Sekitar tiga tahun belakangan ini saya kerap kali dibingungkan oleh beberapa hal berkaitan dengan dunia kepenulisan. Seperti membedakan kata yang berbahasa tulisan atau lisan hingga jumlah kata yang ideal untuk sebuah karya tulis, terutama bagi karya tulis bernama cerita pendek yang para aktivisnya lebih akrab menyebutnya dengan akronim cerpen.

Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa khusus untuk karya prosa yang satu ini, saya sudah mulai menggelutinya sejak duduk di bangku 1 Mts di TMI, tahun 2012 silam. Saya tidak ingat persis di bulan atau tanggal berapanya. Yang saya ingat persis bahwa judul cerpen pertama yang saya tulis adalah “Ibu Pergi ke Amerika”. Sebuah cerita yang berangkat dari keinginan saya menceritakan sekilas tentang perjalan jauh pertama saya: mendaftar nyantri di pondok ini. Mengenai karya prosa yang satu ini, saya—yang ketika itu masih belum mengenal cerpen dan bagaimana bercerita—menceritakan semuanya dengan sangat gamblang: mulai dari rasa kesal karena keputusan—mondok—ini diputuskan tanpa melibatkan saya, hingga keberangkatan yang tanpa didampingi kedua orang tua.

Tentu maksud saya bukan untuk mengulas apalagi menceritakannya ulang di sini. Melainkan, bahwa minat saya di dunia kepenulisan bernada prosa ini ternyata sudah tumbuh sejak saya duduk di kelas 1 Mts. Mengenai perkenalana saya dengan dunia “cerpen”, saya ingat betul kata itu pertama kali saya dengar justru ketika satu karya “Cerpen” ini telah selesai dituliskan. Dan itu tulisan pertama saya yang sangat panjang: delapan halaman! Entah apa yang melatarbelakangi semangat menulis saya saat itu, selain saya benar-benar ingin menceritakan ‘kisah nyata’ kekecewaan dan perjalanan pertama saya yang sangat jauh: tiga hari tiga malam! Ah, lagi-lagi saya tenggelam dalam kenangan pertama menulis ‘cerpen’ itu.

Mengapa saya namai cerpen? Sejak kapan saya mengenal akronim ini? Jawabannya sederhana: saat itu—beberapa hari setelah tuntas menulis “Ibu Pergi ke Amerika”—saya sedang tercenung di pagar beton yang berdiri kokoh di lantai dua Gd. Al-Iftikhor I. Tiba-tiba saja salah satu fasilitator rayon tersebut menghampiri saya seraya berucap lirih, “Zis, buat buletin yuk!” Sontak lamunan saya terpecahkan. Seketika saya pun menjawab: “Apa itu, Lim[1]?”

“Sudah, pokoknya kamu nulis aja. Cerita apa saja. Nanti, di buletin kamu khusus nulis cerita pendek,” imbuhnya.

“Oh, cerita, ya? Seberapa panjang?” tanya saya.

“Bebas. Yang penting kamu bercerita,”

“Oh, kalau gitu saya sudah punya satu cerita!” jawab saya dengan bangga tanpa perhitungan: menarikkah? Terlalu banyak-kah? tidak malukah saya meceritakan realita hidup saya?

Seketika fasilitator rayon saya ini meraih buku catatan itu, sambil berdecak senang melihat ajakannya mendapat respon baik. “Wah! Ini cerpen namanya. Bagus!” tuturnya kemudian, tanpa saya tanyakan apalagi tahu apa yang dimaksudnya “cerpen” itu. Singkat cerita, dalam satu pekan buletin itu sudah terbit. Rupanya, selain karya cerita saya juga terdapat beberapa jenis tulisan di sana: ada puisi, pantun, hingga tulisan lelucon sekalipun.

Setelah digandakan menjadi beberapa eksemplar saya pun mendapat tugas untuk membagikannya: dua untuk masing-masing marhalah, satu untuk masing-masing mudir, dan beberapa untuk pengurus dan koordinator harian santri seperti DPP dan DPS. Begitulah yang diarahkan oleh fasilitator rayon saya itu.

Singkat cerita, setelah terbitan pertama buletin kami itu, saya kemudian mengklaim diri sebagai “Penulis Cerpen” yang belakangan saya kemudian mengenal istilah cerpenis. Entah atas dasar apa—mungkin karena saya mulai keranjingan menulis cerita. Tapi apapun itu alasannya, hingga saat ini saya masih tetap menulis cerpen itu. Mulai dari cerpen yang secara main-main saya tulis hingga yang secara serius saya garap: entah karena akan diterbitkan di buletin atau karena akan diikutkan lomba. Dari cerpen yang ‘hanya’ bercerita hingga cerpen yang ‘benar-benar’ bercerita.

‘Benar-benar’ bercerita menurut Guru Besar Bahasa Indonesia yang sekaligus guru cerpen terbaik saya adalah: 1) bercerita dengan runtut dalam artian memiliki keterkaitan yang erat antara satu paragraf dengan paragraf lainnya, 2) menyisipkan pesan yang simbolik dalam sebuah alur  cerita sehingga tidak terkesan ‘menggurui pembaca’, dan 3) seorang pencerita harus bisa menjadi seorang yang berjiwa ayah jika tokoh utama cerita mengangkat peran seorang ayah, menjadi seorang ibu ketika ketika tokoh utama cerita yang diangkat adalah seorang ibu, dan seterusnya, hingga perlunya memperhatikan penggunaan dan peletakan tanda baca dan pemilihan diksi yang pas.

Namun di samping itu semua, yang menjadi kebingungan saya—sebagai penulis cerpen—saat ini ialah jumlah kata ideal yang harus diperhatikan seorang penulis cerpen. Sebagai seorang penulis yang pada awalnya tidak pernah terbebani oleh unsur kuantitas ini, saya tidak pernah ambil pusing: berapapun jumlah kata yang nantinya akan terhitung setelah saya menuliskan sebuah cerpen, yang terpenting saya menulis.

Namun akhirnya, setelah perenungan yang cukup singkat saya pun memutuskan untuk turut mempertimbangkan kriteria yang satu ini. Mengingat sebagai manusia apalagi mengaku penulis saya mesti terbuka untuk semua jenis masukan dan kritikan dari luar. Karenanya, saya akan lebih berkembang tentu, selain kemudian saya menemukan ruang yang tepat untuk berdiskusi hingga mengapresiasi karya-karya kelahiran saya ini.

Bagi seorang penulis, tentu ruang diskusi dan apresiasi sangat dibutuhkan. Selain sebagai wadah koreksi, ruang diskusi dan apresiasi juga bisa menjadi semacam support system untuk perkembangan diri atau bahkan—jika sudah ‘dianggap’ sebagai penulis, tentu kita akan memiliki beban dan kewajiban moral untuk meregenerasikannya. Mengingat tak akan selamanya kita nulis apalagi hidup. Harus ada generasi berikutnya. Maka saya pun memutuskan untuk memikirkan unsur kuantitas ini.

Beberapa pekan lalu ketika di antero almamater kita sedang gencarnya membumikan literasi, sekadar refleksi diri saya kemudian kembali membuka beberapa folder laptop yang masih menyimpan dengan rapi karya-karya lama saya. Kalau tidak salah, karya mutakhir saya yang ada sekitaran awal Januari 2021.

Usai mengedit beberapa diksi yang kurang tepat dan typo hingga memeriksa beberapa susunan kalimat yang terlihat absurd pada beberapa karya mutakhir tersebut, saya pun coba memberanikan diri meminta koreksi kepada beberapa alumni senior yang namanya sudah naik daun di kancah nasional yang sudah berhasil masuk deretan sastrawan mashur. Salah satu dintaranya iala, pengarang cerpen bernama Nurillah Ahmad, yang sudah dalam tiga kali terbitan ini karyanya terpilih untuk terbit di koran Jawa Pos.

Sambil lalu menunggu hasil koreksi, saya pun membaca beberapa cerpen penulis kenamaan yang pernah dimuat Jawa Pos, di rak-rak kliping pribadi saya. Ada sekitar lima belas cerpen. Namun dari sekian benyaknya arsip itu, hanya enam saja yang sudah selesai saya baca karena hasil koreksi senior saya sudah terkirim kembali di surel.

Saya pun membuka pesan email tersebut dan langsung saja melihat hasil koreksiannya. Alhamdulillah, rupanya tulisan saya itu tidak terlalu buruk. Terlihat dari hasil koreksiannya yang sedikit. Namun tiba-tiba saya tercekat ketika melihat salah satu catatan beliau yang bunyinya seperti ini:

“… cerpen di Jawa Pos, itu termasuk cerpen yang menerima tulisan panjang dan itupun sekitar 1.700 kata. Selain JP, umumnya media menyukai panjang cerpen sekitar 1200-1500 kata…”

Saat membaca catatan ini, sesaat saya tercenung tentang maksud saya mengirimkan cerpen untuk dikoreksi. Semula hanya berniat untuk dikoreksi, eh malah muncul kata-kata “jika ingin dikirim ke media…” maka saya pun tertegun dan sebentar kemudian muncul ide untuk nulis agar bisa dikirim ke media. Maka kemudian saya membolak-balik beberapa arsip kliping cerpen itu: mencari pembenaran tentang jumlah kata yang ideal untuk diterima media. Ternyata benar adanya: untuk cerpen Jawa Pos harus terdiri dari 1.700 kata. Saya pun kemudian membuka file hasil koreksian itu dan melihat ternyata jumlah kata yang saya gunakan terlampau jauh: 2596 kata! Saya tercengang melihatnya.

Menindaklanjuti hal demikian, pengoreksi karya saya itu kemudian memberikan saran untuk mengendapkan karya tersebut selama lima hari untuk kemudian dibuka dan diperbarui lagi setelah proses endapan tersebut berakhir. Saya kemudian menutup file cerpen  itu, tanpa setitikpun terniat untuk membukanya lima hari kemudian. Karena bagi saya, untuk melakukan pemangkasan tersebut cukup memberatkan: saya harus memotong sekain ratus bahkan ribuan kata.

Usai ‘tragedi’ tersebut, saya kemudian belum punya niatan untuk menulis kembali. Sedangkan untuk stok koreksian, saya masih memiliki sekitar tiga cerpen mutakhir yang belum saya koreksikan. Saya pun kembali mengirimkannya kepada orang yang sama untuk mendapatkan koreksian. Sebelum saya kirim, saya cek terlebih dahulu jumlah kata masing-masing karya itu: tidak ada satupun yang berhasil mencapai jumlah 1.700 kata; ada yang 1.282 hingga 1.663.

Seraya menunggu hasil koreksian selesai, untuk mengisi kekosongan saya kemudian membaca beberapa buku yang membahas tentang sastra dan jurus jitu menulis cerpen yang baik. Dua di antara buku tersebut ialah “Creative Writing: Jurus Menulis Cerita Pendek” (Dra. Naning Pranoto, Kultura: 2007) dan “Maklumat Sastra Profetik” (Kuntowijoyo, Divapress: 2019).

Ketika membaca kedunya, pembacaan saya kemudian sama-sama terhenti ketika didapati salah satu halaman dari kedua buku ini membahas secara gamblang tentang jumlah kata dalam sebuah cerpen: jika Kuntowijoyo mengisyaratkan instruksinya dengan karya cerpennya yang mencapai dua puluh halaman—yang menurut hemat penulis bisa mencapai ribuan bahkan puluhan ribu kata—sedangkan buku “Creative Writing” tertulis dengan gamblang, bahwa salah satu kriteria cerpen ideal adalah cerpen yang terdiri dari 3.000 atau 4.000 kata. Adapaun kriteria yang lebih sedikit: 750 s.d 1.000 kata. Itu pun hanya diperuntukkan bagi karya prosa bernama cerita sangat pendek (very short-short story).

Saya kemudian tercenung dan sedikit tergelitik dengan perselisihan jumlah-jumlah ini. Tetapi bagaimanapun, saya tetap tidak bermaksud ingin membentrokkan diantara ketiga perbedaan ini: cerpen Kuntowijoyo, buku “Creative Writing”, dan standar penulisn cerpen Jawa Pos.

Tentu masing-masing mereka memiliki alasan tersendiri untuk mencantumkan standar mana yang menurut mereka sesuai. Namun jika boleh berpendapat, bahwa jumlah kata tidak mesti ditentukan sebagai standar yang pasti bagi sebuah karya bernama cerpen. Selama unsur ‘terlalu banyak’ atau ‘terlalu sedikit’ itu tidak mencuat di dalamnya, saya kira sudah cukup mewakili kriteria jumlah penulisan cerpen yang ideal. Namun yang terpenting dari itu semua—sebagaimana diungkapkan oleh Naning Pranoto—bahwa penulis tak henti-hentinya untuk mengingatkan siapapun, termasuk Anda yang sedang membaca karya ini, bisa menulis cerpen. Yang terpenting, Anda punya keberanian untuk memulainya sekarang juga. Buanglah rasa malu dan berhentilah meragukan kemampuan diri sendiri, apalagi sampai tenggelam dalam perselisihan jumlah-jumlah. Beranilah untuk mencoba, maka Anda akan merasakan nikmat hasilnya.

Setelah saya tercekat pada halaman-halaman dua buku yang saya baca itu, notifikasi email pun berdering di ponsel saya: koreksian telah dikembalikan. Selain mengembalikan koreksian, pengoreksi kembali memberikan catatan kecil berupa peringatan bahwa Jawa Pos hanya menerima karya cerpen yang panjangnya 1.700 kata. Ya, peringatan untuk kedua kalinya. Dua hari setelah datangnya notifikasi balasan itu, saya kemudian berhasil kembali menuntaskan satu karya cerpen dengan judul “Di Bawah Pohon Beringin” yang panjang katanya mencapai angka 1.700 (termasuk di dalamnya hitungan kata untuk judul beserta nama tempat dan tanggal saya menulis. Cerpen perdana di tahun 2022 yang tepat saya selesaikan ketika terbaring sakit) Eh, rupanya catatan ini pun 1.700 jumlah katanya!


[1] Sapaan formal untuk para pengurus organisasi, asal kata “Mu’allim”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.