Semasa menjadi santri seringkali terbesit keinginan untuk cepat-cepat ke masjid selepas mandi sore, lantas kemudian memojokkan diri di sudut masjid bagian barat menikmati senja yang turun perlahan di balik atap rumah-rumah sembari mulai menulis apa saja yang terlintas di benak, entah itu catatan kecil, puisi, cerita, atau sekedar quote singkat.

Namun, di atas tadi hanya cerita lampau. Sudah lama sekali saya tak menulis karena beberapa kesibukan baru yang saya dapati ketika awal menjadi santri Nihai’e, ada rentetan program akhir kelas seperti praktek khutbah jum’at, paper ilmiah, amaliyah tadries dan sebagainya yang mengharuskan saya untuk mengelola waktu sedemikan rupa hingga akhirnya menyita sebagian besar waktu saya untuk melanjutkan kebiasaan sederhana yang biasa saya lakukan dahulu.

Tak berhenti sampai disitu, ketika awal menjadi sekretaris di MTs ada beberapa tugas-tugas terkait sekretariat dan tata-warkat marhalah yang menjadi tuntutan dan harus saya kuasai sedini mungkin, di samping menjalani rutinitas kuliah serta mengajar pagi yang memang sudah menjadi kewajiban mutlak bagi saya dan para guru-guru lainnya. Saya katakan sejujur-jujurnya, minggu-minggu pertama masa pengabdian, saya sering bertanya dalam hati “kenapa kesibukan itu harus banyak menyita waktu saya?” Seringkali saya berpikiran seperti itu di sela-sela mengerjakan suatu tugas.

hingga pada suatu hari, saya menemukan suatu postingan milik akun instagram @iniproses yang cukup menarik perhatian saya saat itu. Di slide awal postingan itu tertulis “Amor Fati. Untukmu yang sedang berada di masa2 sulit”, istilah yang terdengar baru di telinga membuat saya mencari maknanya di Google. mulai saat itu saya mengenal konsep  “seni mencintai nasib dan menerima apapun yang terjadi”

dari postingan tersebut saya menemukan pelajaran yang sangat berharga. Pertama, segala hal yang terjadi di sekitar hakikat tergantung bagaimana mindset seseorang itu sendiri menilainya, dan itu menjadi tamparan keras bagi saya bahwa selama ini saya seringkali berpandangan sempit, berpikiran seolah semua kesibukan itu terlampau berat untuk saya jalani, kesibukan itu adalah cobaan bagi saya, padahal jika dipikir kembali saya mampu mengerjakan semuanya dengan tuntas walaupun ada beberapa hambatan dan itupun bisa saya atasi, bahkan dari tugas-tugas itu pula skill dan self-improve mulai meningkat tanpa saya sadari sebelumnya.

Kedua, bahwa apapun yang telah terjadi hendaklah kita memperbanyak membaca istighfar dan kalimat hauqolah. Di sini dijelaskan begitu padat bahwa segalanya terjadi sesuai kehendak Allah, tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. dari sini muncullah pemahaman penuh dalam benak saya bahwa pada hakikatnya Allah tidak pernah menguji seseoang melebihi kadar kemampuannya. pesan itu menyadarkan saya kembali bahwa semua yang kita lalui bukanlah suatu masalah melainkan hanya tantangan  yang mana mesti ada solusinya.

Dan yang terakhir, dijelaskan bahwa semuanya akan berlalu. Mencoba belajar mencintai masa-masa sulit memberi kita lebih banyak kehidupan untuk dicintai dan disyukuri. dan itulah esensi dari konsep Amor Fati.

Alhamdulillah, berangkat dari konsep inilah saya bisa melanjutkan kembali kepenulisan saya yang sempat tertunda setahun lebih lamanya. Dulu ketika saya bingung ingin curhat ke siapa, hari ini saya sadar bahwa tiada teman yang lebih bisa diandalkan selain menulis itu sendiri. dengan menulis saya bisa mencurahkan segala perasaan saya tanpa batas, sebab menulis adalah semesta renjana, insan bercerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.