Seorang teman sempat mengeluh ketika ijazah pesantren yang dimilikinya belum bisa meluluskan dia ke akademi militer (Akmil). Penolakan tersebut sepele, karena lambang yang terpampang di ijazah bukanlah pancasila, melainkan gambar kubah yang merupakan logo pesantren. Ijazah yang diperoleh dengan perjuangan yang tidak mudah ternyata belum menjadi pusaka sakti untuk meraih cita-citanya, menjadi TNI.
Padahal pesantren tersebut sudah termasuk kategori pesantren muadalah-pesantren yang memperoleh legalitas dari pemerintah dan beberapa perguruan tinggi (PT) di Timur-Tengah. Tidak mudah memperoleh predikat tersebut, hanya ada beberapa pesantren di Indonesia yang mendapatkannya. Berkas-berkas dari pemerintah yang dilampirkan sebagai bukti adanya penyetaraan ternyata nihil. Walhasil, dia melanjutkan kuliah jurusan ekonomi di salah satu universitas di kotanya, dan uniknya ijazah tadi tidak dipermasalahkan.
Teman-teman lain yang satu alumni pun serupa, tak ada kendala melanjutkan kuliahnya di berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Bagi yang melanjutkan studi ke Timur- Tengah bukan hal yang tabu, hampir setiap tahun ada yang melanjutkan ke Mesir, Yaman, Mekkah, Madinah, dan lain-lain. Bahkan ada beberapa pesantren yang lebih dulu diakui oleh perguruan tinggi di Timur-Tengah dari pada pemerintah. Ah Sudahlah, barangkali penolakan tersebut berangkat dari ketidakpahaman sebagian makhluk tentang sistem pendidikan kita.
Yang menjadi pertanyaan, jika pesantren yang memiliki gelar muadalah masih menghadapi haling-rintang untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya, lantas bagaimana dengan pesantren-pesantren lain, yang tidak ber-muadalah dan tidak mengikuti sistem pemerintah? Memang, untuk mengatasi kesenjangan tersebut pesantren tidak hanya berpangku tangan apalagi pasrah dengan keadaan. Pesantren terus bertransformasi, beradaptasi dengan kemajuan zaman. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya “pesantren komprehensif”.
Menurut M. Bahri Ghozali dalam bukunya “Pesantren Berwawasan Lingkungan (2002)” pesantren komprehensif adalah pondok pesantren yang sistem pendidikan dan pengajarannya merupakan gabungan antara pesantren tradasional dan pesantren modern. Dalam artian, pesantren komprehensif adalah pendidikan pesantren yang istiqomah menerapkan metode lama yang baik, seperti halnya pengajaran kitab kuning dan menambah metode baru yang lebih baik seperti sistem sekolah dengan pengetahuan umum, ekstra-kurikuler, dan teknologi. Tujuannya, agar pesantren juga bisa melahirkan output yang dapat bersaing di tengah arus gempuran dunia digital. Jadi, pesantren tidak hanya mencetak manusia-manusia penghafal, akan tetapi juga melahirkan individu-individu tangkas dan cerdas, baik secara IMTAQ maupun IPTEK.
Munculnya pesantren komprehensif membawa perubahan yang cukup signifikan. Dilematik orang tua untuk memasukkan anaknya ke pesantren sedikit terminimalisir. Namun, dengan kondisi yang demikian, apakah pesantren telah bisa dikatakan bersaing dengan lembaga pendidikan formal lainnya? Jika kita amati dari perspektif minat masyarakat sepertinya masih jauh panggang dari api. Perbandingan kuantitas anak yang masuk pesantren dengan yang sekolah umum masih terlampau jauh. Mengapa demikian?
Opini masyarakat kita terhadap pesantren masih abu-abu. Rasa bangga terhadap pendidikan pesantren masih minim. Cara pandang konservatif (masih) menganggap pesantren identik dengan lembaga pendidikan yang hanya mengandalkan kitab kuning, sarung, dan kopyah. Apalagi ada yang menyebutkan bahwa pesantren merupakan pendidikan sarang penyakit (seperti gatal-gatal dan lain-lain). Lebih sadis lagi, tak sedikit pesantren diklaim sebagai ladang teroris dan radikal. Sungguh stereotip yang menyimpang dari nalar logis.
Mindset yang mengatakan pesantren adalah sarang teroris dan radikal merupakan sebuah pernyataan yang sangat kontradiktif dengan ajaran-ajaran pesantren. Padahal, santri adalah manusia pembelajar yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai kefatsunan. Di pesantren diajarkan bagaimana kita hidup ber-muamalah ma’a Allah (hubungan dengan Tuhan), muamalah ma’an nafs (hubungan dengan diri-sendiri), muamalah maan nas (hubungan dengan manusia) dan muamalah maal bi’ah (hubungan dengan lingkungan) sehingga kehidupan bertoleransi menjadi pondasi utama.
Problema lain yang menyebabkan pesantren kurang dilirik adalah rapuhnya mental orang tua. Tak sedikit orang tua yang khawatir anaknya tidak bisa lolos ke sekolah bonafit jika masuk pesantren. Alasan yang cukup lebay, orang tua tidak rela berpisah dengan anaknya lantaran berjauhan tempat tinggal. Padahal anak adalah duplikat orang tua, jika orang tuanya saja tidak memiliki mental tangguh, jangan harap anak kelak tumbuh menjadi manusia pemberani. Justru akan menjadi pribadi yang selalu bersembunyi di balik ketiak orang tua.
Nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal (pimpinan pondok modern Darussalam Gontor) ini cukup menjadi renungan bersama. “Kalau mau punya anak bermental kuat, orangtuanya harus lebih kuat, punya anak itu jangan hanya sekadar sholeh tapi bermanfaat untuk umat, orangtua harus berjuang lebih ikhlas. Anak-anakmu di pondok pesantren tidak akan mati karena kelaparan, gak akan bodoh karena gak ikut les ini dan itu, gak akan terbelakang karena gak pegang gadget.”
Padahal jika menilik sejarah heroisme, pesantren memiliki kontribusi besar dalam menegakkan kemerdekaan Indonesia. Masih jelas dalam rekaman kita aksi santri Lirboyo Kediri di bawah komando KH. Mahrus Aly yang berangkat ke Surabaya untuk menghadapi pasukan Belanda. Pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya yang dipimipin KH. Zaenal Mustafa melawan penjajah jepang dalam menjaga keutuhan bangsa. Serta perjuangan santri dan pesantren melawan penjajah di tempat-tempat lain. Maka tak berlebihan jika Cak Nun berujar “dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous)”
Apalagi jika merujuk pada tujuan pendidikan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 sistem pendidikan, pesantren sangat akuntabel dengan tujuan mulia tersebut. Pendidikan pesantrena adalah pendidikan 24 jam, dari sejak bangun hingga tidur kembali sarat dengan pendidikan. Misalnya, ketika akan tidur harus membaca doa, memakai baju sesuai dengan aturan, tausiyah dari ustad atau kiyai agar tidur membawa berkah, hingga bangun di sepertiga malam untuk melaksanakan qiyamul lail.
Pendidikan akhlak menjadi pondasi utama kurikulum pesantren. Bukti sederhana, ketika ada siswa yang mencontek maka dia akan diganjar dengan tidak mendapatkan nilai, dicukur botak, dan membaca surat pernyataan di seluruh santri. Tujuannya agar menjadi manusia yang jujur dalam segala aspek. Bukan hanya karena angka hitam di atas putih mereka rela mengorbankan kejujuran. Inilah sejatinya pendidikan, bukan hanya sekadar memperolah nilai tinggi.
Maka dari itu, pengesahan UU pesantren pada 24 September 2019 lalu yang cukup ramai diperbincangkan menjadi angin segar bagi eksistensi pesantren. Perjalanan panjang dari awal munculnya pesantren telah sampai pada harapan kolektif tertinggi yaitu “legalitas”. Adanya UU pesantren ini diharapkan dapat menghapus stigma negatif masyarakat terhadap pesantren. Terlepas dari berbagai kontrovensi UU pesantren tersebut menjadi dalil bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang patut diapresiasi dan memiliki posisi yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya. Sehingga pesantren juga menjadi lembaga pendidikan favorit bagi masyarakat Indonesia. Semoga! Selamat Hari Santri Nasional!