Interpretasi kesuksesan seharusnya memberikan bayangan jerih payah perjuangan, bukan hanya memberikan kesan enak dan nyamannya saja, sebab tidak semua orang mampu memahami kerasnya usaha di balik kesuksesan itu sendiri. salah satu contohnya misalnya saat pembekalan rihlah iqtishadiyah, terkadang pemateri hanya memaparkan betapa enaknya menjadi orang sukses, menghabiskan hari-hari dengan penuh kenyamanan, tanpa mereka sadari bahwa tidak semua santri mau berusaha keras, terkadang malah ada yang mengharapkan kesuksesan dengan proses yang instan.

Terkadang pula ada sebagian yang sadar akan pentingnya usaha keras untuk meraih kesuksesan, namun lingkungan yang kurang kondusif membuatnya tidak semangat dan malah ikut terpengaruh sekitarnya. Seperti yang disampaikan KH. Dr. Ahmad Fauzi Tidjani, Ph.D., dahulu saat RGL di geserna, bahwa lingkungan dapat mempengaruhi kepribadian seseorang sampai 90% atau 100%. Bayangkan saja misalnya jika ada santri memiliki kebiasaan melanggar bahasa, bukan tidak mungkin temannya akan ikutan berinteraksi dan melanggar bersamanya.

Tetapi yang menarik perhatian adalah, di setiap berkembangnya problematika yang ada, justru akan ada banyak wacana bermunculan menjadi platform pendidikan upaya menetralisasi persoalan yang ada. Hal ini masih cukup baik sebab pondok masih terus bergerak berproses mencapai kesuksesan yang diharapkan. Kita dapat berkaca pada kisah inspiratif Thomas Alva Edision sang penemu lampu pijar. Jika saja ia gagal dalam satu eksperimen dan memutuskan tidak mencobanya lagi, mungkin saja ia tidak akan menemukan 1000 penemuan baru termasuk lampu pijar.

Oleh karena itu, sebenarnya proses itu lebih penting daripada hasil, sebab tidak akan ada hasil tanpa adanya proses. Ada statement menyatakan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Maksudnya, surga itu tidak jauh lebih berharga jika dibandingkan dengan berbakti pada orang tua. Bahkan ia digambarkan berada di bawah telapak kaki ibu. Dengan kata lain, proses berbakti pada orang tua, jauh lebih penting dan utama dibandingkan hasil (surga) yang akan diterimanya nanti.

Sesuai dengan himne oh pondokku, “laksana ibu kandung ku”. Berbakti pada pondok adalah kewajiban atas setiap individu yang pernah menuntut ilmu padanya. Terlebih pada guru alumni yang memiliki power mereformasi sebuah peradaban. Kaisar Hirohito Jepang memandang bahwa guru memiliki sosok krusial dalam membangun peradaban Jepang. Terbukti saat perang dunia II, Amerika menjatuhkan bom atom yang meluluhlantakkan Hirosima dan Nagasaki. Pertanyaan pertama Kaisar Hirohito adalah “berapa jumlah guru yang tersisa? Jepang telah jatuh, hal ini dikarenakan mereka tidak belajar”, ujarnya. Kemudian ia membangun negaranya menjadi negara maju, hanya dalam kurun waktu 20 tahun lamanya. Padahal saat itu dunia memprediksi Jepang membutuhkan waktu 50 tahun untuk bisa bangkit kembali.

Di sini kita mendapat pandangan bahwa untuk melakukan reformasi lingkungan yang kondusif, dibutuhkan guru-guru yang aktif. Sebab Jepang sendiri tidak akan bangkit dengan guru-guru yang vakum. Tidak perlu jumlah besar untuk melakukannya, asalkan semuanya bergerak, berproses mengejawantahkan impiannya, maka semuanya akan terwujud. Sesuai perkataan Soekarno “berikan aku 10 pemuda, akan aku goncangkan dunia”.

Rasanya cukup panjang lebar pembahasan ini. Pada dasarnya tulisan ini hanya sebuah ajakan kepada diri kita, agar senantiasa berproses semaksimal mungkin menjalankan amanah pondok kita tercinta. Itulah salah satu cara mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Semuanya berusaha semaksimal mungkin, biarkan Tuhan yang menentukan hasilnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.