Berani Menulis

Suatu ketika, tiba-tiba saya menerima surat permohonan dari redaktur website TMI untuk menulis di rubrik yang berisi tentang pemikiran, konsep, ide, dan gagasan di website tersebut. Perasaan saya mulai campur aduk, dari bingung, takut, khawatir, kurang percaya diri, dan lain-lain. Jika saya bayangkan, seperti orang yang takut ketinggian dan akan menaiki rollercoaster untuk pertama kalinya. Bukan tanpa alasan, karena dulu saya mempunyai pengalaman yang kurang mengenakkan terkait tulis-menulis. Tentu saja, sejak itu saya lebih ‘aman’ untuk menulis catatan-catatan yang sudah ada. Misalkan, mencatat pelajaran di kelas, mencatat lagu, mencatat nasehat dari para guru dan sebagainya.

Ah iya, tulisan terakhir saya tentang ide ataupun konsep adalah tugas skripsi. 16 tahun yang lalu. Itu pun sudah mati-matian bagi saya yang kurang suka menulis.

Setelah menerima surat undangan itu, saya mulai mencari cara bagaimana agar supaya saya bisa menghindar dan menolak permintaan menulis rubrik. Mulai dari mengulur-ulur waktu, menyiapkan alasan-alasan untuk tidak menulis, sampai dengan merayu suami agar beliau mau mewawancara saya kemudian menuliskannya, dan semua upaya ini, gagal. Jalan di tempat. And I have no idea. Yang ada hanyalah ‘ancaman’ deadline yang makin dekat. Perang batin berkecamuk: “Ayo kamu pasti bisa, cobalah. Ah, kamu ga akan bisa ini rumit, sulit… “

الوقت كالسيف إن لم تقطعه قطعك..

Benar saja, H-2 dari deadline penyetoran tulisan, suami pergi bertugas selama enam hari, meninggalkan saya dengan segala kekacauan hati dan pikiran. Disinilah saya tersadar, ini bukan saatnya lagi mengulur-ulur waktu, mencari-cari alasan dan bukan saatnya lagi bergantung kepada orang lain. Disinilah saya mulai menantang, memberanikan diri dan memantapkan hati untuk menulis, Bismillah.

Deadline makin dekat, maka saya pun memilih judul ini, tashiilan wa tafhiiman li wa lakum, let’s we eat this ‘snack’ slowly.

Sebuah tulisan, tidak akan muncul serta merta tanpa ada pengalaman, perasaan ataupun pemikiran penulisnya. Setiap manusia, selama dia masih hidup, dia akan terus berpikir, mendengar, melihat, merasa, dan berbicara. Maka sejatinya, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak bisa, tidak mampu, tidak mau atau tidak sempat untuk menulis, selama kita masih hidup di dunia ini.

Lalu, apa yang kita tunggu-tunggu lagi? Segera munculkan keberanian untuk menulis! Kapan? mulai sekarang! Dimana? Dimana saja! Tentang apa? Tentang apa saja yang kita lihat, rasa, dengar, dan pikir!

Tidak mudah untuk memunculkan keberanian menulis. Apalagi bagi mereka dan saya yang tidak pernah menulis atau lama memvakumkan diri dari dunia tulis-menulis. Yang kita butuhkan untuk memunculkan keberanian ini adalah stimulus. Stimulus bisa berasal dari luar dan dalam diri kita. Contoh, ketika kita diberi tugas dan kewajiban untuk menulis. Ketika melihat rekan kita yang istiqomah menulis dimana saja dia berada. Maka mau tidak mau kita akan termotivasi untuk menulis. Karena, harus kita sadari bahwa menulis merupakan peluang atau kesempatan kita untuk mengembangkan diri, meningkatkan kualitas diri kita sebagai seorang muslimah. Selain itu, yang akan kita dapatkan adalah kepuasan batin. Jika kepuasan batin kita dapat, kebahagiaan pun bisa kita raih.

Ada banyak kisah tentang para ulama yang sampai akhir hayatnya, beliau terus menulis. Salah satunya adalah Buya Hamka. Beliau merupakan ulama yang produktif. Meskipun beliau tidak sampai mengenyam pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi, beliau tetap bisa melahirkan karya-karyanya. Beliau terus mengasah dan melatih kemampuannya. Sampai akhirnya, beliau masuk ke dalam dunia jurnalis, yang kemudian beliau semakin rajin menulis. Berkat keuletan dan ketelatenannya inilah, banyak karya-karya yang lahir dari jari-jemari beliau, yang bisa kita nikmati hingga saat ini.

Dari Buya Hamka kita bisa ambil pelajaran bahwa, menulis tidak pernah mengenal batas usia, asalkan disana ada kemauan, keberanian, dan mau memulainya. Ketika kita sudah memulainya, maka semoga kegiatan menulis ini menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi kita, dan yang pada akhirnya, menulis itu akan membuat kita candu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.