Walau telah berlalu dua minggu puncak Kesyukuran 70 tahun Al-Amien Prenduan dan reuni akbar dihelat, gelombang ceritanya sampai catatan ini dirilis belum habis untuk saling dibagikan. Setiap yang hadir memiliki kesan tersendiri, mulai dari perjalanan seru menuju acara tersebut hingga hiruk-pikuk perjumpaan antar teman satu angkatan, lintas angkatan dan sejumlah kisah-kisah baru lainnya. Semula banyak alumni yang mengira bahwa esyukuran dan reuni akan mengobati rindu mendalam mereka pada almamater. Faktanya, cerita baru dan dekapan ikhlas almamater selama acara berlangsung justru telah merajut rindu baru yang semakin memberat. Begitu kiranya diksi ini mewakili sebagian perasaan para alumni yang diekspresikan melalui foto-foto kebersamaan selama di pondok pada laman medsos, WAG (WhatsApp Group) dan sebagian ada yang mungkin berbagi antar personal melalui aplikasi layanan pesan digital.
Catatan ini hendak mencoba membagikan apa yang penulis rasakan dan mungkin juga mewakili teman-teman lainnya yang belum memiliki kesempatan untuk membagikan kesannya. Di sisi yang lain, tidak menutup kemungkinan catatan ini berbeda dan bahkan bisa jadi berlawanan dengan kesan-kesan yang dimiliki oleh teman-teman lainnya. Persamaan dan perbedaan adalah wahana untuk saling memahami sekaligus makna tersirat dari kebesaran Al-Amien di mata para alumninya.
Kesan pertama kemarin di acara Kesyukuran dan Reuni Akbar saat penulis memasuki pintu gerbang pondok tercinta ini adalah rasa syukur dan perasaan yang tenggelam pada saat pertama penulis menjadi santri di Al-Amien. Saat itu tepat bulan juli 1998 penulis mendaftar menjadi santri di TMI Al-Amien Prenduan atau sekitar kurang lebih 24 tahun yang lalu. Situasi pondok saat itu tidak semegah seperti sekarang, bangunan paling keren hanya ada dua, yaitu Masjid Jami’ dan gedung Ma’had Tahfidh. Lokasinya juga belum seluas sekarang, kalau tidak salah lapangan depan yang diperuntukkan parkir mobil saat Kesyukuran masih terlihat semak belantara. Namun pada saat itu, Al-Amien diantara pondok-pondok lain, khususnya di Madura masih terlihat megah, walau tentu hal ini tidak sama sekali untuk membanding-bandingkan atau mengecilkan pondok pesantren yang lain.
Penulis masuk TMI saat itu tidak membawa dan memiliki personal privilege yang memukau, mungkin hanya berbekal pesan orang tua dan pesan Kiai Tidjani serta Kiai Idris untuk berjuang dan bertahan agar tamat di TMI. Mengingat dalam hal ini, bapak atau orang tua penulis hanya sampai kelas IV TMI karena berbagai sebab sehingga tidak sampai tamat TMI. Pada beberapa pertemuan sebelum penulis mondok saat sowan ke Kiai Tidjani dan Kiai Idris, beliau berdua selalu berpesan ke bapak agar penulis kelak harus menjadi penerus dan harus tamat TMI. Ingatan akan pesan itu yang menjadi bekal penulis bertahan dan berjuang hingga akhirnya tamat di TMI pada tahun 2003 walau dengan capaian prestasi yang biasa-biasa saja. Walau demikian, penulis sangat bersyukur dapat mengemban pesan sederhana itu meski mungkin belum dapat memuaskan beliau.
Tahun 2003 menjadi momentum baru dan sebagai hamparan perjuangan baru dari pesan untuk tamat TMI menuju pesan tersirat dari para Kiai yaitu sebagai figur alumni TMI. Saat itu kembali penulis dititipkan pesan bapak agar tidak kemana-mana selama pengabdian dan dicukupkan untuk memilih mengabdi di pondok. Kiai dan pondok mengabulkan permohonan tersebut, sehingga akhirnya penulis mengabdi di TMI dan sambil kuliah di IDIA, sehingga genaplah penulis hidup dan nyantri di Al-Amien selama 10 tahun jika dihitung dari mulai TMI hingga tamat IDIA di tahun 2008.
Masa 10 tahun itu pondok terus menapaki perkembangannya yang semakin memukau. Secara fisik, gedung megah bermunculan dalam kurun tahun 2000-an hingga tahun 2008, sehingga saat itu gedung megah tidak hanya Masjid dan Ma’had Tahfidz saja, tapi TMI juga memiliki gedung megahnya, seperti gedung Marhalah Aliyah dan Tsanawiyah. Sampailah kemudian pada saat sekarang ini, mulai dari gerbang hingga asrama santri megah-megah semua, bahkan saat ini juga berlangsung pembangunan gedung Rumah Sakit Islam Al-Amien. Al-Amien secara fisik dalam hal ini sangat memukau.
Pertumbuhan tersebut ternyata tidak hanya secara fisik, kualitas dan pengaruh Al-Amien secara sosilogis semakin diperhitungkan. Misalnya saja, kalau kita membaca data pesantren binaan alumni yang tersebar di seantero Nusantara dengan jumlah lebih dari 200 pesantren merupakan bukti bahwa perkembangan secara fisik yang disebutkan diatas juga bersamaan dengan perkembangan kualitasnya. Data lain yang mungkin belum terangkum seperti posisi , profesi dan pengaruh para alumni juga dapat dikatakan memukau. Sebagian ada yang masuk di dunia politik, menjadi anggota DPR dan sebagian yang lain ada pada posisi birokrasi elit lainnya. Di bidang akademik, tercatat lebih dari puluhan doktor dan bahkan ada yang sudah menyandang profesor di salah satu perguruan tinggi bergensi dunia. Di sektor ekonomi, sebagian alumni juga ada yang berhasil menjadi bos-bos besar serta di bidang lainnya peran alumni Al-Amien semakin meneguhkan citra elit Al-Amien saat ini.
Puncak Kesyukuran 70 tahun Al-Amien yang digelar dua minggu yang lalu menjadi simbol citra Al-Amien yang bergerak dari sekadar lembaga pendidikan Islam menjadi kapital sosial yang sangat diperhitungkan ke depan. Generasi ketiga pelanjut kepemimpinan Al-Amien akan menghadapi situasi yang tidak kalah sulit dari generasi-generasi sebelumnya. Kemegahan Al-Amien saat ini yang diharapkan terus bergerak dinamis dan mempesona, jika penulis boleh berharap citra megah ini harus tetap meneguhkan Al-Amien sebagai lembaga pendidikan Islam yang kokoh berdiri di atas dan untuk semua golongan. Selogan ini bukan semata-mata bermakna politis, tetapi harapan penulis sebagai santri dan alumni yang biasa-biasa saja berharap agar Al-Amien tidak menjadi elit-ekslusif (karena dampak citra) yang dikhususkan hanya menampung bagi mereka yang pintar, tokoh dan orang kaya tetapi juga tetap harus berpihak pada calon santri, santri, alumni dan simpatisan yang biasa-biasa saja. Inilah makna dari “Al-Amien berdiri di atas dan untuk semua golongan” milik kita semua termasuk milik alumni yang mungkin sekedar menjadi orang biasa-biasa. Semoga…
*) Penulis Alumni tahun 2003 asal Sepudi Sumenep, saat ini menjadi salah satu Awardee LPDP Program Doktor Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga