Di dalam kehidupan bersosial, Tuhan menganugerahkan manusia watak dan kelebihan yang berbeda-beda. Antara satu orang dengan lainnya memiliki hal pembeda yang terkadang membuat orang lain iri untuk bisa menjadi ‘seperti dia’ atau berusaha meraih satu hal yang dianggapnya istimewa. Tentu kita tidak dapat memungkiri hal ini. Tersebab, kita adalah manusia yang memungkiknkan terjangkit sifat tersebut di berbagai kesempatan. Imbasnya, kita sering disuguhkan beberapa pertikaian antar-sesama manusia yang cukup serius. Sehingga, menimbulkan permusuhan atau mencelakakan korbannya secara fisik maupun mental.

Kita tentu beranggapan, bahwa yang sering dihinggapi sifat tersebut adalah manusia biasa seperti kita. Namun, pernah kah kita berpikiran bahwa beberapa ulama pernah terjangkit sifat iri sehingga menimbulkan pertikaian? Selama ini kita melihat bahwasanya ulama adalah manusia-manusia terbaik dalam kualifikasi keilmuannya. Apalagi, identitas ulama sering dilekatkan dengan atribut-atribut keagamaan, yang notabenenya dekat dengan Tuhan. Saya rasa ini satu perspektif umum yang ada di benak kita dari dulu. Sehingga sulit untuk berpikiran, bahwa sering terjadi pertikaian antar-sesama ulama, dulu maupun hari ini.

Dalam tulisan kali ini, saya tidak sedang mengajak Anda untuk melabeli beberapa ulama itu buruk. Jelas, ini bertentangan dengan keyakinan yang saya pegang selama ini, bahwa ulama adalah pewaris keilmuan Nabi. Akan tetapi, yang ingin diketengahkan, bahwasanya ulama juga manusia biasa, bukan nabi atau manusia paripurna yang terbebas dari salah dan dosa. Tentunya, kita perlu membedakan, mana persoalan yang menyangkut kualifikasi keilmuan dan mana yang menyangkut perbuatan personalnya. Sehingga nantinya tidak menimbulkan bias ketika menerjemahkan sesuatu.

Pertikaian Antar-ulama

Pertama, kita membahas tentang Imam Suyuthi. Saya rasa hampir mayoritas santri di Indonesia mengenal salah satu ulama kenamaan Mesir yang satu ini. Selain karena memang karya-karya yang lahir banyak dari tangannya, ia juga merupakan salah satu ulama jebolan al-Azhar yang cukup diperhitungkan. Sumbangsihnya terhadap khazanah keilmuan Islam cukup banyak dan menjadi rujukan para sarjana, baik dari Timur maupun Barat.

Imam Suyuthi lahir di kota Asyuth, sebelah barat sungai Nil. Beberapa orang mengenalnya dengan nama Imam Suyuthi, karena dinisbatkan ke kota ia dilahirkan. Padahal nama aslinya adalah Abu al-Fadhl Jalaluddin al-Suyuthi. Biasanya, para ulama berbangga-bangga dengan nama kota kelahirannya. Jika nama kota tersebut semakin didengar dan dielu-elukan sebagai penisbatan ke seorang ulama masyhur, maka semakin menegaskan bahwa kota tersebut terkenal sebagai tempat lahirnya para ulama.

Sebagai sarjana Timur yang terkenal, Imam Suyuthi berguru kepada beberapa ulama yang berkompeten pada masanya. Di antara gurunya, yaitu Imam Ibn Hajar al-Asqalani, Imam al-Bulqini, Imam al-Munawi dan lainnya. Ada salah satu doa yang masyhur dari Imam Suyuthi ketika ia ziarah ke Makkah. Ia menuliskan di kitab biografinya sendiri, Husn al-Muhadlarah, “Alhamdulillah, saya telah melakukan pengembaraan (ilmu) ke negeri Syam, Hijaz, Yaman, India dan Maroko. Dan ketika saya melakukan ibadah haji, saya meminum air zam-zam dengan beberapa niat. Salah satu niat tersebut yaitu, semoga saya mencapai taraf kualifikasi dalam menguasai ilmu fikih seperti guru saya Imam al-Bulqini, sedangkan dalam ilmu Hadits seperti Imam Ibn Hajar al-Asqalani.”

Mungkin, berkat keberkahan air zam-zam dan ketekunannya dalam belajar, ia dikenal sebagai ulama ensiklopedis. Yaitu, ulama yang tidak hanya menguasai satu cabang ilmu saja. Selama ini kita mengenal Imam Suyuthi sebagai mufassir, ternyata ia juga seorang ahli Hadits, fikih, sastra Arab dan lainnya. Imam Suyuthi mendaku bahwa segala disiplin ilmu yang bakal ia tulis, dapat menjadi satu buku rujukan yang bermanfaat nantinya. Bahkan ia mendaku, bahwa dirinya sudah mampu berijtihad selayaknya imam madzhab. Konon, Imam Suyuthi pernah ada niatan membuat madzhab fikih baru, selain empat madzhab yang terkenal sekarang. Sayangnya, niatan tersebut tidak terlaksana, karena dapat teguran langsung dari gurunya.

Karena ada klaim semacam itu, maka tak ayal ulama dan beberapa teman seangkatannya manaruh rasa dengki. Salah satu ulama yang cukup tajam mengomentari Imam Suyuthi adalah Imam Sakhawi. Secara sanad keilmuan, kedua ulama tersebut masih satu perguruan, yaitu sama-sama murid langsung Imam Ibn Hajar al-Asqalani. Imam Sakhawi terkenal sebagai ahli Hadits dan fikih. Ia memiliki kitab ilmu Hadits yang menjadi rujukan. Saat ini kitab tersebut masih diajarkan di masjid al-Azhar, yaitu Fath al-Mughîts.

Di dalam kitabnya, al-Dlau’ al-Lâmi’, Imam Sakhawi menuliskan biografi Imam Suyuthi dengan cukup tajam. Bahwasanya, Imam Suyuthi pernah mencuri beberapa kitab gurunya, Imam Ibn Hajar, dan beebrapa kitab dari perpustakaan al-Mahmudiyah. Kemudian, Imam Suyuthi mengubah sedikit isi kitab tersebut, dengan mendahulukan atau mengakhirkan beberapa bab pembahasannya. Lalu, ia mengklaim kitab tersebut sebagai karyanya dan melebih-lebihkan beberapa potongan pada bab mukadimah.

Tentu ini pertikaian serius yang terjadi pada kedua murid terbaik Imam Ibn Hajar al-Asqalani. Namun, ada satu hal yang menjadi kaidah di dalam ilmu al-Jarh wa al-Ta’dîl terkait persoalan ini. Bahwasanya, kritikan dan komentar tajam dari seorang teman yang hidup sezaman, tidak dapat diterima. Apalagi, kritikan tersebut memiliki tendensi kecemburuan atau hal-hal yang dianggapnya tidak berdasar. Maka tentunya kita perlu memahami betul latar belakang munculnya komentar tajam tersebut yang termaktub di kitab Imam Sakhawi Pun, Imam Syaukani dalam kitabnya, al-Badr al-Thâli’, meruntuhkan kritikan tajam Imam Sakhawi terhadap rekan sezamannya, Imam Suyuthi.

Selanjutnya, kita beralih ke potongan kisah Imam al-Munawi. Meski nama Imam al-Munawi tidak sementereng nama Imam Suyuthi, akan tetapi ia memiliki banyak karya yang cukup diperhitungkan. Salah satu karya terkenalnya adalah al-Jâmi’ al-Azhar fî al-Hadîts al-Anwâr dan Faydl al-Qadîr. Kedua kitab ini menjadi rujukan bagi para penikmat Hadits dan ilmunya. Imam Munawi dilahirkan pada tahun 952 H dan wafat pada tahun 1031 H. Ia dimakamkan di kawasan Kairo Lama.

Sebagai seorang ulama ensiklopedis, Imam al-Munawi dipercaya untuk mengajar di beberapa majelis ilmu di kawasan Kairo pada masanya. Karena saking hebatnya dalam menjelaskan berbagai bidang keilmuan dan memiliki karya yang cukup banyak, maka tidak heran banyak ulam yang memuji akan hal tersebut. Namun, ketenaran dan kemasyhurannya menjadi petaka bagi sang Imam untuk menghadapi cobaan bertubi-tubi.

Ketika Imam al-Munawi dipercaya untuk mengajar di Madrasah Shalihiyah, beberapa teman seangkatannya sesama ulama menaruh rasa dengki kepada sang Imam. Kemudian, dengan teganya mereka diam-diam meracuni sang Imam agar tidak mengajar lagi di majelis tersebut. Efeknya, Imam al-Munawi mengalami sakit parah, kelumpuhan dan bahkan kehilangan kedua penglihatannya. Dalam kondisi seperti itu, sang Imam sedang menyelesaikan kitab karangannya, yaitu al-Jamî’ al-Azhar, kitab tentang takhrij Hadits.

Selang beberapa tahun kemudian, segerombolan kawan seangkatannya datang untuk menjenguk sang Imam. Dalam hal ini, sang Imam menjelaskan dalam mukadimah kitabnya, bahwa kawan-kawan yang menjenguknya saat sakit adalah mereka yang ahlu al-shâfâ. Yaitu, orang-orang yang luhur dan bersih hatinya. Pada saat menjenguk sang Imam, tidak sengaja mereka melihat di pojokan rumahnya terdapat beberapa jilid kitab yang sudah berdebu dan di atasnya bersarang seekor merpati serta laba-laba. Saat kejadian itu, mereka merasa terenyuh dan simpati atas musibah yang dialami Imam al-Munawi.

Pada kondisi tersebut, kawan-kawan Imam al-Munawi berdoa agar sang Imam cepat pulih. Pun, mereka meminta agar proyek kitab tersebut segera dirampungkan, mengingat tinggal beberapa jilid lagi hampir selesai. Berangkat dari permintaan teman-temannya yang ahlu al-shâfâ, Imam al-Munawi menyanggupi untuk merampungkannya. Sehingga, dalam mukadimah kitabnya, ia menuliskan alasan tersebut sebagai motivasi untuk segera mengkhatamkannya. Namun demikian, sang Imam dibantu oleh anaknya dalam penulisan kitab tersebut dengan cara didekte, akibat dari kondisinya yang tidak memungkinkan saat itu.

Seperti halnya lumrah di dalam kehidupan, bahwasanya di sekeliling kita mungkin banyak orang yang tidak suka maupun yang simpati terhadap kita. Namun, jika kita menengok pada kondisi Imam al-Munawi, justru banyak hal yang dapat dipelajari dengan cermat. Bahwasanya, jika saja Imam al-Munawi terus terpuruk dalam keadaannya yang sedemikian sulitnya, tentu kitab al-Jâmi’ al-Azhar fî al-Hadîts al-Anwâr tidak bisa dinikmati oleh para cendekiawan hari ini. Apalagi, kitab tersebut memiliki peran besar dalam merangkum beberapa Hadits yang belum ditakhrij dalam kitab Jam’u al-Jawâmi’-nya Imam Suyuthi.

Kemudian, peran teman-teman yang mendukung langkah Imam al-Munawi memiliki pengaruh positif dalam proses rampungnya kitab tersebut. Terutama dalam meneguhkan hati sang Imam yang mulai pasrah dengan kondisinya. Artinya, dalam kehidupan sosial kita tidak melulu dihadapkan dengan teman yang toxic saja. Tetapi, banyak di sekeliling kita beberapa teman yang memiliki simpati dan tulus mendoakan segala kebaikan di saat masa-masa sulit. Tentu, hal ini yang sering alpa dalam kehidupan kita. Sehingga, banyak hal positif yang terabaikan.

Terakhir, menanggapi pertikaian ulama dalam ranah keilmuan, saya mengingat nasihat seorang senior. Dalam perbincangan tersebut, kami tengah membahas pertikaian intelektual antar-dua ulama di Mesir saat itu. Saya rasa bakalan muncul juga ke depannya terkait fenomena semacam ini.

Hal yang perlu kita pahami, bahwasanya pertikaian antar-ulama dalam ranah intelektual sejatinya perlu disikapi dengan arif. Tentu, tidak ikut campur dan membela secara membabi buta tanpa pemahaman yang utuh, merupakan sikap kehati-hatian yang perlu dikedepankan. Apalagi berkomentar di media sosial dengan gaya bahasa kasar. Sejatinya, para ulama lain tentu memiliki langkah-langkah persuasif untuk meredam pertikaian tersebut jika terjadi. Tugas kita hanya perlu membaca karya mereka sebanyak-banyaknya dan bijak dalam menerjemahkannya. Nah, cara-cara seperti ini yang sering kita lupa, sebagai seorang mahasiswa maupun peneliti menempatkan posisi yang moderat dan tidak gegabah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.