Kebudayaan tanah Jawa memang unik, menarik, dan sarat akan makna. Telah banyak para peneliti yang mengkaji, menelaah, dan meneliti secara berulang kali. Namun, Jawa masih tetap menyimpan fenomena dan misteri tersendiri. Sehingga, membicarakan Jawa, cukup menantang dan memunculkan paradigma informasi baru, sesuai kapasitasnya, agar dapat diketahui kebenarannya.

Manusia Jawa atau orang Jawa, bukan saja seorang yang sekadar tinggal di Pulau Jawa—Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur—saja, melainkan orang yang benar-benar memiliki keturunan Jawa secara genetik. Baik pribadi maupun sosial, ia hidup dalam lingkup kebudayaan Jawa, sekalipun tidak tinggal di Pulau Jawa. Dan yang lebih penting lagi, memiliki kesadaran diri akan nilai-nilai adat kebudayaan Jawa dan berperan aktif dalam melestarikannya serta mampu mengimplementasikan adat-adat Jawa dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupannya, orang Jawa memiliki karakter dan pandangan hidup yang beraneka ragam dan menjadi kebudayaan yang kental dan sulit dihilangkan. Misalnya, mengenai laku prihatin yang terus tampak keberadaannya dalam berbagai perkara yang terjadi. Bagi orang Jawa, laku tirakat (prihatin) tidak boleh dikerjakan dengan asal-asalan, insidental, sejam dua jam, atau sehari dua hari, melainkan harus dikerjakan sepanjang hidup. Sebab, hal yang diinginkan oleh manusia Jawa sejatinya yakni sukses dunia dan akhirat.

Iman Budi Santosa, dalam buku Laku Prihatin, menyajikan berbagai macam realitas kehidupan Jawa. Sehingga, dengan informasi yang ada, mampu menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kearifan budaya dalam kehidupan di tanah Jawa.

Mengenai laku prihatin atau tirakat dalam kehidupan Jawa, banyak anggapan dan pemahaman yang keliru dan harus diluruskan, baik dari kalangan yang memiliki orientasi atau arah kepercayaan berbeda, maupun dari orang Jawa sendiri. Memahami laku prihatin memerlukan adanya pendekatan total dan mendalam agar dapat dicerna oleh hati, sehingga tidak sekadar ditangkap oleh pikiran semata.

Jadi, laku prihatin adalah melatih kemampuan batin dan lahir sebagai bentuk penataan moral akhlak dan budi pekerti. Pada intinya, dapat menjalani hidup secara sederhana dan tidak menghamburkan kesempatan yang ada.

Dalam menjalani laku prihatin, orang Jawa menggunakan banyak pedoman yang bersumber pada kepercayaan adat, nasihat leluhur, ajaran kejawen dan kebatinan, kisah wayang, legenda, dan ajaran agama. Dengan demikian, wujud laku prihatin sangat beragam.

Beberapa metode pengamalan laku prihatin dalam buku ini menyebutkan, misalnya: tradisi berpuasa, menyepi, bertapa, menahan tidur, berpantangan, ritual perjalanan, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperbaiki budi pekerti. Laku prihatin harus memiliki tujuan yang jelas dan nyata, bukan hanya semata-mata mewujudkan impian bahkan sengaja untuk penyengsaraan diri untuk memancing belas kasihan orang lain. Karena tujuan tersebut merupakan titik yang akan dituju, dicapai, dan ingin diwujudkan.

Menurut Iman Budi Santosa, dalam buku tersebut, salah satu laku prihatin yang sampai saat ini masih banyak dilakukan dalam kehidupan orang Jawa, yakni wungon atau tirakatan atau juga disebut lek-lekan. Laku prihatin ini dijalani dengan menahan tidur dan ada pula yang diikuti puasa mbisu (tidak berbicara) selama satu hingga tiga hari, sebagai permohonan berkah selamat atas kejadian tertentu. Misalnya, meninggalnya seseorang di malam hari dan jenazah harus diinapkan. Maka para tetangga mengadakan lek-lekan untuk membantu menangani keluarga yang sedang berkabung.

Hal menarik lainnya, bagaimana tradisi orang Jawa, yang sangat gemar memelihara burung perkutut sebagai klangenan. Bagi orang Jawa, perkutut ini adalah burung yang sangat sakral, karena dianggap mampu memberikan sinyal isyarat mengenai gejala alam yang sulit dijangkau akal budi manusia.

Kesimpulannya, seseorang akan berusaha keras untuk menemukan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dan terus berjuang untuk terhindar dari kesengsaraan. Dalam konteks ini, laku prihatin merupakan bagian dari proses mewujudkan cita-cita dan tujuan hidup. Sama halnya dengan menabung, dengan menyisihkan sebagian penghasilan untuk mewujudkan keinginan yang lebih besar.

Di samping itu, nilai lain yang patut diteladani dari laku prihatin adalah keberanian melakukan penyesuaian diri dengan berbagai situasi yang dihadapi. Karena hidup bukanlah suatu hal yang dipenuhi dengan kepastian. Dengan laku prihatin seseorang dapat berusaha sekuat tenaga menerima hasil perbuatannya.

Buku Laku Prihatin ini sangat mudah menarik perhatian pembaca, sejak melihat sampulnya. Dengan pemilihan font bermodel tulisan Jawa dan ukiran-ukiran khas tanah Jawa, buku ini seakan langsung tanpa berbasa-basi mengatakan bahwa ini adalah buku yang membahas tentang Jawa.

Pembahasan atau cara penulisan khas dari Iman Budi Santosa yakni, bahasa yang ringan sangat mudah dicerna, serta dilengkapi dengan data-data dan fakta kehidupan sehari-hari, yang berlangsung di lingkungan Jawa. Sehingga poin-poin yang ingin disampaikan penulis dapat diterima dengan mudah.

Di dalam paragrafnya juga banyak menggunakan peribahasa-peribahasa Jawa, yang semakin meyakinkan pembaca akan nilai-nilai yang menancap kuat di dalam dada orang Jawa. Namun, bahasa Jawa dan arti yang disediakan dalam glosarium kurang lengkap, sehingga pembaca selain orang Jawa tidak mengerti apa arti dan maknanya.

Nah, bagi yang ingin mendalami pengetahuan tentang orang Jawa, buku ini sangat saya rekomendasikan. Jangan ngaku orang Jawa jika belum membaca buku ini.

*Santriwati kelas VI DIA-A TMI Al-Amien Prenduan. Resensi buku ini sebelumnya telah dimuat di Radar Madura pada tanggal 25 September 2022 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.