Akhir-akhir ini ramai dibahas di berbagai tulisan maupun video di media sosial yang membahas tentang sebuah pondok pesantren, yang mana dalam tulisan maupun video tersebut ada sebagian masyarakat yang mulai berpandangan buruk dikarenakan hanya melihat sepintas di tulisan maupun video tanpa tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Hal ini sangat menyedihkan, karena ada sebagian masyarakat yang belum mengenal pondok pesantren tersebut seenaknya berkomentar yang tidak baik, lebih-lebih jika ada dari kita yang berstatus sebagai wali santri perlu hati-hati dalam menanggapi hal tersebut dan tetap terus menanamkan rasa kepercayaannya yang penuh ke pondok ketika sudah memasrahkan anaknya.
Apabila terjadi suatu hal yang memiliki ketidakcocokan antara kita (wali santri) dengan kejadian dipondok pesantren, sebaiknya melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Bukan mengedepankan emosional. Apabila emosi yang dikedepankan, maka bisa berakibatnya bisa merusak harga diri kita (wali santri), ustadz, kiai, pesantren, bahkan bisa merusak harga diri anak kita sendiri (santri) juga.
Ada sebuah kisah inspiratif yang banyak diceritakan tentang seorang laki-laki yang menfitnah Syekh Abdul Qadir Jailani. Ketika itu ada seorang laki-laki yang hendak menfitnah Syekh Abdul Qodir Jailani, laki-laki tersebut mengintip rumah beliau melalui sebuah lubang. Pada saat itu, ia melihat Syekh Abdul Qodir Jailani sedang makan daging ayam kesukaannya bersama muridnya. Kemudian beliau memakan separuh dan membagikan sisanya kepada muridnya.
Namun, apa yang dilakukan Syekh Abdul Qodir Jailani itu menjadi celah bagi laki-laki yang berniat jahat untuk menfitnah beliau dan muncul rencana liciknya dengan mendatangi bapak murid yang menemani Syekh Abdul Qodir Jailani tadi. Lalu, menfitnah beliau dengan mengadu dengan penyampaian yang keliru.
“Apa benar bapak memiliki anak yang bernama ini dan sedang berguru kepada Syekh Abdul Qodir Jailani?” Tanya Orang Jahat.
“Iya, Benar” Jawab Singkat Sang Bapak.
“Tahukah Engkau, Syekh Abdul Qodir Jailani telah memperlakukan anakmu seperti hamba sahaya dan seperti kucing.” Jelas Orang Jahat tersebut.
Kemudian bapak tersebut emosi dan bergegaslah datang bapak menuju ke rumah Syekh Abdul Qodir Jailani untuk meminta anaknya kembali karena tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu.
Ketika dalam perjalanan pulang, sang bapak mencoba untuk mengklarifikasi apa yang terjadi atas kejadian yang diceritakan kepada sang bapak tersebut. Tak disangka, sang anak justru menjawab pertanyaan bapaknya dengan jawaban yang berbeda dengan apa yang dipikirkan dan dituduhkan bapaknya tadi. Lantas, bapak itu menyesal dan berniat untuk mengembalikan anaknya kepada Syekh Abdul Qodir Jailani.
Namun, sayangnya Syekh Abdul Qodir menolak untuk menerima kembali muridnya tersebut dengan berkata kepada sang bapak,
“Bukannya aku tidak mau menerima anak itu kembali, tapi Allah sudah menutup futuh (terbuka)-nya untuk mendapat ilmu disebabkan seorang bapak yang tidak beradab kepada guru,” jelas Syekh Abdul Qadir Jailani.
Pada hakikatnya, para kiai sebenarnya memiliki pola pendidikan sendiri yang terkadang gagal dipahami oleh orang lain, termasuk wali santri itu sendiri. Maka dari itu, dalam berbagai hal kejadian yang terjadi didalam pondok, sebagai wali santri ataupun masyarakat yang awam tentang pondok pesantren tidak asal berkomentar sebelum tabayyun (klarifikasi) kepada pihak pondok pesantren.
Jangan sampai karena adab orang tua yang buruk, sedangkan adab anak sudah baik. Lalu menjadikan ilmu anak tersebut tidak menjadi berkah. Maka dari sinilah, pemasrahan santri kepada pondok memainkan peranan yang penting. Kata “pasrah” memiliki arti yang sangat mendalam. Jika wali santri memasrahkan anaknya ke pondok, maka ia juga berhak menerima informasi seputar anaknya tersebut.
Ada sebuah kalam satu ulama, “Satu prasangka buruk saja kepada gurumu, maka Allah haramkan seluruh keberkahan yang ada pada gurumu kepadamu”.
Lalu, bagaimana jika seseorang yang berprasangka buruk kepada pondok pesantren? Bisa saja Allah cabut seluruh keberkahan hidupnya. Bisa saja 4 penyakit pada zaman ini (Ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, doa yang tidak dikabulkan dan amal yang tidak diangkat) seperti
yang disampaikan oleh KH. Muhammad Idris Jauari menimpah hidupnya. Maka, lebih baik diam daripada berprasangka buruk ataupun berkomentar yang tidak sesuai fakta kepada kiai atupun pondok pesantren.