TMI Al-Amien Prenduan

I/

Jum’at, 11 November 2022

Perjalanan saya dimulai dari makam Bapak saat gerimis, serupa gerimis dari kedua anak sungai yang mengalir. Saya cerita pada Bapak kalau malamnya saya akan ke Madura. Tanah yang menjanjikan kenangan sekaligus perjalanan hidup.

Sengaja saya mengunjungi peristirahatan Bapak, sebab usai dari Madura, saya berangkat ke Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Semarang dan Jepara. Dan saya ingin, perjalanan panjang ini harus dimulai dari mengunjungi nisan.

Malam, sekitar pukul 6, saya menaiki bus Damri tujuan Madura. Di sana, di sepanjang jalan antara Jember dan Prenduan, saya berselimut masa lalu. Beragam kenangan menyeruak ke permukaan. Entah saat saya pertama kali menyantri diantar Bapak dan Ibu; saat saya berada di terminal Kalisat menunggu bus berangkat, sementara dua sahabat saya saat SMP selalu menunggu saya pergi; atau adegan tiap keberangkatan saya yang selalu diwarnai tangisan Ibu.

Seluruh momen hadir satu per satu dan saya membiarkannya menyapa. Sampai akhirnya, seorang lelaki agak sepuh namun berbadan tegap, duduk tepat di sebelah saya dan ia cerita kalau hendak menengok anaknya yang sakit di Pamekasan.

Antum tahu, selama perjalanan, bapak ini gemar bercerita. Seakan-akan hidupnya yang puluhan tahun itu, ia rangkum khusus untuk diceritakan pada saya. Ia bercerita banyak hal, entah politik, pendidikan dan tentunya wejangan kebaikan. Agaknya, ia baru berhenti saat menyadari saya lelap sembari bersandar ke dinding kaca.

Kendati begitu, saya ingat, sebelum turun di Pamekasan, bapak ini berujar, “Jangan pernah takut berbuat kebaikan, Nak, karena nanti pasti kembali ke dirimu sendiri.”

Saya mengiyakan anjurannya dan saya tidak tidur setelah ia turun, saya takut kebablasan. Saya pun pindah tempat duduk ke kursi belakang supir. Padanya saya berkata, kalau saya turun di Al-Amien.

Menjelang pukul 4 pagi, bus berhenti. Saya turun sembari memanggul kenangan. Saat itulah, saat kaki menginjakkan diri di Bumi Djauhari, sejenak saya berjongkok guna memungut segenggam tanah. Saya hirup dalam-dalam. Aromanya menggigilkan tulang belulang.

Dulu, saat pertama kali tiba di pesantren guna menyantri pada tahun 2008, saya membawa segenggam tanah di halaman rumah yang dibungkus plastik, lalu saya taburkan di depan pondok saat pertama kali turun dari bus. Saya biarkan kedua tanah itu menyatu sebagaimana anjuran Paman.

“Semoga hatimu ikut menyatu dengan ma’had,” katanya pada masa itu.

II/

Sabtu, 12 November 2022

04.00 WIB

Dingin mulai merambat saat saya menatap jalanan IDIA menuju arah kompleks putri. Rasa-rasanya, saya kembali menyantri. Gedung-gedung baru telah berdiri. Hutan jati yang dulu menjadi sauna, kini beralih menjadi lahan berteduh.

Agak susah saat mencari penginapan angkatan saya yang berada di lantai 2. Apalagi, penginapan berada di gedung baru. Satu per satu kamar saya tengok, barangkali ada teman masa menyantri. Sampai akhirnya, saya tiba di sebuah ruangan bagian barat Aliyah pojok kanan. Di sanalah, saya mendapati Alink, Cuuk dan seorang lagi yang tengah tidur nyenyak mengenakan sleeping bag.

Saya bangunkan anak itu. Dialah Kaltim. Sahabat saya selama menyantri. Sembilan tahun kami tak bersua. Sembilan tahun saya tak bertatap muka dengannya. Nama aslinya adalah Umi Kaltsum. Tapi sejak Syu’bah, saya memanggilnya Kaltim sebab ia berasal dari Kutai, Kalimantan Timur. Sejak santri, saya dan Kaltim seringkali melakukan hal-hal ‘gila’, dan ini berlanjut sampai sekarang, khususnya dalam kegiatan angkatan yang sifatnya online.

Ada rasa haru yang tidak bisa saya sembunyikan saat saya bersua Kaltim, Alink dan Cuuk. Meski saya tahu, rasa haru itu tertutupi ketawa sebab ketiganya adalah panitia reuni di angkatan saya. Saya kira, tiap angkatan pasti memiliki sosok yang mengkoordinir teman-temannya. Pun begitu dengan angkatan saya, 23 Levhicausta.

Selain berasal dari pengurus shof selama Niha’ie, panitia reuni juga berasal dari teman-teman yang menjadi nyai di dalam, yakni Elia, Lelot dan Dera. Sontak mereka tak jadi tidur hingga menjelang pukul 6 pagi, dan kami bersiap-siap menuju kediaman rumah Elia di kompleks putra yang nantinya menjadi basecamp angkatan saya.

08.00 WIB

Satu per satu, teman-teman mulai berdatangan di rumah Elia. Ada Awak, Tia, Hom, Yusro, Ririn, Itsnaini dan Jih Pit. Menyadari pertemuan di lapangan hendak mulai, tuan rumah meminta segera ke lapangan guna mencari tempat duduk angkatan.

Kami berangkat dan memilih tempat duduk yang sekiranya tidak selurus dengan sound system. Acara memang tak segera dimulai. Tapi kesibukan yang hakiki telah dimulai. Grup angkatan mulai penuh pesan. Chat pribadi mulai menumpuk. Beragam telfon mendadak masuk. Ada yang bertanya letak lapangan di putra, dan ada pula yang bertanya letak duduk angkatan di sebelah mana.

Saya, Kaltim dan teman-teman saling berbagi kabar. Bilamana ada yang kesusahan, kami saling menjemput. Kursi telah penuh sesak. Makin siang, angkatan lain makin memenuhi tenda pertemuan.

Tampak ribuan alumni berkumpul. Hiruk pikuk perjumpaan tak lagi bisa ditawar. Sesekali, di antara kesibukan memastikan teman seangkatan duduk berdekatan, saya menghampiri sosok-sosok yang saya kenal selama menyantri dan kebetulan hadir di reuni. Misalnya, kakak kelas atau para wali kelas pada zamannya. Tak bisa berlama-lama memang. Saya hanya bisa sungkem, bertanya kabar, berbincang sebentar, selesai.

Makin siang, teman-teman angkatan saya makin banyak berdatangan. Tempat duduk yang sengaja kami sisakan tak lagi tersisa. Tangis anak kecil yang dibawa ke pertemuan juga tak bisa dihindari. Tiap ibu memastikan anaknya merasa nyaman sembari sesekali mengobrol sesama kawan. Saya melihat raut wajah lelah pada mereka saat berdiri sejam lebih sembari menggendong anaknya. Tapi lelah itu terbayar saat bersua teman seperjuangan.

Menyadari kursi telah terisi penuh, saya sengaja menyeret Kaltim ke belakang. Tak lupa pula saya mengajak Yusro yang tengah berbadan dua. Di sana, di hadapan panitia yang sepertinya berasal dari kalangan ustadzah pengabdian, saya berbisik di telinganya, “Ustadzah, saya butuh 5 kardus kosong untuk alas duduk di bawah. Teman saya hamil,” kata saya seraya menunjuk perut Yusro yang membesar.

“Temannya antum 5 orang yang hamil, Ustadzah?” kata panitia keheranan.

“Ya, benar itu.”

“Kok banyak, Ustadzah?”

“Lagi janjian mereka,” jawab saya sekenanya. Padahal saya tidak tahu, berapa jumlah pasti di angkatan saya yang tengah hamil, sebab saya menyebut 5 orang berasal dari 3 teman seangkatan yang berperut besar, dan sisanya, saya dan Kaltim yang menyebut karya tulis dan lay out kami sebagai anak ruhani.

Panitia menyodorkan kardus bekas botol minum, dan kardus itulah yang saya gunakan untuk alas duduk di atas rumput lapangan sembari mendengarkan tausiyah Kiai Ghozi. Memang benar yang didawuhkan beliau, jika pulang ke pesantren serupa mengeces baterai yang menipis. Serupa GPS bagi jiwa yang kehilangan arah. Serupa kompas bagi mereka yang tersesat dalam belantara kehidupan.

Tak banyak yang saya bawa dari tausiyah beliau. Sebab saat di lapangan, suasana di tenda putri teramat ramai, panas, belum lagi tangisan anak-anak kecil dan saya memaklumi, mengapa suasana alumni putri berbeda dengan putra yang cenderung lebih sunyi. Salah satu penyebabnya karena anak-anak cenderung bersama ibunya di wilayah barat. Bahkan sekali pun sang suami bukan alumni, mereka membawa putra-putrinya ke reuni.

Seingat saya, acara di lapangan baru kelar sekitar pukul sebelas. Elia mewanti-wanti agar teman-teman tak berpencar dan segera berkumpul di rumahnya. Di sanalah, Elia, Dera dan Lelot selaku tuan rumah, menyuguhi aneka konsumsi, khususnya bakdabak yang menjadi incaran alumni.

Kami berfoto bersama di serambi rumah Elia. Meski saya akui, tidak semua teman yang datang bisa berfoto bersama lantaran ada yang baru datang sore hari. Namun, melihat kedatangan mereka adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya pribadi.

Jauh sebelum 12 November, WA grup angkatan telah sibuk bertanya-tanya terkait reuni. Ada beberapa hal yang didiskusikan, terutama soal dresscode, dan itu tak kunjung menemukan titik akhir. Harus saya akui, menyatukan isi kepala satu angkatan tidaklah mudah. Sampai akhirnya, kami sepakat membentuk tim panitia inti. Apa pun keputusan panitia, harus diikuti.

Sungguh berat berdiskusi terkait ini. Tetapi, saya hanya mampu mengawalinya dengan basmalah saat mengumumkan di grup angkatan, kalau warna dresscode ditentukan, tetapi hukumnya tidak wajib. Pakailah semisal memiliki warna tersebut, dan bagi yang tidak memiliki, tetaplah datang ke reuni dan jangan memaksakan diri membeli apabila memiliki kebutuhan lebih genting. Saya juga menyampaikan kalau keputusan ini tidak akan membahagiakan semua orang.

Tentu saja panitia memiliki pertimbangan krusial dalam memutuskannya. Bukan apa-apa, kami melihat berdasarkan perekonomian teman-teman yang bervariasi, dan kami tidak ingin ada seorang kawan yang begitu rindu bertemu ibu di pesantren, malah terhalangi rasa malu lantaran pakaian yang tidak senada.

Karena itu, memandang foto bersama di rumah Elia, meski sesungguhnya yang datang lebih banyak dari foto, saya betul-betul bahagia sekaligus terharu. Rasa-rasanya, melihat senyum dan tawa teman-teman, serupa bersua saudara kandung yang terpisah di tanah rantau masing-masing dan berkumpul di rumah orang tua dalam satu momen bersama.

14.00 WIB

Pertemuan dengan majelis Nyai di Geserna sedikit tertunda akibat hujan. Kendati begitu, kerinduan yang telah lama terpedam, tak menyurutkan saya dan alumni lainnya untuk tidak beranjak ke Geserna.

Pada awalnya, pertemuan masih kondusif. Para alumni masih menikmati tausiyah para Nyai. Namun, makin lama, suasana kurang terkendali. Salah seorang alumni maju ke depan, memohon kepada para hadirin agar diam sejenak, namun tak berhasil.

Riuh suara menyeruak ke segala sudut ruangan. Satu sisi saya memahami, betapa jarak yang menjadi sekat perpisahan selama ini, tak menutup kemungkinan akan melahirkan kebahagiaan sekaligus candu untuk berbicara lama sedangkan waktu tidak memungkinkan berlama-lama. Namun, di sisi lain, saya juga menyayangkan sebab yang berada di atas panggung adalah ibu kita di pesantren.

Sampai akhirnya pertemuan selesai. Agenda angkatan saya adalah tahlil di penginapan. Semula kami hendak berziarah. Namun, beberapa kali mengintip makam para kiai, selalu dikerumuni alumni. Akhirnya, kami memutuskan tahlil. Terlebih, hampir seluruh teman di angkatan saya pulang saat itu juga.

Usai tahlil inilah momen yang cukup krusial. Hampir 75% teman saya kembali ke rumah masing-masing. Padahal kami baru saja bersua. Ingin rasanya berlama-lama untuk sekadar bertukar cerita, tapi saya tahu, waktu kadang tak bisa bekerja sama. Dan akhirnya, harus saya akui, pertemuan dan perpisahan adalah sebuah kedamaian bagi mereka yang berhasil memaknai kehidupan.

20.00 WIB

Ini malam adalah malam yang akan saya kenang selamanya. Sekitar H-10 reuni, saya meminta Hilwa untuk tampil di malam nostalgia. Tapi Hilwa tak kunjung berkenan musabab lama tidak tampil di atas panggung, dan tentu saja akan melahirkan demam panggung. Bahkan saat diduetkan dengan Alink pun, keduanya tak kunjung menemukan kata akhir untuk tampil.

Sialnya, saat Magrib, saya menerima kabar kalau Alink telah balik karena ada keperluan genting. Kian kelimpunganlah saya membujuk Hilwa. Apalagi Dera telah menyodorkan pada panitia kalau angkatan saya akan menyumbang penampilan, dan itu berupa baca puisi. Namun, saya tahu kalau Hilwa sejatinya berkenan tampil dan hanya butuh dorongan. Untungnya, malam itu Hilwa benar-benar tampil membawakan stand up comedy dan saya membaca puisi.

Antum tahu, seingat saya, tak pernah saya menangis di atas panggung apalagi saat baca puisi. Tapi malam itu, saya menitikkan air mata sejak membacakan judul. Entah mengapa. Rasa-rasanya, perjalanan hidup saya dari awal menyantri, jatuh dan bangun saya selama di pesantren, timbul dan tenggelamnya hidup saya setelah menjadi alumni, kerinduan kepada para kiai dan nyai, dan kepada teman-teman, hadir secara bersamaan dan saya tak mampu mengusirnya jauh-jauh. Saya luruh dalam alunan puisi. Saya lunglai dalam balutan hidup yang menerjang, sampai-sampai tersedu sedan di sepanjang pembacaan karya.

III/

Minggu, 13 November 2022

Reuni masih belum berakhir. Angkatan saya menyisakan sekitar 10 orang di penginapan. Begitupula angkatan yang lain. Masih menyisakan segelintir orang. Kami bersepuluh memulai aktivitas pagi dengan nasi santri yang dikirim Kak Qoqom. Ini cukup mengurangi kerinduan kami akan nasi purum atau nasi keluarga selama menjadi santri.

Tak banyak yang saya lakukan pagi itu. Teman-teman menghabiskan waktu dengan keliling TMI Putri sembari foto-foto, sementara saya lebih banyak berdiam diri di teras musholla. Tubuh betul-betul lelah, dan saya baru bisa berkunjung ke makam Kiai pada petang hari. Di sana, saya seolah menyelesaikan misi yang saya bawa dari rumah. Sejak ke makam Bapak, sejak itulah saya bertekad kalau saya harus ke makam Mahaguru.

Perjalanan saya masih berlanjut keesokan hari saat saya keliling ma’had TMI Putri, termasuk ke rayon-rayon. Di sana, di antara kenangan masa lalu dan keadaan masa kini, saya menyadari kalau waktu tidak akan pernah peduli kita sedang apa dan bagaimana, dan hidup akan terasa sia-sia bila kita menghabiskannya dengan membenci bukan dengan mencintai.

Misalnya, saat saya berkunjung ke Mbak Oliv, mbak dapur Nyai Nur Jamilah. Saat menjadi santri, selama 4 tahun saya makan di sana. Padanya saya bertanya, “Apakah Mbak Oliv punya nomor handphone?”

Mbak Oliv menggeleng.

“Terus bagaimana kalau Mbak Oliv rindu saya?”

Mbak Oliv menoleh, “Kamu cukup pejamkan mata. Bayangkan orangnya. Rasakan kehadirannya. Itu sudah cukup.”

Saya cukup terhenyak mendengar penuturan Mbak Oliv sebab pagi harinya, saya mengutuk keadaan dan menyalahi diri sendiri. Alasannya, saat berselancar di media sosial, saya baru tahu kalau kakak tingkat, dan wali kelas selama menyantri, justru hadir di reuni dan saya tidak bertemu dengan mereka. Padahal saya ada di bumi yang sama, di bawah naungan langit yang sama, dan saya benar-benar merindukan mereka.

Misalnya, wali kelas saya selama semester 2 saat kelas 1 Intensif. Saya baru tahu kalau Usth. Muzayyanah hadir ke reuni dari postingan FB. Padahal saya tidak bertemu beliau selama 13 tahun, dan saya betul-betul ingin bertatap muka dengannya. Tak perlu waktu banyak. Tak perlu sejam berbincang sebab tidak memungkinkan. Cukup sungkem, bertanya kabar dan berujar maaf sekaligus terima kasih, itu sudah lebih dari cukup bagi saya. Bukan apa-apa, saya merasa kebaikan yang selama ini saya dapatkan, kadang bukan berasal dari kebaikan yang saya perbuat. Melainkan buah dari kebaikan dan doa orang tua, kiai dan nyai sekaligus para guru seperti Usth. Muzay.

Bayangkan saja, Pembaca Budiman. Dulu, saat menjadi anak didik beliau, tiap kali kami salim pada pagi hari, siang, sore dan malam, beliau selalu berdoa dan sesekali mengelus kepala kami sembari berujar, “Barakallah,”

Setidaknya, minimal dalam sehari saja, saya didoakan dua kali dan itu berlangsung tiap hari. Karena itu, saya betul-betul ingin bersua dengan beliau dan berujar terima kasih tiada kira.

Kendati begitu, harus saya akui jika di reuni, kurang memungkinkan untuk bertamu dari satu alumni ke alumni yang lain, terlebih yang berbeda angkatan. Sebab untuk sesama angkatan saja, waktu yang dimiliki tak banyak, sedangkan cerita di dalam dada selama perjalanan hidup bertahun-tahun, tak cukup dihaturkan hanya dalam satu atau dua jam.

Tapi setidaknya, inilah sedikit catatan saya tentang reuni kali ini. Saya tulis kisah ini di antara remuknya badan, usaha mengembalikan kesehatan, mengingat saya terpilih sebagai penulis biografi ulama perempuan dan harus hadir di Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Semarang dan Jepara pada tanggal 22 November nanti, dan tentu saja, saya menulis kisah ini di antara penuh sesaknya pesan teman-teman yang masih belum bisa move on dari reuni.

Telisik saya, salah satu alasan mengapa banyak dari mereka yang belum bisa move on, selain alasan menumpahkan kerinduan yang selama sepuluh tahun tak bersua adalah mereka menjadi diri sendiri ketika bertemu teman seperjuangan. Mereka tidak menjadi istri dari si A atau ibu dari si B, tapi menjadi ‘aku’.

Tentu saja, cerita ini hanya secuil dari apa yang saya rasakan selama reuni di pesantren. Rasa-rasanya, aksara dan kata-kata takkan pernah cukup mewadahi cinta dan kerinduan seorang alumni saat bersua orang tua dan saudara kandungnya di Bumi Djauhari.

Jember, 18 November 2022

Nurillah Achmad

Alumni TMI Putri Al-Amien Prenduan Angkatan 23 (2012)

2 thoughts on “Pada Hari ketika Reuni Luruh dalam Pangkuannya Sendiri

  1. Vale says:

    Seketika saya membaca cuplikan luapan kesan penulis tentang riak ramainya acara puwenting itu, reuni, saya sudah berfirasat; cerpen ini bukan bagaimana seseorang bercerita dengan cara biasa. Ketika saya menginjakkan gas menuju lumbung kisah pada link berwarna biru itu, tak begitu lama saya menjadi semakin yakin, nuansa penceritaan yang dibawakan ini cukup menarik, ada keunikan dan pastinya saya ingin agar cerita yg baru saya mulai menyimaknya segera berakhir?. What?? What whet what… Iya, karena saya minder, tidak yakin mampu bercerita seperti gayanya. Telah kukabulkan, meskipun bukan ceritanya yang berakhir, aku yang berhenti membaca dan langsung tancap komen perdana. Mudah2an bisa menyempatkan membaca kembali sampai tuntas.
    Vale, alumni 2004.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.