Yang saya maksud dengan “tulisan” dalam judul di atas adalah tulisan tangan, bukan karya tulis atau karangan. Jadi, catatan ini tidak akan membahas tentang kualitas ide dalam sebuah karya tulis, tidak pula tentang keterampilan memilih diksi atau merangkai kata. Ini lebih tentang sesuatu yang biasa kita sebut “khaṭṭ” dalam bahasa Arab. Tentu yang ringan-ringan saja. Kalau analisisnya lebih serius, maka ia bisa masuk ke wilayah grafologi. Catatan ini tidak diniatkan untuk menjadi seserius itu.

Pertama-tama, tulisan tangan itu bisa dinilai. Ada yang baik, ada pula yang buruk. Ada yang sesuai kaidah, ada yang tidak. Tidak berhenti di situ, baik buruknya tulisan tangan juga acapkali dihubungkan dengan hal-hal lain. Dengan kecerdasan intelektual, misalnya. Beberapa artikel menunjukkan bahwa tulisan yang buruk bisa jadi merupakan tanda kecerdasan dan kreativitas. Orang yang cerdas cenderung buruk tulisannya. Konon, orang-orang yang cerdas berpikir lebih cepat. Saat menulis, tangan mereka berusaha untuk mengimbangi kecepatan pikiran tersebut. Mereka pun menulis lebih cepat. Karena itu, tulisan mereka kemudian menjadi buruk. Begitu teorinya. Saya sendiri menganggap teori ini tidak cukup kuat. Saya mengenal banyak orang cerdas yang memiliki tulisan tangan sangat baik. Meski demikian, beberapa ulama kita memang dikisahkan memiliki tulisan tangan yang kurang baik. Sufyān al-Tsaurī, misalnya. Atau Ibn Taimiyah. Atau Ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī. Contoh tulisan tangan mereka bahkan bisa dilacak gambarnya di internet.

Tulisan tangan yang buruk sering disebut dengan dengan tulisan “cakar ayam”. Ini analogi yang agak kasar, karena ayam tidak menulis. Ada juga sebutan yang lebih mulia, yaitu “tulisan dokter”. Barangkali memang banyak dokter yang menuliskan resep obat dengan tulisan yang sulit dibaca, bahkan oleh para apoteker sekalipun. Kalau masih kurang mulia, perhatikan yang berikut ini. Beberapa ulama, seperti al-Tsaʿlabī dan al-Zamakhsyarī, mencatat dalam karya mereka bahwa tulisan tangan yang buruk juga lazim disebut dengan “tulisan malaikat”. Apakah malaikat menulis? Al-Qur’an menyebutnya dalam sebuah ayat di surah al-Infiṭār, “kirāman kātibīn”. Kita tentu tidak tahu bagaimana para malaikat itu menulis. Tidak jelas. Tulisan yang buruk juga tidak jelas. Karena itulah barangkali tulisan yang buruk lantas disamakan dengan tulisan malaikat.

Tulisan tangan juga bisa dihubungkan dengan budaya dan peradaban. Ibn Khaldūn menjelaskannya dalam kitab al-Muqaddimah. Konteksnya memang aksara Arab, tetapi teori-teori yang diajukannya punya implikasi yang lebih luas. Ia menyatakan, misalnya, bahwa orang-orang kota pada umumnya memiliki tulisan yang lebih baik daripada orang-orang desa karena kemampuan menulis lebih dibutuhkan di kota ketimbang di desa. Itu barangkali kecenderungan umum di masanya, bukan di masa kita sekarang. Selain itu, Ibn Khaldūn juga menyatakan bahwa beberapa “keanehan” dalam tulisan mushaf Al-Qur’an berdasarkan rasm ʿUtsmānī disebabkan oleh fakta bahwa para Sahabat tidak betul-betul “terampil” dalam bidang khaṭṭ Arab. Tulisan belum menjadi sesuatu yang familiar dalam budaya mereka. Ini tentu teori yang menarik. Tetapi dibutuhkan sebuah catatan tersendiri untuk membedahnya.

Bagaimana dengan perbandingan baik buruknya tulisan dari masa ke masa? Saya tidak punya data yang terkonfirmasi tentang hal itu. Tapi guru-guru saya saat sekolah dulu memiliki tulisan tangan yang rata-rata lebih baik dan lebih rapi ketimbang tulisan saya. Demikian juga dengan ayah saya. Dibandingkan tulisan tangan beliau, tulisan tangan saya terlihat lebih buruk. Saya jadi bertanya-tanya: mana yang lebih buruk jika tulisan saya dibandingkan dengan tulisan murid-murid saya?

Generasi milenial memang seringkali diasumsikan memiliki tulisan tangan yang rata-rata lebih buruk dibandingkan generasi sebelum mereka. Meski belum tentu benar, namun alasannya masuk akal. Anak-anak yang lahir belakangan lebih tidak bergantung kepada tulisan tangan. Mereka lebih banyak menulis dengan mengetuk keyboard atau memencet keypad. Di sekolah, para murid tampaknya juga tidak terlalu dituntut untuk memiliki tulisan tangan yang indah dan rapi. Setidaknya, di sekolah anak-anak saya. Mereka, misalnya, tidak lagi mengenal “buku tulis halus”. Padahal, saat saya di sekolah dasar dulu, buku halus itu menjadi buku tulis wajib di kelas-kelas awal.

Di TMI zaman dulu, para santri rasanya juga memiliki kesempatan lebih luas serta media yang lebih beragam untuk mengekspresikan diri melalui tulisan tangan atau menikmati karya tulis-tangan orang lain. Saat itu, pelajaran masih ditulis di atas papan hitam menggunakan kapur tulis berwarna cerah, bukan di atas papan putih dengan spidol bertinta gelap seperti sekarang. Ketika muḥādharah berlangsung, setiap kelompok diharuskan menghias papan hitam itu dengan tulisan dan ornamen. Biasanya, tulisan itu memuat daftar rangkaian acara selama muḥādharah dengan beberapa variasi. Lalu, di akhir setiap semester, ada sesi perfotoan santri dan guru per kelas. Saat itulah, papan hitam tersebut kembali dihias dengan tulisan Arab yang indah dan artistik untuk menunjukkan identitas masing-masing kelas yang melakukan perfotoan.

Dulu, ada jenis keterampilan tangan yang disebut dengan seni letter. Entah dari mana istilah itu berasal. Ini adalah seni “tulis tangan” yang sedikit berbeda. Pada sebagian besar kasus, huruf-huruf dalam seni letter itu tidak ditulis dengan pena, tapi dibentuk melalui kertas yang digunting dan dipotong. Hasilnya biasanya lalu ditempel di atas sebuah latar, bisa tembok, kain, atau kertas yang lain. Semua acara di Pondok saat itu menggunakan hasil guntingan dan potongan kertas tersebut sebagai bagian dari latar panggungnya. Santri-santri yang ahli letter adalah langganan bagian dekorasi dalam struktur kepanitiaan apa pun. Sekarang, hampir semua acara di Pondok berlatar tulisan atau gambar yang dicetak di atas banner.

Majalah dinding adalah ilustrasi yang lain lagi. Dulu, ada beberapa majalah dinding yang terbit rutin setiap pekan. Al-Amien Pos, SUASA (Suara Sastra Al-Amien), Zeal, dan Al-Wafāʾ adalah beberapa di antaranya. Untuk majalah dinding berbahasa Indonesia dan Inggris, artikelnya memang diketik dengan mesin ketik. Tapi judul untuk masing-masing artikel tersebut ditulis tangan. Khusus majalah dinding berbahasa Arab, semua bagiannya adalah tulisan tangan, karena memang masih sangat sulit untuk mencari mesin ketik Arab saat itu.

Belum lagi buku-buku diktat pegangan santri, khususnya yang berbahasa Arab. Seingat saya, nyaris tidak ada buku diktat berbahasa Arab yang tidak ditulis tangan. Yang menulisnya sebagian adalah santri-santri sendiri. Buku Mabādiʾ ʿIlm al-Tarbiyah, karangan Kiai Idris, yang kita pelajari di kelas 3, misalnya, dulu ditulis oleh Ustadz Asmuni Rahman saat beliau masih menjadi santri. Ustadz Asmuni adalah kakak kelas tiga angkatan di atas saya, seangkatan dengan Kiai Ahmad Fauzi Tidjani. Beberapa buku diktat yang lain ditulis sebelumnya oleh Ustadz Hasbi Ro’uf, seorang “legenda” dalam bidang kaligrafi Arab di TMI pada masa itu.

Tentang buku yang ditulis tangan ini, saya teringat pada sebuah kisah yang terjadi jauh di masa lampau. Sebelum mesin cetak ditemukan, semua buku ditulis tangan. Tidak ada cara lain. Di masa itu, “penulis buku” (bukan pengarangnya) disebut dengan banyak istilah. Salah satunya adalah “warrāq”. Peradaban literasi di masa-masa awal sebagian besarnya bertumpu pada hasil kerja para warrāq tersebut. Persoalannya, tidak semua warrāq punya tulisan tangan yang bagus. Ada juga yang nekat menjadi warrāq meski tulisan tangannya luar biasa buruk. Salah satunya bernama Shafiyy al-Dīn al-Armawī. Lantaran tulisannya yang buruk serta kenekatannya untuk menjadi warrāq, ia dikritik dan dikecam banyak orang. Suatu hari, al-Armawī memasuki sebuah pasar kitab. Di sana, ia menemukan sebuah buku yang ditulis dengan tulisan tangan yang ia lihat lebih buruk dibandingkan tulisannya sendiri. Maka dengan antusias, dibelinyalah buku tersebut. Padahal harga yang dipatok penjualnya lebih mahal dari biasanya. Al-Armawī terobsesi untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa ada warrāq lain yang memiliki tulisan lebih buruk ketimbang tulisannya. Setelah sampai di rumah, al-Armawī membaca lebih teliti buku tersebut. Ternyata ia menemukan fakta yang sangat mengejutkan. Rupanya, buku itu adalah tulisan tangannya sendiri beberapa tahun yang lalu saat ia masih muda. Mission failed. Al-Armawī gagal menemukan tulisan yang lebih buruk daripada tulisannya.

Ah, catatan ini jadi lebih panjang dari yang semula saya niatkan. Padahal, awalnya, saya hanya berniat untuk mempromosikan SALAM (Sanggar Kaligrafi Al-Amien), sebuah kelompok minat di TMI Al-Amien bagi para santri yang memiliki keinginan untuk mendalami dunia khaṭṭ dan kaligrafi Arab. Pembina utamanya adalah Kiai Basthomi Tibyan. Beberapa guru pembimbingnya merupakan alumni LEMKA (Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an), pesantren kaligrafi yang terkenal itu. Ada juga beberapa, termasuk Kiai Basthomi sendiri, yang masih aktif mengambil ijazah khaṭṭ dari Syekh Belaid Hamidi, seorang juri kaligrafi internasional dari Maroko.

Agar catatan ini tidak menjadi lebih panjang lagi, saya lampirkan saja di bawah ini beberapa foto karya para santri yang tergabung di SALAM. Cukup keren saya kira. Jika benar bahwa generasi milenial cenderung tidak terlatih menulis tangan dengan baik, maka foto-foto ini setidaknya bisa menjadi bukti bahwa tidak semua dari mereka seperti itu. Selamat menikmati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.