Dalam dunia kepenulisan, plagiat atau plagiarisme adalah bencana. Ia bisa lebih buruk dari pada sebagian besar pencurian. Saat sebuah benda dicuri dari kita, biasanya masih tersedia benda lain yang sama untuk kita miliki. Katakanlah, saya kehilangan gawai dengan merek tertentu. Saya masih bisa membeli gawai lain dengan merek yang sama, dengan bentuk yang tentu juga serupa, lalu gawai itu absah menjadi milik saya. Nyaris tidak ada bedanya dengan yang lama. Tapi saat gagasan kita dicuri dan dirampas kepemilikannya dari kita, maka kita tidak bisa memiliki duplikatnya. Gagasan itu beserta seluruh duplikasinya tidak mengenal kepemilikan ganda. Ia dianggap sepenuhnya menjadi hak milik sang pencuri.

Gambaran di atas tentu saja adalah contoh plagiat dalam kasusnya yang ekstrem, kasus di mana tidak jelas di muka publik siapa pemilik dan siapa pencuri. Untungnya, sebagian besar kasus plagiat di masa kita ini tidak lagi berjalan dalam cara semacam itu. Berkat mekanisme publikasi dan dokumentasi yang semakin maju, para plagiator kini lebih mudah diungkap. Tapi siapa sangka kasus plagiat yang merampas hak penulis aslinya itu pernah menimpa al-maghfūr lahū Kiai Tidjani.

Kiai Tidjani menyelesaikan jenjang studi S2 di King Abdulaziz University, Mekah. Beliau menulis tesis dalam bentuk taḥqīq manuskrip. Naskah yang beliau kaji adalah Fadhaʾil al-Qur’ān wa Maʿālimuhū wa Ādābuhū,karya Abū ʿUbaid Qāsim b. Sallām, seorang ulama dari Baghdad yang hidup pada akhir abad II dan awal abad III Hijriah. Tesis ini tampaknya ditulis dengan sangat serius. Pembimbingnya pun seorang tokoh yang tersohor, Muḥammad Mushthafā al-Aʿzhamī. Dalam bagian Pendahuluan, Kiai Tidjani menceritakan kesulitan yang beliau hadapi saat menelusuri manuskrip-manuskrip yang tersebar di beberapa tempat di tiga benua. Setelah beberapa kali upaya korespondensi gagal, beliau akhirnya memutuskan untuk mencari langsung manuskrip-manuskrip tersebut ke perpustakaan-perpustakaan di Damaskus, Kairo, Maroko, Berlin, dan Leiden.

Tesis itu selesai ditulis pada tahun 1973.  Barangkali karena kesibukan beliau, Kiai Tidjani tidak pernah sempat mengajukan naskah hasil taḥqīq itu untuk diterbitkan. Tetapi pada tahun 1990-an, saat beliau sudah menetap di Indonesia, beliau memperoleh satu eksemplar buku Fadhāʾil al-Qur’ān yang sudah dicetak oleh sebuah penerbit di Timur Tengah sana. Muḥaqqiq-nya orang lain. Betapa kagetnya Kiai Tidjani saat membaca buku itu karena sebagian besar isinya adalah hasil taḥqīq beliau. Beliau memiliki dugaan yang sangat kuat bahwa bagian-bagian terpenting dari buku tersebut adalah hasil plagiat dari tesis yang beliau tulis.

Saya mendengar cerita tentang tindak plagiat itu langsung dari Kiai Tidjani sekitar tahun 2006 atau awal 2007. Beliau saat itu sedang menjalani perawatan kesehatan di Jakarta. Saya sedang kuliah S2. Kesempatan menemani beliau seringkali saya gunakan untuk berkonsultasi tentang penulisan tesis. Ketika menceritakan karya beliau yang dijiplak orang itu, Kiai Tidjani tidak terlihat marah. Beliau bercerita dengan santai, bukan seperti orang yang merasa kehilangan. Beliau bahkan sempat mengungkapkan rasa syukur bahwa buku itu pada akhirnya bisa terbit dan dinikmati banyak orang. Yang marah justru saya. Mestinya, pikir saya, nama beliaulah yang tercantum sebagai muḥaqqiq di sampul buku tersebut.

Sikap orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai korban plagiat memang bisa berbeda-beda. Kiai Tidjani bersikap relatif santai. Orang lain mungkin punya sikap yang berbeda. Ibn Ḥajar al-Asqalānī misalnya. Ketika menemukan bahwa beberapa bagian dari karyanya, Fatḥ al-Bārī, dijiplak oleh ulama lain, Ibn Ḥajar menulis sebuah buku. Judulnya: Intiqādh al-Iʿtirādh. Isinya bantahan dan klarifikasi. Buku yang kemudian diterbitkan dalam dua jilid tebal (jumlah seluruh halamannya hampir mencapai 1.400) itu sangat rinci. Pada setiap bab di mana sang plagiator menjiplak bagian dari Fatḥ al-Bārī, Ibn Ḥajar memberikan klarifikasinya atau menambahkan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Tapi itu belum keseluruhannya. Menurut muḥaqqiq kitab ini, jika saja Ibn Ḥajar mencantumkan semua hal yang dijiplak oleh sang plagiator dari Fatḥ al-Bārī serta mengomentari setiap kejanggalan yang terdapat di dalam hasil plagiat itu, maka ketebalan kitab Intiqādh ini akan melampaui ketebalan kitab yang ditulis oleh sang plagiator tersebut.

Meski demikian, gaya bahasa Ibn Ḥajar tetap santun. Pilihan kata-katanya terjaga. Membaca tulisannya, saya tidak membayangkan seseorang yang sedang mencak-mencak. Ketika mengomentari sang plagiator yang menjiplak pernyataan al-Nawawī sekaligus mengutipnya dengan banyak kesalahan, Ibn Ḥajar menulis, “Andai saja dia menyalin dari naskah yang benar, lalu menisbatkan [pernyataan itu] kepada penulis aslinya, tentu dia akan selamat dari kekeliruan dalam menyebut banyak nama dan identitas serta dari kesalahan dalam beberapa kata.” Di bagian yang lain, Ibn Ḥajar juga mengomentari kebiasaan sang plagiator untuk menulis “qultu” di sepanjang karyanya. Padahal apa yang dibilangnya “menurutku” itu adalah gagasan orang lain yang diklaimnya sebagai miliknya sendiri. Tentang itu, Ibn Ḥajar menulis, “Bagaimana mungkin orang ini menganggap baik [tindakannya ketika ia] membaca sesuatu yang dihasilkan oleh orang lain dengan tidak tidur di malam hari, dengan memeras otak, lalu ia mengutipnya tanpa menisbatkannya kepada penulis aslinya, bahkan dinisbatkannya kepada dirinya sendiri dengan mengucap qultu?”

Kalimat-kalimat yang ditulis Ibn Ḥajar itu lebih memperlihatkan keprihatinan ketimbang kemarahan. Ia heran melihat sang plagiator memilih jalan ketidakjujuran, padahal itu justru akan menjerumuskannya ke dalam kesalahan. Sikap yang dipilih Ibn Ḥajar ini jauh lebih lunak dan santun dibandingkan dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Suyūthī dalam kisah berikut.

Al-Suyūthī juga pernah merasa menjadi korban tindak plagiat. Mirip seperti Ibn Ḥajar, ia juga menanggapinya dengan menulis sebuah risalah. Risalah yang sangat keras dan menohok. Judulnya saja: al-Fāriq bayna al-Mushannif wa al-Sāriq—pembeda antara pengarang dan pencuri. Ia menulisnya dengan murka. Di paragraf pertama dalam risalah tersebut, al-Suyūthī sudah memberondong sang plagiator dengan beragam gelar yang tidak tanggung-tanggung kasarnya. Thāriq (penyusup di malam hari), khāʾin (pengkhianat), sāriq (pencuri), māʾin (pembohong), māriq (murtad), ʿadīm al-dzawq (yang tidak punya perasaan), iftadhdha abkār ʿarāʾisinā (yang menodai pengantin-pengantin perawan kami) adalah sebagian dari gelar-gelar yang disematkan al-Suyūthī kepada sang plagiator tersebut. Tentu sulit untuk tidak membayangkan bahwa al-Suyūthī menulis risalah ini dengan amarah yang membanjiri setiap jengkal tubuhnya.

Al-Suyūthī lebih lanjut menyatakan bahwa ia menghimpun data untuk karyanya itu selama kurang lebih 20 tahun dan masih belum berhenti saat ia menulis risalah tersebut. Sumber-sumbernya tidak terhitung. “Lalu datanglah pencuri ini”, tulisnya, “…mengklaim bahwa dirinyalah yang telah mengumpulkan dan meneliti [bahan-bahan] tersebut… mengaku bahwa dirinya merujuk langsung kepada sumber-sumber itu tanpa melalui karyaku…, padahal ia tidak pernah melihat [sumber-sumber] itu dengan mata kepalanya sendiri hingga hari ini, [bahkan] tidak juga di dalam mimpi.” Lalu, di akhir risalah, al-Suyūthī memberi sang plagiator dua pilihan. Kalau mau bertobat, maka ia akan dimaafkan. Nama baiknya akan dikembalikan. Izin untuk mengakses karya-karya lain al-Suyūthī akan diberikan. Bahkan bila mengalami kesulitan untuk memahami karya-karya itu, ia akan diberi penjelasan. Tapi jika tetap bersikeras melakukan plagiat atas sesuatu yang bukan hasil jerih payahnya, maka ia akan dihina dan direndahkan. “Akan kami tulis di punggungnya,” ujar al-Suyūthī, “ayat: wa innal-Lāha lā yahdī kayda al-khāʾinīn”.

Begitulah gambaran tentang sikap beberapa ulama saat mereka menjadi korban plagiat. Selain menunjukkan bahwa tindakan plagiat juga pernah menimpa para ulama hebat, kisah-kisah di atas juga memberi kita pilihan-pilihan untuk diambil saat berada pada posisi yang sama seperti mereka.

Bagaimana jika kita adalah penonton?

Orang-orang yang dituduh melakukan plagiat dalam kasus Ibn Ḥajar dan al-Suyūthī di atas bukanlah sembarang tokoh. Yang dituduh oleh Ibn Ḥajar adalah Badr al-Dīn al-ʿAynī. Karyanya yang diklaim mengandung plagiat juga populer di kalangan para penggiat studi hadits, yaitu ʿUmdah al-Qārī fī Syarḥ Shaḥīḥ al-Bukhārī. Sementara yang dituduh oleh al-Suyūthī adalah Syihāb al-Dīn al-Qasthallānī dengan karyanya, al-Mawāhib al-Ladunniyyah fī al-Minaḥ al-Muḥammadiyyah, salah satu rujukan terpenting dalam bidang biografi dan sīrah Rasulullah SAW.

Saya tidak bisa memutuskan apakah tuduhan plagiat dari sebagian tokoh ke tokoh yang lain itu benar adanya. Memang dikisahkan dalam beberapa literatur bahwa al-Qasthallānī sempat mendatangi al-Suyūthī dan mengetuk pintu rumahnya. Ketika al-Suyūthī bertanya dari dalam rumah tentang identitas tamu yang mengetuk pintunya, al-Qasthallānī menjawab, “Aku al-Qasthallānī, datang kepadamu sambil bertelanjang kaki dan dengan kepala terbuka, hendak memulihkan perasaanmu kepadaku.” Mendengar itu, tanpa membukakan pintu, al-Suyūthī menjawab, “Perasaanku kepadamu sudah pulih—qad thāba khāthirī ʿalayka.” Tetap saja, saya memilih untuk membaca kisah-kisah itu sebagai pengamat dan penonton: tidak terlibat dan tidak pula kehilangan rasa hormat. Sama seperti saat saya menemukan artikel berbahasa Indonesia milik dosen saya, seorang guru besar, lalu membandingkannya dengan artikel milik orang lain dalam bahasa Inggris, dan ternyata artikel yang pertama layak disebut sebagai terjemahan nyaris harfiah dari artikel yang kedua. Entah mengapa, saya tidak marah. Barangkali karena bukan saya korbannya. Atau karena penulis aslinya tidak saya kenal, sementara terduga pelaku plagiatnya adalah guru yang saya hormati.

3 thoughts on “Plagiat

  1. Sufyana says:

    MaasyaaAllah baarakallahu fiikum murabbi,
    اتمنى لكم صحة طيبا ومباركا في حفظ الله آمين

    Memang ini yang sering terjadi, bukan sering lagi. Sudah hampir rata2 semuanya melakukan tindakan plagiat ini.
    MaasyaaAllah ini sangatlah bermanfaat untuk kaum manusia zaman di era modern ini.

    Syukroon katsiiran naam muraabi

  2. Drs.H.Hasan Basrie Alcaff,MA.MM says:

    Orang yang suka plagiat menurut saya disebut “Orang gila” gila hormat, gila pristise. Ia mampu meracuni ketidakmampuannya tp mengubur ktediblitas orang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.