Puan Guru yang baik,

Usai menelaah bait demi bait kitab Matsnawi karya Jalaluddin Rumi, aku terkesima akan kalimat Rumi yang ditujukan pada Husamuddin yang berbunyi, “Cinta sesungguhnya tak ada hubungannya dengan lima rasa panca indera, melainkan satu-satunya tujuan adalah tertarik pada Sang Tercinta”.

Bersama kabut yang menelungkup di pekarangan rumah, termenung aku memikirkan kalimat Rumi. Ia, bagiku, tak ubahnya sebongkah api membakar diri yang sewaktu-waktu mengingatkan aku, bahwasanya diri ini masih jauh dari kata layak untuk disebut sebagai penghamba.

Namun pagi ini, aku kembali dihantam bab VI kitab Rumi. Tulang belulang melepuh bahkan gugur menjadi abu dalam tungku. Kalimat Rumi seakan petunjuk samar, namun mendalam dan aku tersungkur mengingat peristiwa semalam. Hari di mana aku teramat sedih menyaksikan Timnas U-19 takluk di pertandingan perdana Toulon Tournament.

Puan Guru yang terhormat,

Engkau begitu memaklumi betapa sepak bola, bagiku, adalah cinta bertubi-tubi. Di sana aku merasakan cinta seorang ayah, kasih sayang Mahaguru, utang rasaku padamu, dan itu adalah satu kesatuan dalam hidupku. Aku sendiri pernah menulis akan kita melalui buku yang dihimpun Ustadz Gabriel, atau lewat buku berisi kenangan para alumni merayakan 50 Tahun TMI beberapa waktu lalu.

Tunggu! Tunggu! Apa engkau mulai bosan membaca tulisanku yang selalu mengaitkanmu akan sepak bola? Atau jangan-jangan kau bosan sebab tulisanku kian memburuk?

Hey, jangan tutup gawai dan duduklah dulu! Kali ini, aku memilih 3 kenangan yang berkelindan akan sepak bola dan itu menunjukkan betapa tiap kali aku menyaksikan olahraga itu, maka namamu kusebut dalam altar doa. Karena itulah, dalam esai ini, kutujukan padamu sebuah bangunan bernama kenangan yang apabila dibersihkan dari huruf dan kata, maka bangunan tulisan akan memancarkan laut ketauhidan yang tersengal-sengal dari seorang pendosa macam aku ini.

I/

Bapak dan sepak bola adalah memoar langka tentang riwayat seorang ayah dalam mengenalkan pahit dan getir kehidupan pada anaknya. Dulu, entah usia berapa, pada malam buta, bapak kerap mengendap-endap ke dalam kamar demi membangunkan anak bungsunya menonton sepak bola.

Ia terpaksa memelankan suara musabab takut ketahuan ibu. Bukan apa-apa, tiap siang, aku jarang sekali tidur sebab berhasil meloncat lewat jendela kamar yang tingginya sejengkal di atas kepala, demi mengejar layangan di gumuk belakang rumah sampai ke villa yang tak kunjung selesai.

Sungguh, saat-saat mengintai layangan di langit di mana tangan kanan memegang galah sementara layangan yang berhasil ditangkap aku kalungkan ke belakang badan, lalu aku berlari dan saling berebut sesama kawan adalah saat-saat paling membahagiakan bagiku. Sampai akhirnya ibu menenteng sapu lidi; mengacungkannya padaku; bibirnya merapal amukan; sontak aku terbirit-birit musabab matahari telah menunjukkan petang, pertanda aku mengaji ke surau.

Bapak terpaksa memelankan suara saat membangunkanku, sebab ia tak mau ibu mengelus dada lebih lama lantaran malamnya, sepulang mengaji, aku berhasil mencuri 7 macam makanan yang ibu sajikan bersama dua macam bubur sebagai upaya memberkati anaknya tiap malam kelahiran weton.

“Astaga, tak tahukah kau kalau makanan itu tak boleh kau sentuh? Duh, Gusti, rasa-rasanya kian hari anak ini kian bebal.”

Aku cekikikan sembari mengunyah makanan terakhir, sementara bapak senyum-senyum melihat ibu mengomel tiap malam weton kelahiranku. Kau tahu, Guru, tiap hari wetonku tiba, ibu kerap puasa, membuat bubur yang ditemani damar yang kapuknya ditaruh dalam buah kecubung, dan menyiapkan 7 macam makanan yang itu tak boleh aku makan, tetapi selalu berhasil aku ambil.

Karenanya, bapak selalu berkompromi dengan cara memelankan suara agar tak ketahuan ibu. Malam-malam kami duduk di depan tivi menyaksikan permainan bola kaki. Berdua kami bertaruh klub mana yang menang. Bapak yang notabene lebih memahami seluk-beluk sepak bola, selalu menyodorkan klub yang sekiranya aku kalah, sementara ia menjagokan tim yang berpotensi menang.

Saat pertandingan berakhir, seringkali hasilnya mengecewakan. Bapak terbahak-bahak melihat mimik mukaku yang cemberut. Kendati begitu, ia tak butuh waktu lama agar aku kian semangat menonton sepak bola.

“Tak usah khawatir. Masih ada hari esok dan bisa jadi timmu yang menang.”

Begitulah mantra yang diucapkan bapak berulang-ulang sampai-sampai menjadi candu tiap malam. Hingga akhirnya, pembelaan bapak datang saat Piala Dunia 2002. Aku kelas 3 SD waktu itu. Bapak meminta ibu agar memberi izin anaknya menonton. Semula ibu keberatan. Sangat keberatan. Akan tetapi, bapak terus mencari celah dengan memberi pengertian jika Piala Dunia tak berlangsung tiap tahun. Ibarat tangga surga, maka Piala Dunia adalah puncaknya sepak bola. Entah ibu yang sedang berbaik hati, atau tak tega melihat anaknya diam mematung menunggu izin, akhirnya luluh jua.

Sontak aku melonjak girang, dan kegiranganku kian bertambah manakala tim yang kujagokan menjadi juara. Sejak awal pembukaan, aku memang menjagokan Timnas Brasil, dan mereka memenangkannya. Mantra bapak terbukti benar. Ratusan hari ditempa menerima kekalahan, akhirnya menang jua.

Guru, meski tim yang kudukung menjadi pemuncak pertandingan, kebahagiaanku belum sempurna musabab aku menginginkan Timnas Indonesia bertanding. Bapak mesem-mesem menjelaskan padaku jika permainan Timnas belum membaik. Ia sodorkan beberapa contoh pertandingan di mana Indonesia kalah telak saat berhadapan dengan negara lain.

Sejak itu, sebelum tidur, aku membayangkan Timnas bertanding di tingkat kejuaraan dunia. Meski aku sadar, mimpi ini kadang terasa menyakitkan sebagaimana usai Piala Dunia 2002, aku dipanggil wali kelas sebab nilai raportku menurun drastis. Beliau bertanya gerangan apa penyebabnya, aku jawab secara jujur kalau aku tak belajar saat ujian lantaran menonton Piala Dunia, dan beliau menggeleng kepala tak percaya.

II/

Wahai Putri Mahaguru,

Benarkah kau tak bosan membaca esaiku ini? Atau engkau bertanya-tanya kapan tulisanku berakhir? Atau kau justru muak mendapati bualanku yang tak mahir? Ah, lihatlah! Betapa pikiranku bergelut hanya musabab khawatir akan keadaanmu kala membaca tulisanku. Aku begitu takut engkau bosan; aku takut engkau enggan; aku takut engkau mengecam; aku takut, takut dan takut akan hal-hal yang tak sepatutnya aku takutkan, bukan? Lihatlah, betapa diriku begitu bodoh jika menyangkut tulisan yang kuperuntukkan untukmu padahal aku tak sedang berhadapan denganmu.

Karenanya, bersabarlah sebentar. Beri aku beberapa menit menyelesaikan tulisan. Aku janji tak akan menyakitimu dengan membaca tulisanku yang kian buruk. Berdiamlah sejenak di situ. Jangan pergi sebab aku ingin menceritakan padamu terkait perjalananku mencintai sepak bola selama di pesantren. Semoga engkau betah meneruskan bacaan, sebagaimana engkau setia selama ratusan purnama mendengar bualanku di WhatsApp pada malam-malam.

Begini, saat pertama kali memasuki ruang bernama pesantren, aku memutuskan berkawan dengan Pak Sukar. Bagiku, berteman dengan beliau tak ubahnya berkawan dengan sepak bola. Ia yang tiap pagi menjadi loper koran sementara malam hari bak pendekar menjaga keamanan kompleks santriwati, adalah tempat persinggahan paling menenangkan.

Kerap uang jajan dari orangtua, aku belikan koran bola. Ini adalah upaya agar aku kerasan di pesantren. Ah, engkau tahu sendiri kalau aku dipaksa menyantri dan sebelum mondok, kakakku berkata kalau di pondok ada sepak bola dan pencak silat. Sialnya, aku tak teliti. Aku tak bertanya apakah hiburan itu ada di putri atau tidak.

Karenanya, Guru, koran bola adalah cara bertahan yang paling memungkinkan. Tentu pertama-tama langkah yang aku pilih ini tak berjalan mulus. Pengurus menyita majalah dan tak mengembalikannya padaku. Aku tak patah arang. Selanjutnya, koran itu aku bungkus dengan sampul kado agar dikira buku paket pelajaran dan ternyata tak ketahuan.

Aku sangka, koran bola telah cukup menemani. Nyatanya, aku keliru. Gejolak dalam jiwa kian memburu manakala aku menginjak kelas 3 Intensif. Sekuat apa aku menghantam keinginan, ia terus menerjang hingga tubuhku terbengkalai. Akhirnya, aku meminta pada Ustadzah Luthfa selaku Kesantrian Aliyah agar memberiku izin. Beliau berjanji akan bertanya pada mudir. Sayangnya, pada malam yang dijanjikan di mana aku dan beberapa kawan telah siap dengan berbungkus-bungkus kacang, terpaksa menelan pahitnya kenyataan. Malam itu, aku mengutuk malam yang tak adil, dan keesokan hari, aku dipanggil Nyai Muth selaku wali shof 3 Intensif agar aku bisa berdamai dengan takdir.

O, ya, Guru. Hampir aku lupa menceritakannya padamu. Engkau dapat salam dari kenanganku manakala mendapati anak-anak kecil berlarian menggiring bola di bawah kaki Gunung Raung. Bola yang mereka sepak mengingatkanku akan masa di pesantren di mana kaki ini beradu dengan sesama kawan atau bahkan kakak tingkat. Pernah pada satu Rabu di mana pertandingan bola Dinatri diperebutkan antara angkatanku dan kelas V, aku tak sengaja ‘menyentuh’ kaki senior. Entah lengser atau bagaimana,  ia tak lagi mampu berjalan padahal masa PKM.

III/

Ingatkah engkau saat pertama kali mengajar di kelas? Atau setidak-tidaknya, keadaan murid-muridmu di dalam sana? Ah, tak apa kalau kau kesulitan membayangkan. Tetapi, perkenankan aku menceritakan padamu bahwasannya engkau mengajar Ilmu Jiwa di kelasku, di kelas V IPS-I 1 pada jam terakhir. Pada jam-jam yang rawan mendengkur, tetapi tak sekali pun aku tertidur saat engkau mengajar.

Saat itu, riuh dalam tubuhku tak sanggup kutenangkan lagi. Aku tak lagi mampu membendung keinginan untuk melihat Indonesia di final Piala AFF 2010. Tak cukup rasanya membaca ulasan jurnalis tentang Irfan Bachdim di koran. Tak cukup rasanya melihat hasil pertandingan.

Tak adil rasanya mendengar sorak sorai santri putra, entah santri TMI atau Mahasiswa IDIA. Tak adil rasanya mendapati para ustadzah teriak-teriak tak keruan di diwan menyaksikan pertandingan, sementara aku macam pesakitan yang sekarat di atas dipan. Karenanya, hari itu, aku memberanikan diri mengacungkan tangan padamu. Memohon dengan satu keikhlasan, apakah aku bisa melihat pertandingan final.

Engkau pun meminta waktu untuk mengutarakannya pada Mahaguru. Gemetar aku menunggu sepekan akan kabar itu. Tertunduk aku dalam bayang senja dari tepi Geserna tiap kali membayangkan hasilnya. Sampai akhirnya, siang itu, kau membuatku timbul tenggelam menunggu kepastian dan kau pun berkata, kalau Mahaguru mengangguk setuju.

Malam itu boleh jadi menjelma sebagai malam paling bersejarah bagiku selama menyantri. Malam itu boleh jadi adalah malam teristimewa untukku sebab berhasil menonton sepak bola di musholla. Karenanya, menjelang akhir tulisan ini, aku ingin mengutarakan padamu bahwa sesungguhnya kau tak sekadar menjadi perantara antara sepak bola dengan Mahaguru, melainkan kau juga memberiku cinta yang tulus akan kemahaluasan hidup.

Puan Guru yang aku ta’dzimi

Begitulah 3 hal tentang sepak bola yang kuhamparkan sebagai kenangan akan kita. Tentu tak ada kebahagiaan paling sempurna selain mendapati Timnas terus membaik hingga akhirnya menembus Piala Dunia, dan aku mengingatmu sebagai perjalananku mencintai sepak bola.

Bagiku, mencintai sepak bola tak ubahnya mencintai penderitaan. Bapak mengajarkan aku untuk mencintai kekalahan sekaligus memupuk harapan akan hari esok. Dulu, aku kira, itu hanya berlaku untuk sepak bola saja. Tapi kini aku sadar, jika almarhum bapak sesungguhnya mengajariku untuk mencintai kekalahan, sakit, perih, bahkan luka, seperih apa sembilu itu menusuk.

Terkait cinta menurut Jalaluddin Rumi di pembuka tadi, engkau tahu kalau di dunia ini hanya ada satu Rumi dan satu gurunya yakni Syams At-Tabrizi. Kendati begitu, meski aku bukan Jalaluddin Rumi yang mampu mengejewantahkan cintanya terhadap Tabrizi menjadi cinta Ilahi hingga melahirkan semesta puisi, aku ingin menutup tulisanku untukmu dengan satu bait yang barangkali tak layak disebut puisi. Tapi percayalah, kalimat ini aku tulis dari hasil pengembaraanku bertahun-tahun, menziarahi ngarai demi ngarai kelamnya hidup, melintasi kecuraman tebing wacana demi mencari seorang ‘Syams At-Tabrizi’ untukku, dan pada akhirnya kutemukan itu pada dirimu.

“Guru, aku ingin ta’dzim dan cintaku padamu terwujud lewat bahasa, bukan dengan kata-kata. Sebab tak ada kata-kata yang sanggup untuk mengungkapkannya. Tetapi lewat bahasa, meski kita tak bertatap muka, maka engkau bisa merasakan kehadiranku lewat bahasa udara Madura. Atau ketika kita berjumpa, namun aku tak berujar sepatah kata, setidaknya kau temukan bahasa cinta yang bicara dari sorot mataku di sana.”

Salam hangat dari muridmu yang bebal

Nurillah Achmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.