Menurut saya, salah satu kriteria guru yang baik itu adalah guru yang muridnya bisa dengan bangga mencantumkan nama sang guru dalam curriculum vitae pribadinya. “Pernah nyantri di Pondok A di bawah asuhan Kiai B”, kira-kira begitu. Ya, itu mungkin sedikit simplifistik. Lagi pula, tidak semuanya demikian, karena ada juga—seperti yang akan saya ceritakan nanti—murid yang menyembunyikan atau menyamarkan hubungannya dengan sang guru justru demi menghormati dan memuliakannya. Atau boleh jadi ada murid yang mencantumkan nama sang guru bukan karena perasaan berutang di hati, tapi sekedar untuk mendompleng popularitasnya. Maka, kalau hendak dipertajam lagi, saya bisa bilang bahwa guru yang hebat itu adalah ia yang “hebat” di hati murid-muridnya, meski mungkin tidak terlihat demikian di mata orang lain.
Dalam literatur-literatur tasawuf dan akhlak, terdapat sebuah cerita yang populer. Cerita ini seringkali dikutip untuk menegaskan sikap ideal seorang murid terhadap gurunya. Tetapi, bagi saya, ia juga ilustrasi tentang kesan yang bisa ditimbulkan oleh seorang guru di hati muridnya.
Alkisah, seorang murid sedang menyapu di halaman madrasah tempat ia belajar. Entah dari mana, tiba-tiba seorang lelaki tua berdiri di pintu madrasah. Berdiri begitu saja, menatap dan mengawasi sang murid yang sedang menyapu. Sang murid bukannya tidak menyadari kehadiran lelaki tua itu. Tapi tidak sedikit pun ia menoleh. Barangkali karena penasaran, lelaki tua tadi lantas memulai percakapan. Ia bertanya, “Tidak tahukah engkau siapa aku?”
“Aku tahu,” jawab sang murid, tetap tanpa menoleh. “Engkau adalah Abū al-ʿAbbās al-Khadhir.”
Al-Khadhir yang dimaksud oleh sang murid adalah sosok sentral dalam dunia tasawuf, terutama menyangkut keyakinan para sufi tentang superioritas metode supra-rasional dalam mencari ilmu dan meraih kebenaran. Kita mengenalnya dengan Nabi Khidir. Para mufasir dan ulama meyakini bahwa beliaulah “hamba Allah” yang menjadi guru Nabi Musa sebagaimana dikisahkan dalam surah al-Kahfi.
Mendengar jawaban sang murid yang ternyata mengenal beliau dengan baik, Nabi Khidir lanjut bertanya, “Tidak inginkah engkau meminta sesuatu dariku?”
Sambil tetap tidak peduli, sang murid menjawab, “Tidak. Guruku sudah mencukupi semua kebutuhanku sehingga aku tidak lagi memerlukan apapun darimu.”
Saya tidak tahu yang mana yang lebih beruntung: guru yang punya murid seberbakti itu ataukah murid yang punya guru yang dianggapnya lebih penting dibandingkan Nabi Khidir tersebut. Yang saya tahu kekaguman itu bisa menular. Atau bisa membuat kita menerima sesuatu sebagai kebenaran yang nyaris aksiomatis. Saat seseorang yang kita kagumi mengagumi orang lain, kita merasa tidak perlu bersusah payah mencari bukti untuk meyakini bahwa orang kedua ini pun layak kita kagumi.
Saya punya cerita pribadi tentang hal tersebut. Saat duduk di kelas VI TMI dulu, saya pernah bertanya kepada Aba tentang orang yang paling beliau kagumi. Momennya adalah prosesi pergantian pengurus organisasi santri. Saya di ambang turun jabatan dari Ketua FISTA (Forum Ilmiah-Amaliah Santri TMI Al-Amien), sebuah organisasi santri selain ISMI waktu itu. Kami, para pengurus FISTA, berniat memberikan kenang-kenangan kepada para kiai, berupa lukisan. Lukisan wajah tokoh idola. Untuk itu, kami perlu bertanya kepada para kiai tentang siapa tokoh yang mereka kagumi. Saya kebagian tugas bertanya kepada Aba.
Aba menjawab pertanyaan saya dengan lirih. “Aba ga punya guru lain, Zi,” jawab beliau. “Aba hanya punya satu guru: Pak Zar.”
Jawaban itu sebetulnya bukan tidak terprediksi. Tetapi tetap saja, saya tersentak mendengarnya. Mungkin bukan karena nama yang beliau sebut, namun lebih karena intonasi dan pilihan katanya. Saya mengenang momen itu dengan takzim, setakzim saya kemudian kepada orang yang namanya beliau sebut. Pak Zar, Kiai Imam Zarkasyi, guru beliau di Gontor. Tentu tidak perlu saya jelaskan bahwa selain Pak Zar, Aba punya banyak guru yang lain, guru-guru yang saya yakin juga beliau kagumi dan hormati.
Cerita tentang Aba dan Pak Zar itu, kita tahu, tidaklah unik. Cerita yang mirip bertebaran di mana-mana—dituturkan, diperdengarkan, atau ditulis di berbagai media. Salah satu yang saya suka, misalnya, adalah Lathāʾif al-Minan, sebuah buku yang ditulis oleh Ibn ʿAthāʾillāh al-Sakandarī untuk mengenang dan mengabadikan gurunya, Abū al-ʿAbbās al-Mursī, dan gurunya lagi, Abū al-Ḥasan al-Syādzilī. Tetapi kisah tentang Aba dan Pak Zar itu menjadi spesial bagi saya, mungkin juga bagi beberapa orang lain, lantaran sebab yang khusus. Mengetahui bahwa guru yang kita kagumi ternyata juga mengagumi gurunya menciptakan sejenis keintiman, bahwa kita—dalam kekaguman yang kita punya—ternyata tidak sendirian, bahwa guru kita ternyata berbagi perasaan yang sama kepada gurunya, bahwa kita pada akhirnya menemukan ekspresi yang lebih gamblang untuk perasaan yang boleh jadi tidak selalu mudah untuk kita tuturkan.
Seperti yang saya bilang di atas, rasa kagum, rasa hormat, atau rasa berutang kepada guru itu kadang-kadang tidak mudah diartikulasikan secara terbuka. Saya pernah menemani seorang alumnus menghadap Aba. Kami mengobrol santai malam itu. Seingat saya, hanya kami bertiga. Atau berempat dengan seorang kawan yang lain. Lalu, di tengah perbincangan, alumnus tersebut bilang begini. “Ustadz, saya biasa mencantumkan nama antum sebagai guru saya dalam setiap tulisan yang saya publikasikan. Tetapi, belakangan, saya merasa bahwa hal itu, dalam satu dan lain hal, membebani atau mungkin menempatkan antum pada posisi yang sulit. Bagaimana menurut antum?Apa sebaiknya saya tidak lagi mencantumkan nama antum dalam tulisan-tulisan saya berikutnya?”
Redaksinya tentu tidak sepersis itu. Tapi rasanya tidak terlalu jauh. Aba memang biasa dipanggil “Ustadz” oleh para alumnus senior. Sedangkan pilihan-pilihan kata yang lain sebagian besarnya adalah hasil reka-ulang saya sendiri. Lalu, bagaimana tanggapan Aba? Saya tidak akan menceritakannya di sini. Poin saya adalah bahwa kekaguman, penghormatan, dan ikatan kita kepada guru-guru kita bisa mengambil artikulasi yang beragam, termasuk yang kelihatannya bertentangan. Entah benar atau salah, saya merasa bahwa alumnus tadi tetap mengenang nama Aba dengan hormat di dalam hatinya. Bahwa ia kemudian tidak lagi mencantumkan nama Aba dalam tulisan-tulisannya, itu dilakukannya justru berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ia niatkan untuk menjaga guru yang dihormatinya tersebut.
Ada kisah lain tentang hubungan guru-murid ini. Kisah berikut tentang al-Ghazālī. Di usia yang masih sangat muda, al-Ghazālī berhasil merampungkan sebuah karya dalam bidang Ushul Fiqih yang berjudul al-Mankhūl fī ʿIlm al-Ushūl. Karya ini ditulisnya saat gurunya, Imām al-Ḥaramain al-Juwainī, masih hidup. Ketika membaca karya muridnya itu, al-Juwainī berkata kepada al-Ghazālī, “Engkau telah menguburku hidup-hidup. Tidak maukah engkau bersabar menungguku mati terlebih dahulu sebelum kautulis buku ini?”
Al-Ghazālī jelas tidak berniat “mengubur hidup-hidup” atau mengalahkan popularitas gurunya itu. Berbagai sumber menyebutkan bahwa al-Ghazālī masih sangat terpengaruh oleh al-Juwainī di dalam karyanya tersebut. Karena itu, banyak pendapat dalam kitab al-Mankhūl ini yang kemudian direvisi sendiri oleh al-Ghazālī dalam karya-karyanya yang belakangan, seperti al-Mustashfā. Itu menunjukkan bahwa al-Ghazālī menulis al-Mankhūl justru dengan cinta dan hormat kepada gurunya tersebut. Sebaliknya, al-Juwainī tampaknya juga tidak serius dengan tegurannya kepada al-Ghazālī. Saya yakin ia mengucapkannya dengan bangga. Bukankah guru kita selalu bangga melihat kita bisa menandingi atau bahkan melampaui beliau?
Kita belajar hal-hal subtil seperti itu dalam hormat kita kepada para guru, juga dalam cinta habis-habisan yang mereka berikan kepada kita. Hasilnya adalah perspektif yang lebih kaya, yang membuat kita tidak mudah menghukumi atau menghakimi. Juga tentang penghormatan yang mewujud ke dalam beragam laku dan artikulasi. Sebab pada akhirnya, guru-guru kita yang hebat selalu punya tempat yang istimewa di hati kita. Kita tentu berharap ada juga tempat di hati mereka untuk kita, para murid yang terkadang kelewat bengal dan tidak berbakti ini.
Santri yang tafaqqoh fiddin menjadi harapan wali santri namun penerapan dan penguasaan bahasa Arab dan Inggris juga hal penting sebagai bekal dalam kehidupan
beragama berbangsa dan bernegara. khususnya di pondok tegal & putri 1 Al amien penerapan bahasa masih kurang
@al Amien Tegal alumni 99
Panjang umur buat guru2 yg selalu hidup di hati para muridnya. Barakallah fi ‘umrikum, Kiyai Ghozi.