Sukses menjadi Qori’ Qori’ah? Selama tidak  bisu dan mampu menahan perkataan-perkataan yang tidak enak didengar dari orang lain saat latihan, InsyaAllah cepat mencapai puncak kesuksesan.

Sekitar delapan tahun silam saat masih duduk di bangku MTs, saya masih ingat ketika  dulu suara masih merdu-merdunya, dimana para santri dan santriwati  ingin selalu mendengar lantunan suara saya, rasanya sangat bersyukur atas titipanNya, berupa suara yang diminati banyak orang. Seiring berjalannya waktu, suara merdu itu kian memudar lantaran usia yang tak lagi muda, saya masih ingat betul saat dulu didaulat jadi penceramah, saya membacakan salah satu ayat Al-Qur’an dengan nada qori’, tidak tau entah apa yang terjadi tiba-tiba suara saya melengking dengan ketinggian yang tak teratur, para jama’ah seketika teriak histeris menertawakan saya.

Hampir down, tapi Alhamdulillah selang beberapa menit, suasana kembali tenang. Singkat cerita semenjak acara itu selesai saya merasakan perubahan yang sangat drastis, latihan qori’ tak  lagi seperti dulu.

Setelah menyelesaikan study di MTs Miftahul Amien Sasee’el, saya melanjutkan study di Al-Amien Prenduan, jelang menjadi pengurus ketika kelas 5 saya beri’tikad dalam hati mengembangkan bakat yang sekian lama terpendam. Alhamdulillah saya terpilih menjadi bagian BPUQ (Tukang Adzan) disitulah saya memulai kembali karir saya sebagai qori’, namun lagi-lagi  ujian itu datang kembali serupa dengan kejadian delapan tahun silam.

Lengkingan suara yang tak teratur itu kembali didengar ribuan santri. Hampir saya tergeletak di tempat tidur, berhari-hari  lamanya saya menanggung rasa malu. Ketika itu kawan seperjuangan saya Taufik Hidayat, M. Mustofa dan Faizul A’la menguatkan dan memberi semangat untuk tetap berjuang mengembangkan potensi yang dimiliki, hingga kemudian saya berusaha kembali, latihan setiap hari, lari keliling pondok 10 kali, dan semua latihan yang dulu diajarkan oleh guru saya amalkan kembali. Alhamdulillah sedikit demi sedikit ada perubahan.

Sampai tiba waktunya saya lulus di Al-Amien, saya tetap berjuang dengan ber-takhossus (belajar khusus) bersama guru ternama di desa Dasuk, Sumenep, Ust. Jalil Namanya. Namun mirisnya saya tidak jadi takhossus karena iuran bulanan yang tak  mampu saya bayar, minta bantuan ke pondok juga sudah tidak bisa karena pengajar qori’ terlalu banyak.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengabdi di tempat yang sangat jauh, pondok pun menempatkan saya di salah satu pondok yang ada di NTB. Ternyata di balik kegagalan saya ber-takhossus ada hikmah yang begitu  besar. saya dipertemukan dengan Qori’ Qoriah Nasional dan Internsional seperti Ust. Syamsuri Firdaus, Ust. Heri Kuswanto dan qori-qori lainnya.

Melalui pertemuan itulah motivasi untuk terus-menerus berlatih kembali membara. Ternyata memang benar, motivasi itu tidak selalu tentang kata-kata atau nasehat, tapi pertemuan  dengan orang-orang sukses tanpa  satu patah katapun yang dilontarkan juga  merupakan motivasi dahsyat yang dengannya mampu meninggalkan pengaruh besar dalam jiwa. Keinginan menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang banyak terbesit kembali dalam hati saya. Teringatlah pesan Alm. KH. Muhammad Idri Djauhari; “sukses tidaknya seorang santri tergantung bagaimana potensi yang ia miliki mampu berfungsi untuk dirinya dan orang lain.” Alhamdulillah hal itu saya rasakan tatkala terjun di tengah masyarakat.

Hal ini merupakan bukti bahwa ketika kita Nasiiru ‘ala darbinaa  nashila (berjalan di atas jalan kita sendiri kita akan sampai). Andai saat itu mental  saya tidak mampu menampung omongan orang lain, mustahil saya sampai di titik ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.