Kebutaan mata yang dialaminya tidak menghalanginya untuk berkhidmat di jalan Allah. Namanya juga tidak disebutkan, tapi semangat perjuangannya telah terpahat abadi menjadi inspirasi bagi siapa pun yang bening hati.

Uridu an akuna sawadal muslimin (aku ingin menjadi bagian dari noktah hitam yang menambah jumlah pasukan kaum muslimin); jawabnya saat ditanya sahabat penuh keheranan karena ia punya kesempatan untuk menjadikan kebutaannya sebagai alasan tidak berangkat perang. Perannya mungkin tidak kasat mata, tapi Allah selalu hendak mengajarkan kepada kita bahwa perjuangan apapun tidak boleh berhenti di titik kalkulasi indrawi. Ada peran sujud-sujud syahdu di malam yang sunyi oleh orang yang mungkin tak harum di bumi.

Ada pengendara hingga pejalan kaki yang melintasi jalan perjuangan, lalu bergetar hati mereka memanjatkan doa-doa kebaikan yang menjadi bagian sebab turunnya banyak keberkahan. Ada guru yang selain berbagi ilmu, tidak ingin ketinggalan untuk menikmati manisnya berinfaq harta meski tidak selalu lembaran merah atau biru, diselipkannya malu-malu cukup dengan pengetahuan-Nya ditambah saksi bisu berupa kotak infaq yang setia berdiri termangu.

Ah, kenapa beramal kebajikan mesti malu-malu? Sebetulnya tidak ada keharusan begitu, tapi terkadang kita juga perlu belajar dari orang yang sangat berhati-hati agar amalnya tidak “terganggu”. Bahkan ada sekian Al-Marhumin yang hadir di lintasan rindu ahli waris yang tergerak mendonasikan harta untuk peran perjuangan. Dari alam barzakh ada pesan sekaligus peran pengingat bagi penikmat dunia agar selalu menyiapkan bekal akhiratnya.

Peran kontribusi yang nampak secara indrawi tidak dipungkiri sebagai pemantik semangat juang yang bisa berlipat-lipat, tapi ia berpotensi pula melipat-lipat amal hingga tercabik hangus oleh panasnya sambat yang salah alamat. Bila harus sambat datanglah dengan ketundukan menghadap Qadiyal hajat, Allah yang kuasa memenuhi setiap hajat.

Ini bukan peran ala kadarnya. Bila orang yang diuji dengan butanya mata dari sahabat Nabi tidak ingin bertambah dengan butanya jiwa, bagaimana dengan kita yang diberi mata terbuka tidakkah tergugah berderma dengan harta dan jiwa untuk Islam yang mulia? Ini peran untuk lahirnya bahagia. Kebahagiaan yang bukan fatamorgana. Bahagia jiwa yang tertambat hijaunya surga. Orang paling bahagia tentu saja baginda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang bahkan selalu mendamba keselamatan bagi seluruh ummatnya.

Beliau pernah puasa lantaran tidak ada makanan di rumahnya, tapi pada setiap lini amal ummatnya beliau memiliki saham keteladanan yang sungguh menggugah jiwa. Dengan bahagia beliau ringan saja berqurban seratus ekor unta di saat haji wada’.

Sahabat tercinta, hari ini kontribusi apa yang sudah kita dermakan untuk rumah bahagia di surga?

Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.