Al-Amien, Reuni Akbar pesta kesyukuran 70 tahun itu secara resmi berakhir, kemarin. Taburan kebahagiaan, nostalgia, bangga, temu kangen melimpah ruah di Bumi Jauhari itu. Wajah-wajah sumringah, kuluman senyum menghias wajah alumni Al-Amien yang datang dari berbagai daerah, kota dan pulau itu. Baik pulau besar atau pulau kecil. Mereka datang karena ingin re-uni. Menyatu kembali di tanah Al-Amien yang menyejukkan. Al-Amien yang berdiri dan hadir untuk semua golongan.
Anak-anak muda, dulu, kini tak muda lagi. Kumpul. Dan kini mereka mulai berafiliasi. Partai politik, organisasi, jam’iyyat, komunitas, lembaga sosial dan lainnya. Namun begitu mereka datang ke Al-Amien, almamater mereka, mereka re-united. Dan segala sekat-sekat itu lumer dan cair. Lebur dalam “peluh” keringat semangat ke Al-Amien-an yang sublim. Lebur di sebuah udara yang panas, terbukti mereka pakai kipas, terutama yang akhwat, namun adem dalam jiwa. Dalam relung dan dindingnya. Mereka seakan ada dalam orkestra pesta ritmik yang menari-nari sambil menyelami masa-masa nostalgik dan romantisme yang tak pernah pupus. Kala menginjakkan kaki di Bumi Jauhari, semua bulir kenangan itu terasa mengawang di depan mata. Jelas.
Al-Amien di usia 70-nya adalah Al-Amien yang tetap, tak berubah. Secara substantif. Secara esensi. Minimal yang tampak di luar. Al-Amien dengan alumni yang hadir dalam jumlah ribuan, adalah sebuah gambaran konkrit betapa Al-Amien semakin kokoh dari sisi kuantitas. Rindu mereka akan almamaternya tak terbendung bahkan dengan cara-cara yang sangat formalistik. Simbol-simbol seragam dan menari-nari kecil, misalnya, adalah sebuah ritual masa lalu yang tak tuntas. Ungkapan bahagia mereka tak tertahan. Mereka ingin menghadirkan diri mereka seperti halnya santri, fī ism ʿalā musamma, walau mereka sudah tak menjadi santri formal saat ini. Namun bumi Pesantren Al-Amien itu seakan memfanakan mereka. Lebur dalam kenangan, hanyut dalam samudera Al-Amien yang luas. Raga mereka yang tua, seakan terserum oleh serum anti aging. Yang menjadikan mereka muda kembali. Canda lepas, tawa riuh, bicara apa adanya. Bahkan, ini terjadi saat Kiai Ghozi bicara, anak-anak santriwati masih asyik bicara yang saat itu sebenarnya tak lagi perlu. Hingga Kiai Ghozi menegur, sedikit, dan sedikit nostalgik, bagaimana saat Kiai Idris Allāhu Yarḥam memberi nasehat. Senyap dan semua mata telinga tertuju pada Sang Kiai karismatik itu.
Mungkin zaman memang telah berubah, mereka memang mau re-uni. Re-uni. Yang di luar re-uni mungkin dianggap sampingan. Tak terlalu substansial. Mereka ingin mendapatkan suntikan dan injeksi re-union ini dari para pimpinan yang duduk dengan anggun dan penuh wibawa dan tawadhu‘ sekaligus. Wejangan tentang alumni Al-Amien yang menyatukan, yang menjadi obor dan dian di tengah tengah masyarakat. Alumni yang menggerakkan nadi masyarakat. Mereka ingin membawa pulang sebuah “berkat” yang bisa dijadikan jimat kehidupan mereka dalam menempuh, meniti dan melukis larik-larik sejarah mereka ke depan.
Tujuh puluh tahun Al-Amien yang berupa pesta syukuran ini sungguh luar biasa. Dua pimpinan Al-Amien saat ini adalah dua putera terbaik pendiri Al-Amien, Kiai Ahmad Fauzi Tidjani dan Kiai Ghozi Mubarok. Dengan gelar akademik puncak, Doktor, tetap saja mereka adalah dua anak muda, dibanding guru-guru mereka yang saat ini tidak menjadi pimpinan. Tentu saja, pasti saja akan ada kekurangan yang ada pada tokoh muda Al-Amien itu. Dan tentunya mereka tetap “murid” guru-gurunya itu. Agar kedua kiai muda ini terus belajar tiada henti. Tugas mereka adalah memikirkan secara maksimal untuk kemajuan Al-Amien yang tentu saja memerlukan lompatan inovasi, sejengkal lebih maju, dari Pesantren lain. Melalui ketawadhu’an yang gemerlap serta pemikiran keras, Al-Amien akan bisa terus menjadi pondok inspiratif bagi pondok-pondok yang lain. Pondok impian setiap orang tua yang akan memondokkan anak anak masa depan mereka. Bukan karena dorongan romantisme masa lalu yang bisa-bisa membikin mereka kecewa.
Dua kiai muda itu, yang sedikit lebih tua dari saya saat masuk Al-Amien dulu, adalah mutiara yang perlu digosok dan digodok terus menerus agar kemilaunya lebih cemerlang dan visinya lebih benderang. Dua mutiara itu jangan dielus-elus manja sehingga energi panasnya menjadi tidak keluar sempurna. Di tangan mereka berdua derap sejarah Al-Amien banyak tergantung. Salah satunya, agar sejarah Al-Amien cemerlang, adalah dua kiai muda ini hendaknya tidak tertahan keindahan romantisme keberhasilan para Almarhumin. Beliau-beliau adalah pembuka jalan sukses kita dan kita harus terus berjalan meneruskan roadmap yang telah beliau-beliau serahkan pada kita. Jangan pula kita membaca roadmap itu terlalu lama.
Kehadiran alumni adalah gambaran bahwa kita memiliki harapan pada Al-Amien. Ada ideal dream, ada great dream yang terus mereka ingin wujudkan dalam alam nyata. Sebagai alumni semi senior 1987, saya sangat merasakan denyut semangat perjuangan dan kejuangan Kiai Idris di awal-awal tahun 1980-an dan semangat Kiai Tidjani menjelang 1990. Duo kiai, dibantu Kiai Jamal dan Kiai Abbasi raḥimahumullāhu jamīʿan bagai membabat hutan belantara yang masih menyisakan binatang liar. Kini kita, yang menikmati keringat juang mereka berkewajiban membangun narasi besar masa depan pondok ini. Lewat semua semangat kejuangan dan perjuangan yang kita punya.
Sayang, saya tak bisa hadir langsung saat re-uni akbar itu kemarin. Namun saya ikut melihat para alumni itu dalam desak-desakan yang padat. Dalam panas khas Madura yang menyengat. Melalui livestream yang dishare pondok tercintaku itu. Andai saya hadir, saya akan meminta waktu pada MC, waktu lima sampai tujuh menit, untuk memberi kesaksian bahwa Al-Amien telah mendidik saya dengan sebaik-baiknya. Lewat harmoni mendidik Kiai Idris yang menggabungkan antara ketegasan dan kelembutan. Harmoni cinta dan disiplin dalam pendulum yang sama. Dan saya kini mewarisinya.
Sayang, saya tak bisa dan tak kuasa hadir, pada pesta syukuran itu, dan sayang pula tak ada satu alumni “berkelas” yang tampil atau ditampilkan untuk membuktikan bahwa Al-Amien telah menjadi darah daging mereka. Dan bahwa Al-Amien telah mengukir sejarah di hampir semua belahan bumi Nusantara bahkan di beberapa benua.
Sayang, itu tak ada. Hingga membuat pesta itu terasa belum usai.
Sedih rasanya tidak bisa hadir, henya bisa berdoa semoga tahun akan datang bisa hadir..hiks hiks hiks…