Manusia Indonesia adalah manusia tukang tiru. (Mochtar Lubis)
Perasaan inferior telah menyempitkan daya kreatif dan menyusutkan rasa percaya diri masyarakat Indonesia dalam merespon tantangan masa depan. Kita enggan membuka kemungkinan dan penafsiran baru atas kemajuan dan kemodernan yang relevan dengan jati diri bangsa kita.
Kita selalu beranggapan bahwa orang-orang di luar sana lebih mapan dan jauh lebih maju, sehingga kita mudah terhipnotis dengan nilai-nilai sekuler. Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh adalah pepatah Jawa yang relevan dalam membantu kita menentukan posisi bangsa ini di tengah arus deras globalisasi dan industialisasi. Kontrol diri dan berpikir kritis menjadi penting dalam menyeleksi unsur-unsur yang datang dari luar.
Mengukur kemajuan peradaban dalam perspektif ekonomisentris ala negara-negara maju di dunia telah mempersempit makna dari kemajuan dan kemodernan sendiri. Apakah tidak mungkin, kemajuan itu dilihat dari perspektif budaya? Bukankah Indonesia kaya akan budaya? Bukankah Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang bisa dipergunakan untuk menopang kesejahteraan masyarakat kita? Upsss…lagi-lagi kita tidak percaya diri dengan apa yang kita miliki. Atau kita terlampau malas untuk memikirkannya dan mengelolanya secara mandiri.
Memang benar kiblat kemajuan selalu berpindah tangan, dan kini bertahta di peradaban barat dan beberapa di peradaban timur seperti Jepang, Cina dan Singapura. Namun, kita tidak boleh menjiplak secara serampangan apa yang telah mereka bangun tanpa melakukan pribumisasi makna modernitas. Artinya, proyek modernisasi harus disesuaikan dengan konteks masyarakat dan lingkungan yang ada di Indonesia.
Sekarang modernitas diukur dari kepemilikan teknologi canggih seperti handphone, mobil, rumah megah, dan properti mewah. Dan seringkali, pemanfaatannya tidak didasarkan pada asas efisiensi dan efektivitas. Sedangkan, kita, manusia Indonesia, hanya menjadi objek pemasaran teknologi yang diimpor dari negara maju. Mari kita lihat orang-orang sekitar, yang mayoritas kini memiliki lebih dari satu buah android, kendaraan, dan sebagainya.
Di sisi lain, kemajuan dan kemodernan suatu negara juga diukur dari masifikasi industrialisasi dan pembangunan infrastruktur, yang realitanya tidak mengakomodir kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat kita. Tak jarang, proyek-proyek pertambangan dan pembangunan infrastruktur merampas secara paksa tanah-tanah rakyat kita, merusak lingkungan hidup dan sebagainya.
Teknologi dan industrialisasi, keduanya mampu mengalahkan konsiderasi manusia dan mengobjektivasi mereka sehingga manusia hari ini kehilangan jati dirinya sebagai subjek (dehumanisasi). Hari ini, masyarakat kita hadir dengan wajah abstrak tanpa kemanusiaan. Seperti dunia rimba, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Mesin-mesin politik dan pasar menjelma menjadi raksasa yang memporak-porandakan kemanusiaan kita. Bukan tidak mungkin, 20 tahun mendatang, modernitas akan bergeser makna pada kemampuan manusia dalam menyederhanakan tindakannya dalam berteknologi dan melakukan kegiatan ekonomi. Tahun 2050, orang modern mungkin saja didefinisikan mereka yang mampu menjaga kelestarian alam, mereka yang teguh menjadi nilai-nilai spiritual dalam kehidupan.
Hematnya, modernitas adalah kesederhanaan (self-sufficiency). Kemajuan bermakna kemampuan kita dalam menggunakan teknologi dan mengelola sumber daya alam secara efektif-efisien. Bukannya sikap maju dan modern itu dapat diartikan sikap jiwa dan pikiran yang rasional. Untuk itu, kita harus merasionalisasikan penggunaan teknologi yang berlebihan dan memperbaiki attitude kita kepada alam. Mungkin tuntutan meminggirkan teknologi yang cendrung merusak lingkungan hidup dan kemanusiaan kita adalah cara paling rasional dan modern yang sangat diperlukan oleh bangsa ini. Sebab pembangunan peradaban yang holitis tidak cukup pada aspek materil saja (tangible), seperti tol, airport, pertambangan, pabrik dan sebagainya, melainkan juga aspek immaterial dari manusia itu sendiri harus dibangun.
Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan tidak akan lama menopang kemajuan materialistik saat ini. Suatu saat kita akan sampai pada jalan buntu (krisis). Pada titik tersebut bencana akan menyeret kita ke dalam penderitaan. Lagi-lagi, kita adalah korban dari kenakalan tangan kita sendiri.
Penguatan budaya lokal dan penguatan pendidikan karakter adalah strategi sederhana untuk membangun kesadaran sosio-ekologis. Mengubah pola industrialisasi ke dalam bentuk yang desentralistik yakni seperti pembangunan desa, pengembangan sektor pertanian, dan pemulihan lingkungan adalah hal fundamental yang perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan untuk menyongsong Indonesia Emas. Dari sini, segala proyek modernisasi harus disesuaikan dengan pembangunan kemanusiaan dan lingkungan hidup.
Buku “Manusia Indonesia”, karya Mochtar Lubis, telah menginspirasi lahirnya tulisan ini.