Berawal dari Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan pondasi utama bagi seorang muslim, untuk memahami ajaran-ajaran Islam secara kafah. Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak sekali pedoman hidup, yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat tuntunan ibadah, maupun ibarah. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an, selalu memiliki relevansi bagi kehidupan. Sehingga, bukan sesuatu yang berlebihan, jika kemampuan membaca Al-Qur’an (mengaji), merupakan hal penting, bagi seorang calon santri.
Tidak semua calon santri yang mendaftar masuk ke TMI Al-Amien Prenduan, lancar mengaji Al-Qur’an. Menyadari fakta tersebut, maka kemampuan mengaji Al-Qur’an, perlu mendapat perhatian serius dalam fase awal calon santri. Supaya, setelah menjadi seorang santri dapat menempatkan diri dalam persoalan ibadah, baik yang bersifat ritual (sholat, puasa, haji), maupun yang bersifat gradual, seperti rutinitas-rutinitas membaca doa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam ibadah sholat dan haji, misalnya. Penggunaan bahasa selain bahasa Al-Qur’an, yakni bahasa Arab, menjadi sesuatu yang menyebabkan tidak sahnya ibadah tersebut. Dari sini dapat kita pahami bahwa kemampuan membaca Al-Qur’an, bagi seseorang yang akan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam, merupakan prioritas pertama dan utama yang harus dipenuhi. Ibnu Khaldun menegaskan, bahwa pengajaran Al-Qur’an merupakan pondasi utama bagi sebuah disiplin ilmu, dan merupakan amal taqarrub yang paling baik dan mulia.
Mengapa Syu’bah Jadi Prioritas?
Di lembaga TMI Al-Amien Prenduan, terhitung sejak tahun ajaran 2021-2022, kemampuan mengaji merupakan sebuah syarat yang bersifat prioritas, yang harus ditempuh setiap santri untuk lulus dari kelas Syu’bah (persiapan). Dengan demikian, hal tersebut perlu mendapat dukungan dari seluruh civitas akademisi di lembaga TMI Al-Amien Prenduan, khususnya di Marhalah Tsanawiyah.
Prioritas menempatkan santri Syu’bah, untuk bisa mengaji Al-Qur’an bukan tanpa sebab. Selama ini, munculnya isu-isu negatif tentang minimnya keterampilan santri dalam mengaji Al-Qur’an dengan baik dan benar, menyeruak di masyarakat. Efek jangka panjang, ketika santri telah sampai pada masa dimana dia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, dapat menjauhkan santri dari fakta, bahwa ternyata masih ada—walau sebagian kecil—dari alumni TMI Al-Amien Prenduan, yang masih belum mumpuni dalam urusan mengaji Al-Qur’an ini.
Adapun efek jangka pendek, yang menjadi salah satu alasan diberlakukannya syarat prioritas tersebut, adalah menghindari kegagapan dalam mengaji Al-Qur’an. Efek tersebut akan sangat dirasakan oleh santri yang bersangkutan. Selain itu, guru pengajar bidang tertentu, akan ikut merasakan efek tersebut. Misalnya, santri yang berkesempatan untuk belajar di tingkat yang lebih tinggi, sementara belum cukup mumpuni dalam hal mengaji, maka secara tidak langsung ia akan merasa kesulitan memahami beberapa materi pelajaran. Terlebih pelajaran-pelajaran yang menggunakan bahasa Arab, sebagai kata pengantarnya.
Dampak lain, minimnya kemampuan mengaji Al-Qur’an akan menghambat seorang santri untuk mendalami lagi pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Sebab sumber utama dalam mengkaji ajaran-ajaran agama Islam, justru merupakan sesuatu yang tidak ia kuasai dengan baik, yakni Al-Qur’an itu sendiri. Sungguh sayang sekali.
Para pendidik di lembaga TMI Al-Amien Prenduan, tidak hanya menetapkan kemampuan mengaji sebagai syarat prioritas bagi seluruh santri baru. Mereka juga memberikan bimbingan intensif untuk para santri yang sama sekali belum memiliki kemampuan dasar mengaji, atau mereka yang pernah belajar mengaji, namun dianggap masih membutuhkan perbaikan-perbaikan.
Adapun salah satu upaya yang dilakukan untuk memfasilitasi peningkatan kemampuan mengaji adalah menambah jumlah jam pelajaran untuk materi Tilawah, serta diberlakukannya sistem sorogan bagi mereka yang belum dinyatakan lulus dari kelas persiapan. Sistem sorogan ini dilakukan kepada guru-guru yang telah ditunjuk. Perkembangan kemampuan itu dipantau dengan laporan dalam bentuk buku setoran mengaji. Harapannya tidak lain adalah agar masing-masing santri termotivasi untuk terus memperbaiki kualitas dan kemampuannya dalam membaca al-Quran, dengan bukti setoran yang tercantum dalam buku catatan tersebut.
Mengingat bahwa penilaian terhadap kemampuan membaca Al-Qur’an tidak bisa dilakukan secara subyektif, maka dibutuhkan beberapa indikator penilaian, di antaranya, pertama, kelancaran dan tartil. Lancar dapat diartikan tidak tersendat sendat, cepat dan fasih dalam pengucapannya. Sedang tartil sendiri dapat diartikan membaguskan penyusunannya sehingga jelas dan memiliki tempo bacaan yang tepat serta berintonasi.
Kedua, kesesuaian pelafalan huruf sesuai makhrajnya. Indikator ini menjadi penting, untuk menghindarkan para pembaca Al-Qur’an dari kesalahan makna, karena tidak tepat dalam melafalkan huruf. Ketiga, ketepatan membaca Al-Qur’an sesuai tajwid.
Ketiga indikator tersebut, harus terpenuhi secara bertahap, agar dapat diserap dengan baik oleh para calon santri, untuk dapat mengaji Al-Qur’an dengan baik. Jadi, wajar, jika mengaji Al-Qur’an itu menjadi prioritas bagi calon santri di kelas Syu’bah. Ini penting!