Sudah berapa buku yang berhasil kita tamatkan? Saya kira, kita pernah menamatkan sebuah buku, meskipun kita enggak suka-suka banget membaca buku. Atau dianggap sampai pada taraf kutu buku, dirasa belum pantas. Mungkin tepatnya, kita hanya sebatas penikmat buku saja saat ini. Mengapa saya mengatakan, setidak-hobinya kita dalam membaca, kemungkinan kita pernah menamatkan satu buku? Ya, karena ini berbicara tentang pengalaman, saat di pondok.

Ketika saya masih duduk di bangku Aliyah, teman-teman seangkatan saya demen sekali baca novel yang dibeli dari Book Store TMI. Setiap ada yang beli novel baru, selalu antre pinjam-meminjam. Bahkan, ada teman yang membuatkan daftar urutan bagi para peminjam novel tersebut untuk bergantian baca. Mereka membaca ketika senggang dari kegiatan, kadang nyuri-nyuri waktu. Semisal, saat enggak ada pengajar di kelas, menunggu shalat Maghrib atau Shubuh, bahkan antre hammam pun tetap baca buku. Tentu, beda cerita lagi kalau buku-buku yang non-fiksi, cukup sepi untuk antre pinjam.

Baca Juga: 132 Santri Baru Ikuti Ujian Penempatan Gelombang Pertama

Terlepas genre apa yang digandrungi, saya terkesima dengan lingkungan pondok yang cukup kondusif untuk dijadikan ajang lomba banyak-banyakan namatin buku. Namun, coba kita hitung berapa orang dari kita yang membaca pendahuluannya? Meskipun non-fiksi sekali pun. Saya termasuk orang yang ketika itu, malas baca pendahuluan dari sebuah buku. Karena bagian terpenting dari buku tersebut, anggapan saya waktu itu, ya dimulai dari bab satu hingga seterusnya. Jadi, untuk apa membaca pendahuluan?

Berbanding terbalik ketika saya berencana ke International Cairo Book Fair 2017. Salah seorang senior saya memberi saran untuk belanja buku yang berkualitas. Setidaknya, selektif belanja buku di saat kondisi kantong yang pas-pasan. Ia berpesan, “Kalau membeli buku dan uang kamu pas-pasan, silakan baca dulu pendahuluannya dan daftar isinya. Karena di pendahuluan nanti kamu akan menemukan proses kreatif penulis dan teknik penulisannya. Jika bagus, maka beli.” Tentu pengalaman menarik, kala itu.

Kemudian, pengalaman di ruang kelas. Profesor pengampu mata kuliah Dirâsat Asânîd saya ketika masuk kelas membawa satu kitab yang berlainan di setiap minggunya. Saya hitung sudah tiga atau empat kali merutinkannya. Saat membuka kelas, beliau menyuruh kami maju satu-persatu ke depan untuk membaca kitab yang dibawa. Apa yang dibaca? Hanya pendahuluan dari kitab itu, selama dua jam. Terus berulang kali begitu. Tidak jarang kami kena semprot karena terburu-buru membaca pendahuluannya dengan bacaan yang kurang tepat. Atau, kami salah mengartikan latar belakang dan teknik penulis dalam mengarang kitab tersebut. Hingga banyak di antara teman-teman saya mengeluhkan hal itu. Cukup membosankan.

Dari beberapa pertemuan yang dibaca itu-itu saja, pendahuluannya. Bahkan, cukup banyak teman saya yang memilih tidak masuk kelas. Entah pada pertemuan ke berapa ada teman Mesir saya bertanya, “Ustadz (sebutan untuk profesor di negara Arab), kenapa kita disuruh baca pendahuluan beberapa kitab selama dari beberapa pertemuan kemarin? Tidak ada penambahan materi apa pun dari diktat!” Dengan santai beliau menjawab, “Bagaimana kalian mau dikatakan ahli dalam membaca sebuah kitab, baik klasik dan kontemporer, jika membaca pendahuluannya saja kalian enggan? Berarti kalian tidak memiliki teknik membaca dan bisa dikatakan tidak paham penuh isi kitab tersebut.” Sekelas diam, tidak ada komentar.

Cukup gamblang. Saya meyakini alasan profesor saya tersebut. Selain ada maksud tersembunyi untuk kemungkinan masuk di soal ujian nanti, juga ada nilai tersendiri yang beliau inginkan dari membaca pendahuluan agar menumbuhkan kemampuan para mahasiswanya. Tentu menarik, bahwa berawal dari sebuah pendahuluan ada proses kreatif, kegelisahan akademis atau teknik dari penulis untuk memahami lembaran-lembaran dari buku yang akan dikaji. Hal-hal yang dianggap ringan seperti itu, terkadang terlupakan dengan terstruktur.

Menamatkan buku puluhan bahkan ratusan tentu bagus. Namun, jika melewatkan pendahuluan yang dihantarkan oleh penulis, tentu dianggap kurang lengkap. Semisal makanan, mungkin kurang sedap dikit. Dari pendahuluan, bisa saja menjadi kritik ilmiah yang perlu dikembangkan, jika isi dari buku tersebut kurang konsisten dalam menerjamahkan metode yang diketengahkan. Atau kita akan mengetahui, bahwa buku tersebut merupakan kritikan terhadap buku lain.

Saya ingin menampilkan cuplikan singkat dari pendahuluan dua kitab yang berbeda. Satunya berisikan beberapa nilai kegelisahan akademis dari penulisnya, satunya lagi menjadi acuan kritik dari kalangan cendekiawan Islam hingga melahirkan banyak manuskrip penyempurna di era setelahnya. Tentu, kedua pendahuluan dari kitab tersebut cukup panjang.

Baca Juga: Workshop Bimbingan dan Konseling, Perkuat Karakter Guru di TMI

Pertama, Usdu al-Ghâbah, karya Ibn Atsir. Secara umum, kitab tersebut masuk dalam kategori kumpulan biografi para Sahabat atau masuk dalam Kitâb al-Rijâl. Menariknya, sebelum mengarang kitab tersebut ia mengalami kegelisahan akademis yang luar biasa. Ketika membaca berbagai manuskrip kitab biografi yang lahir terlebih dahulu, ia menemukan beberapa kelemahan mendasar dari pendahulunya. Perbedaan metodologi dalam menghimpun biografi para Sahabat menjadi salah satu penyebab munculnya kegelisahan akdemis itu. Imbasnya, beberapa biografi Sahabat yang ada di suatu manuskrip, tidak ditemukan di manuskrip lainnya. Begitu juga sebaliknya.

Tidak lama kemudian, Ibn Atsir melakukan rihlah ilmiah ke Syam. Ia menyempatkan diri untuk ziarah ke Baitul Maqdis. Nah, ketika masuk, ia menemukan perkumpulan para ahli Hadits sedang membincang kitab biografi para Sahabat yang ada waktu itu berbeda-beda. Corak perbedaan pendapat antar-pengarang tersebut terlihat ketika menyajikan beberapa biografi Sahabat terkait nasab, keabsahannya bertemu Nabi Muhammad SAW secara langsung, mengikuti peperangan apa saja dan lainnya. Sepulang dari hasil nimbrung tadi, Ibn Atsir berkeinginan kuat untuk segera membuat satu kitab khusus yang merangkum biografi Sahabat secara komprehensif dengan meneliti semua jalur periwayatan.

Selanjutnya kitab kedua, Al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, karya al-Maqdisi. Kitab ini merupakan pijakan awal dalam merangkum para perawi yang ada di Kutub al-Sittah, kitab enam Hadits yang populer (kitab Hadits Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasai, Abu Daud dan Ibn Majah). Dalam pendahuluannya, al-Maqdisi menjelaskan, bahwa ia sebisa mungkin akan merangkum biografi para perawi dari keenam kitab tersebut sesuai syarat dan karakteristiknya. Kemudian, pada abad ketujuh kitab tersebut dibaca oleh al-Mizzi dengan penuh ketelitian, terkait metode penulisan dan isi karya al-Maqdisi. Usai membacanya, al-Mizzi menemukan kekurangan pada karya al-Maqdisi dalam metode yang diketengahkan di pendahuluannya. Banyak beberapa perawi Kutub al-Sittah yang masih belum terangkum dalam karyanya, bahkan mencapai ratusan perawi. 

Berangkat dari kekurangan tersebut, al-Mizzi mengarang kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl. Bahkan ia menyempurnakan dengan menambahkan beberapa perawi yang tidak hanya temaktub dalam Kutub al-Sittah, namun masih karya enam ulama Hadits tersebut. Pun, ia memunculkan beberapa kode terkait perawi tersebut berada di kitab mana saja. Kritikan membangun ini tentu dari hasil pembacaan serius dalam memahami teknik al-Maqdisi yang terangkum di pendahuluan. Berangkat dari karya Imam al-Mizzi ini, muncul karya Ibn Hajar, al-Dzahabi dan al-Khazraji untuk merangkum serta merapikan kembali apa yang menjadi kekurangan dalam karya al-Mizzi. Walakhir, apa yang saya tampilkan memang dikategorikan kitab klasik. Namun, esensinya tetap sama dalam membincang pendahuluan yang ada pada suatu buku. Tentu, kita memiliki buku-buku kontemporer yang tidak lepas dari sisi pendahuluan. Bahkan, berangkat dari pendahuluan kita mengetahui metode apa yang dipakai dan kegelisahan akademis apa yang terjadi dalam diri penulis. Mengapa menggunakan kegelisahan akademis? Karena berangkat dari kegelisahan seperti ini memunculkan ruang untuk berdialog dan membangun arus kritik yang baik. Lalu, bagaimana dengan kegelisahan yang lain? Saya rasa, cukup diserahkan kepada masing-masing diri kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.