampai ia melihat orang lain tidak memiliki kaki. Baru ia akan merasakan betapa berartinya kaki yang ia miliki, sekalipun tanpa sepatu.

Kendati demikian, bagaimana pun jalan yang akan kita tempuh untuk sampai pada hati yang bersyukur, tetaplah harus diusahakan. Tidak lantas dibiarkan. Tidak melimpahkan segala perannya pada alam, dengan berdiam diri dan tidak melakukan usaha apa-apa.

Dalam hidup, jika kita merasa tidak bahagia, jangan-jangan pemahaman kita tentang kebahagiaan itu salah. Barangkali yang tertanam dalam otak kita adalah bahwa seseorang akan merasa bahagia, ketika segala keinginannya dapat tercapai tanpa usaha. Atau ketika fasilitas hidupnya dimudahkan sedemikan rupa. Ingin ini, ingin itu. Banyak sekali. Lalu, semua dapat terkabulkan begitu saja. Tentu itu paradigm yang keliru, dalam menyikapi rasa syukur.

Bersyukur atau Hancur

Allah SWT dengan sangat jelas menyebutkan dalam firman-Nya bahwa apabila kita bersyukur, maka Dia akan tambahkan kepada kita kenikmatan-kenikmatan. Namun apabila kita lalai, adzab-Nya sungguh perih tiada terkira. Ini menandakan, bahwa bersyukur dapat memudahkan kita. Sementara, kufur dapat menyulitkan kita.

Tidak hanya itu, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang berkisah tentang kaum terdahulu yang Allah binasakan karena kelalaian mereka terhadap nikmat yang telah mereka terima.

Kaum Nabi Nuh, contohnya. Mereka disapu banjir super dahsyat. Allah berfirman: Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan menurunkan air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas bahtera yang terbuat dari papan dan paku. (QS Al-Qamar: 11-13).

Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, tentang apakah bencana tersebut melanda seluruh dunia, atau hanya wilayah mereka saja. Namun yang pasti, kita dapat bersepakat, bahwa banjir mengerikan itu, Allah datangkan akibat keingkaran mereka. Lebih dari 950 tahun Nabi Nuh berdakwah menyeru kepada kebajikan, namun hanya 70 orang saja, ditambah 8 orang anggota keluarganya, yang mengikuti jalan dakwah Nabi Nuh.

Adzab yang diterima oleh kamu Tsamud, tidak kalah mengerikan. Kaum yang tinggal di antara Hijaz dan Syam ini, konon hidup bergelimang kemewahan, sebagai warisah dari moyang mereka, kaum ‘Ad. Namun sayang sekali, mereka ingkar dan menentang dakwah Nabi Sholeh. Hasilnya, Allah kirimkan kepada mereka hantaman guntur dan gempa yang hebat. Binasalah mereka di tangan Allah.

Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumah mereka, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sungguh kaum Tsamud itu mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud. (QS Hud: 67-68).

Kisah tentang Fir’aun tentulah tidak kalah tenarnya. Seorang raja Mesir yang dianugerahi kekuasaan dan kekuatan luar biasa. Selain kaya, ia bahkan tidak pernah sakit, seumur hidupnya. Namun sayang, alih-alih bersyukur, Fir’aun justru bersikap sombong. Gelar Tuhan ia sandang dengan sombong, pada dirinya. Maka dengan kuasa Allah, ia dan pengikutnya dibenamkan di dasar Laut Merah. Dan setelah ribuan tahun berlalu, muminya ditemukan, kemudian diawetkan sampai saat ini, sebagai simbol dari keangkuhan dan kekufuran.

Masih banyak sekali kisah-kisah kebinasaan suatu kaum yang diakibatkan oleh kekufuran mereka. sebagai seorang mukmin, bijak kiranya, jika menjadikan kisah-kisah tersebut sebagai pembelajaran dalam kehidupan kita.

Akhirnya, saya akan menutup tulisan ini dengan pernyatan Ibnul Qayyim: Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari pada kematian. Sebab, menyia-nyiakan waktu memutus dirimu dari Allah dan akhirat. Sementara kematian itu, hanya memutus dirimu dari dunia dan penghuninya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.