Putaran waktu kembali memulai kisah. Berdetik mengabadikan cerita. Entah mengapa langit seolah dibentang malaikat. Membukakan ruang bagi siapa pun yang hendak memanjatkan harapan, doa dan menggantungkan cita.
Di hari istimewa ini bukan hanya tentang itu. Tapi juga tentang sejarah. Lebih tepatnya perjalanan santri dalam menggenggam negeri. Peranannya juga telah diakui oleh para petinggi, lahirlah kemudian ”Hari Santri”. Dengan tulisan ini saya berharap semua pembaca bisa memaknai arti kata “santri”, bahwa ia merupakan status yang mulia dari golongan mujahid fi sabilillah.
Dulu di masa penjajahan ada seorang perempuan yang sangat memegang erat ajaran agama, perempuan pertama yang benar-benar memperjuangkan hak wanita, terutama muslimah, untuk tidak selalu diidentikkan dengan dapur, mengurus anak, dan juga pelayan rumah. Perempuan harus berpendidikan, agar tidak selalu diremehkan. Bukan RA. Kartini, bukan Cut Nyak Dien, bukan juga Dewi Sartika. Dia adalah Syekhah Rahmah El-Yunissiyah
Wanita asal Padang Panjang itu adalah pendiri sekolah perempuan pertama di Indonesia, yang sama sekali tidak meminta dan menerima bantuan dari pemerintah. Jangankan pemerintahan kolonial, bantuan dari Muhammadiyah saja ia tolak. Ia benar-benar ingin membangun sekolah perempuan (pesantren) dari hasil jerih payahnya sendiri. Bukan egois, namun dia optimis, yakin sepenuhnya bahwa dia bisa menumbuhkan jiwa islami, melahirkan santriwati dengan berpegang teguh pada ajaran al-Quran dan sunah Nabi.
Untuk biaya pembangunan, biaya makan santriwati, dan lain-lain ia rela melakukan perjalanan jauh hingga ke Semenanjung Melayu, berdakwah dan memberi ceramah di surau-surau, mengajari putri-putri istana mengaji, hanya untuk mencari tambahan dana guna keperluan sekolah perempuan “Diniyyah Puteri” yang sedang ia rintis. Lelah memang, namun itulah perjuangan. Jiwa dan raga ia abdikan untuk menyebarkan syiar agama.
Gelar syekhah yang disandang olehnya bukan gelar biasa. Gelar itu sangat istimewa karena merupakan gelar pertama dari Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir, untuk tokoh perempuan paling berpengaruh di masa itu. Gelar syekhah pertama, dari universitas ternama, didapatkan oleh perempuan Indonesia, seorang santri yang memiliki cita-cita mulia.
Selanjutnya ada Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka. Seperti halnya Syekhah Rahmah, beliau juga lahir di tanah Sumatera. Beliau juga merupakan penggerak umat Islam di masa penjajahan, panutan para santri untuk selalu berada di garda terdepan. Namun lebih daripada itu, yang paling saya suka dari sosok ini adalah kecintaannya pada literasi.
Sejak kecil beliau sangat suka membaca dan menulis, rela bekerja di percetakan hanya untuk bisa membaca buku-buku di sana tanpa harus membelinya. Buku apa saja, bahkan yang berbahasa Arab pun juga bisa dipahami dengan mudah. Tulisannya juga demikian. Beliau telah melahirkan banyak karya dengan berbagai genre, baik itu buku ilmiah, novel, maupun karya-karya lain di berbagai surat kabar dan majalah. Beliau selalu meluangkan waktu untuk menulis, di saat yang lain hanya menunggu waktu luang untuk menulis. Raganya memang sudah tiada, namun karyanya akan terus membuat beliau menjadi idola.
Jika Rahmah El-Yunissiyah dan Buya Hamka saja, yang pada masanya sangat kesulitan dalam mengakses segala hal, bisa begitu berkontribusi, memiliki semangat juang tinggi dan mencintai literasi, adakah alasan kita untuk bermalas-malasan seraya meratapi diri?
Santri harus bisa hidup normal tanpa perlu menunjukkan bahwa berbeda rasanya berpisah dengan keluarga. Santri harus mampu memanage peluang untuk benar-benar disebut pejuang. Yang namanya santri harus bisa bertahan di lingkungan pesantren yang menanamkan nilai-nilai kesederhanaan.
22 Oktober ini merupakan momen yang tepat untuk membuka lembaran baru dari kisah seorang santri. Meninggalkan semua yang tidak baik yang pernah dilakukan sebelumnya, menggantinya dengan kontribusi yang berarti. Saya masih ingat dengan pesan Ust. Samhadi yang dulu menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Organtri (MPO). Beliau mengistilahkannya dengan “Jadi santri, jadi pengurus itu jangan mandul!”.
Jangan seperti ayam mati di lumbung padi. Jika tidak bisa berkontribusi untuk negeri, setidaknya jangan hanya diam di pondok sendiri.
Terakhir, saya mengucapkan selamat Hari Santri Nasional, khususnya untuk para santri TMI Al-Amien Prenduan. Semoga kedepannya bisa terus mengangkat martabat kemanusiaan. Menjaga nama baik pondok pesantren yang sedang kalian emban. Terus berjuang dan berkaryalah, taklukkan dunia dengan menciptakan sejarah.
Pingback: TMI Putri Al-Amien Prenduan Rayakan Hari Santri dengan Penampilan-Penampilan. |