TMI Al-Amien Prenduan

Seorang tiran yang egois lagi sombong—mungkinkah ia bermusyawarah dan mendengarkan pendapat orang lain? Mungkin tidak terlalu sering. Tapi, ya. Ia bisa saja “terpaksa” melibatkan diri dalam proses musyawarah. Ada satu fragmen menarik dalam Al-Qur’an tentang kisah Nabi Musa dan Firʿaun. Kita tentu tahu sesombong apa Firʿaun sebagai seorang tiran; ia mengaku dirinya tuhan. Tetapi ketika Nabi Musa berhasil mendemonstrasikan mukjizatnya, Firʿaun yang kaget berkata kepada para pembesar kerajaan di sekelilingnya, “Fa mādzā taʾmurūn—Lalu, apa yang kalian sarankan?”.

Ucapan Firʿaun itu direkam Al-Qur’an pada surah al-Syuʿarāʾ: 35. Dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, Mutawallī al-Syaʿrāwī menyatakan bahwa Firʿaun sedang berhadapan dengan kenyataan yang membingungkannya, yang memaksanya untuk turun dari martabat ketuhanan palsu menuju derajat penghambaan yang nyata. Ia jujur dalam mengekspresikan kebutuhannya akan saran dari orang lain. Sejenis jujur dalam kondisi terdesak. Nah, jika seorang tiran tiba-tiba meminta pendapat orang lain, barangkali ia memang sedang menghadapi kondisi yang genting. Dalam ungkapan Sayyid Quthb, “Demikianlah tabiat para tiran ketika mereka merasakan bumi terguncang di bawah kaki mereka. Saat itulah mereka melunakkan kata-kata mereka setelah sebelumnya bertindak jemawa.”

Di sisi lain, seorang tiran mungkin saja bermusyawarah demi tujuan-tujuan yang manipulatif. Musyawarah yang demikian adalah musyawarah yang palsu. Dalam tafsir terhadap ayat yang sama, al-Syaukānī menuding Firʿaun sedang berpura-pura. Ia seakan-akan ingin mendengarkan pendapat orang lain, padahal yang ia inginkan sebetulnya adalah merangkul dan mengajak orang-orang tersebut agar berada di pihaknya. Ia tidak sungguh-sungguh ingin melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan. Ia memanipulasi mereka. Kalau seorang tiran tiba-tiba mengajak orang lain bermusyawarah, maka tafsir al-Syaukānī di atas bisa jadi salah satu opsi untuk menjelaskan motifnya.

Tentu saja, boleh jadi ada motif-motif lain. Tetapi, yang jelas, dalam sistem yang tiranik, musyawarah tampaknya tidak akan berkembang secara sehat menjadi sebuah tradisi. Kalaupun ada, ia berfungsi lebih sebagai alat bagi sang tiran untuk meneguhkan otoritasnya atau mengesahkan keinginannya. Padahal, musyāwarah dalam bahasa Arab berakar dari verba syāra-yasyūru. Ia memiliki setidaknya dua makna dasar—dan keduanya hilang dalam musyawarah para tiran. Makna pertama adalah “meneliti dan menguji sesuatu untuk mengetahui kemampuan atau sifat-sifatnya”. Ketika seseorang meneliti, mencoba, dan menguji seekor kuda tunggangan sebelum membelinya, misalnya, maka ia sedang melakukan proses “syāra al-hishān”. Makna kedua adalah “mengeluarkan yang terbaik”, seperti termuat dalam kalimat “syurtu al-ʿasal” yang berarti: “aku mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Karena itu, dalam musyawarah yang normal, kita mendengarkan beragam pendapat, menimbang dan mengujinya, lalu berharap proses tersebut akan menghasilkan keputusan terbaik.

Begitulah musyawarah menjadi tradisi di Pondok kita sejak zaman al-marḥūmīn dahulu sampai zaman kita sekarang. Kiai Djauhari melakukannya. Kiai Tidjani, Kiai Idris, dan Kiai Maktum juga melakukannya. Kita pun di masa kini melakukan hal yang sama, di berbagai momen dan di beragam tingkatan, yang terjadwal secara rutin maupun yang berlangsung secara insidentil. Pendek kata, mestinya tidak ada keputusan apapun yang menyangkut maslahat bersama di Al-Amien yang diambil secara sepihak tanpa melibatkan proses pertukaran pendapat yang intens. Forum-forum musyawarah terbangun dan mentradisi, menjadi sistem, lalu dari proses-proses tersebut pondok kita bergerak dan berkembang menapaki sejarahnya sendiri.

Dalam banyak kasus, musyawarah-musyawarah tersebut tidak mengambil bentuk yang formal. Beberapa kiai dan guru duduk bersama, mungkin sambil ngopi dan berbincang santai, lalu mereka menyepakati beberapa hal. Di masa Kiai Djauhari, ketika sistem kepemimpinan di Al-Amien belum terlembagakan secara kolektif seperti sekarang, saya menduga musyawarah-musyawarah santai semacam ini kerap dilakukan. Di tahun 1980-an, selain rapat-rapat formal yang teragendakan, saya sering melihat dan mendengar sendiri para kiai dan beberapa guru berbincang-bincang hingga larut malam. Tentu tidak saya ketahui apa yang mereka perbincangkan. Tapi berdasarkan penuturan beberapa guru senior, banyak keputusan-keputusan penting menyangkut program-program Pondok dihasilkan dari perbincangan tidak formal tersebut. Bahkan rapat mingguan yang sekarang dikenal dengan “Rapat Selasaan” dulunya konon dirancang untuk menjadi pertemuan santai yang tidak terlampau formal. Intinya makan-makan. Tapi acara tersebut lama-lama bertranformasi menjadi pertemuan yang serius dan terstruktur. Barangkali, menurut Kiai Syarqawi Dhofir, itu karena budaya kerja di Al-Amien tidak kompatibel dengan bincang-bincang santai yang melibatkan banyak orang dari berbagai satuan kerja.

Bukan sekali dua kali rapat-rapat di Al-Amien berlangsung dengan intensitas yang sangat tinggi, baik dari segi durasi maupun tensi. Rapat maraton berhari-hari, debat yang panas, adu argumen yang sengit, lalu semuanya selesai dan kita mengenangnya sebagai sesuatu yang asyik dan indah. Pernah di akhir tahun 1990-an atau awal 2000-an, saya lupa persisnya, para kiai bermusyawarah tentang pendirian SMK di lingkungan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Kebetulan, saat itu, ada tawaran bantuan dari pemerintah untuk pendirian SMK di pesantren-pesantren, dan Pondok kita salah satu yang terpilih. Tetapi para kiai menyikapi tawaran tersebut dengan respons yang berbeda-beda. Sebagian setuju, sebagian yang lain menolak. Musyawarah berlangsung dalam beberapa sesi. Saking seriusnya diskusi dan pertukaran pendapat saat itu, Kiai Idris sampai menulis beberapa lembar catatan yang berisi argumen-argumen pokok mengapa tawaran itu, menurut beliau, harus ditolak. Saya tidak ikut rapat-rapat tersebut, tapi sempat saya baca catatan beliau. Dari situ, saya bisa membayangkan betapa berkualitasnya musyawarah para kiai tersebut. Mungkin panas, sengit, dan intens, tapi pasti asyik dan beradab.

Tentu tidak semua orang di Pondok terlibat dalam setiap musyawarah. Tapi masing-masing punya forumnya sendiri-sendiri. Para santri, misalnya, memiliki forum musyawarah pada tingkat kelompok yang mereka ikuti, baik yang wajib maupun yang sifatnya pilihan. Ada acara Dinamika Kelas, Dinamika Dapur, Dinamika Kamar, dan lain sebagainya. Para pengurus organisasi santri menyelenggarakan Musyawarah Tahunan (MUSTA) dan Musyawarah Tengah Tahunan (MUSTETA). Para guru mengikuti Rapat Rabuan dan Kamisan, juga Rapat Guru Lengkap (RGL) setidaknya tiga kali dalam setiap semester. Para mudir dan pengurus Yayasan punya forum Rapat Selasaan. Para kiai juga bermusyawarah dalam Rapat Majlis Kiai. Demikian seterusnya.

Pada momen-momen krusial, ketika diperlukan perencanaan yang lebih intensif, proses-proses musyawarah itu dibebankan kepada sebuah tim. Pendirian TMI dan MTA di masa yang berbeda, misalnya, didahului oleh proses yang sama, yaitu pembentukan tim kecil yang ditugaskan untuk menggodok rencana pendirian itu sampai matang. Di periode-periode yang lebih belakangan, tradisi membentuk tim kecil itu terus terjaga untuk kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penanganan khusus. Para anggotanya juga orang-orang khusus. Tentu yang diharapkan adalah pendalaman dan intensifikasi. Terlalu banyak orang yang terlibat dalam sebuah pembicaraan yang bersifat teknis mungkin dikhawatirkan akan mengaburkan prosesnya. Tetapi tetap saja ada proses musyawarah dan pertukaran pendapat di sana. Keputusan tidak diambil secara sepihak oleh satu orang. Barangkali itu sebabnya mengapa Kiai Tidjani dahulu punya kebiasaan menarik setiap kali beliau diundang mempresentasikan pendapat atau bermusyawarah dalam forum-forum keulamaan, kebangsaan, atau sosial-kemasyarakatan di luar Pondok. Meski forum-forum itu tidak berkaitan langsung dengan kepentingan Al-Amien, namun beliau selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan pendapat beberapa orang, terutama para anggota Majlis Kiai, tentang poin-poin yang akan beliau bawa dalam forum-forum tersebut. Tentu keputusan akhirnya tetap di tangan beliau. Musyawarah adalah satu hal, sementara pengambilan keputusan akhir adalah hal lain yang berbeda.

Ya, Pimpinan dan para pengasuh lembaga memang diberi hak untuk sesekali mengambil keputusan yang berbeda dari hasil musyawarah. Tapi tetap saja, yang dibypass adalah hasil musyawarah dan pertukaran pendapat. Artinya, pendapat-pendapat digulirkan, argumen-argumen disampaikan, berbagai perspektif dipertimbangkan, lalu keputusan akhirnya diserahkan kepada Pimpinan atau pengasuh lembaga. Tapi jika dihitung, kasus-kasus di mana hasil musyawarah itu dibypass sebetulnya relatif jarang terjadi. Bahkan ketika pelaksanaan hasil musyawarah tidak membuahkan hasil yang diharapkan, atau ketika musyawarah menghasilkan keputusan yang terbukti salah, tidak pernah hal itu mendorong kita untuk meninggalkan proses musyawarah pada masa-masa berikutnya.

Saya kira begitulah teladan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada kita. Salah satu potongan ayat yang paling terkenal menyangkut musyawarah adalah: “…wa syāwirhum fil-amr—dan bermusyawarahlah engkau, Wahai Muhammad, dengan mereka dalam urusan kalian.” Ayat 159 dari Surah Āli ʿImrān ini turun selepas Perang Uhud, ketika sebagian Sahabat menduga bahwa penyebab kekalahan mereka adalah musyawarah. Sebelum perang, Rasulullah SAW berpendapat bahwa umat Islam sebaiknya bertahan di dalam kota Madinah. Tapi banyak Sahabat menyarankan agar invasi pasukan Quraisy dihadapi di luar kota. Rasulullah SAW kemudian memilih untuk menuruti hasil musyawarah itu dan berangkat menuju Uhud. Hasilnya kita sama-sama tahu. Selepas perang, para Sahabat merasa bahwa mereka seharusnya menuruti saja keinginan Rasulullah SAW. Nah, di tengah perasaan bersalah sebagian Sahabat tersebut, Allah ternyata tetap memerintahkan Rasul-Nya untuk menjaga tradisi musyawarah dan tidak berhenti hanya lantaran anggapan bahwa musyawarah tersebut tidak efektif. Penggalan ayat tersebut kemudian bisa dipahami begini: “Maka maafkanlah mereka, mintakan ampunan kepada Allah untuk mereka, dan tetaplah engkau bermusyawarah dengan mereka sekalipun hasil musyawarah kalian yang terakhir dianggap secara salah sebagai penyebab kekalahan dalam perang Uhud.”

“Mā khāba man istasyāra—Tidak merugi orang yang bermusyawarah”. Demikian tertera dalam sebuah hadits yang oleh banyak ulama dikategorikan sebagai dhaʿīf. Saya merasakan hal itu saat menulis kolom ini, juga kolom-kolom saya yang lain di rubrik ini. Setiap sentuhan akhirnya pasti melibatkan tukar pendapat dengan orang lain. Yang paling sering dengan Ustadz Hamzah Arsa. Berkali-kali draft tulisan-tulisan saya itu diubah dan dimatangkan berkat diskusi dengan beliau. Tentu tanggung jawab sepenuhnya tetap di pundak saya. Dalam hal itu, saya ingin sedikit banyak meneladani Rasulullah SAW yang digambarkan oleh Abu Hurairah dalam sebuah hadits dengan ungkapan: “Mā raʾaytu aḥadan aktsara masyūratan li ashḥābihī min Rasūlillāh shallā Allāh ʿalaihi wa sallam—Tidak pernah kulihat seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan sahabatnya melebihi Rasulullah SAW.

Hari-hari ini, para santri di TMI sedang melaksanakan Musyawarah Tahunan (MUSTA) Organisasi Santri. Seluruh santri terlibat. LPJ pengurus ISMI yang lama dikaji, diuji, dan dinilai kelayakannya. Garis-garis Besar Kebijakan Organisasi Santri (GABKO) dirumuskan ulang untuk kemudian disahkan. Calon-calon Ketua ISMI yang baru sibuk berkampanye, memaparkan ide dan program, lalu dipilih dalam sebuah proses pemilihan langsung yang terbuka. Para ketua terpilih bersama para formatur kemudian akan membentuk struktur kepengurusan yang baru. Dalam semua proses itu, tidak ada keputusan yang diambil secara sepihak. Semuanya tentang musyawarah, tentang pertukaran gagasan yang intens, tentang kesediaan untuk menguji pendapat sendiri dan pendapat orang lain, tentang keterampilan mempengaruhi dan menggerakkan orang lain, dan—yang paling mendasar—tentang kerendahan hati.

Selamat bermusyawarah.

One thought on “Musyawarah Tahunan

  1. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz says:

    Subhanallah.
    Barokallah.

    Sangat Bagus Sekali Dan Menginspirasi.
    Terimakasih Atas Ilmu nya Pak Kiyai.

    Semoga Panjenengan Sekeluarga Senantiasa Sehat Wal ‘Afiyat Serta Dalam Lindungan Dan Ridho Allah SWT. Amien Yaa Rabbal ‘Alamin.

    PP. Baron Nganjuk Jawa Timur
    1. Ust. Suhairi, S.Th.I Al Hafidz Alumni MTA 2006 M Dan IDIA 2010 M
    2. Usth. Riskiyatun, S.Th.I Alumni IDIA 2010 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.