Dalam berbagai kesempatan, sejak belia hingga dewasa, kita selalu diperdengarkan bahwa guru merupakan sosok yang sangat berjasa dalam kehidupan manusia. Guru yang merupakan singkatan dari kata digugu dan ditiru benar-benar mengandaikan sebuah keniscayaan bahwa untuk mewujudkan hidup yang baik dan bijak seorang murid benar-benar harus mengikuti petuah guru dalam menerapkan amaliah kebaikan dalam kesehariannya. Guru adalah satu di antara peran dalam kehidupan manusia yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi dikarenakan otoritasnya yang mampu mengarahkan manusia dari kegelapan menuju terang benderang.

Itulah kemudian mengapa Rasulullah Saw dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadis dilabeli sebagai muallim (guru). Hal tersebut dikarenakan mandat diutusnya Rasulullah Saw ke muka bumi tidak lain adalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran kebaikan yang seyogyanya oleh para sahabat, murid-muridnya, digugu dan ditiru.

Dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah, Allah Swt berfirman:

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. al-Jumu’ah: 2)

Mengomentari ayat di atas, mufassir yang terkenal bernama Ibnu Katsir (Tafsir Ibn Katsir, Jilid 8, hal. 16) menjelaskan bahwa dahulu tatkala Rasulullah Saw diutus ke muka bumi kondisi Arab sedang dalam kondisi kacau dan perlu perbaikan. Dahulu mereka memeluk ajaran tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim alaihissalam namun mereka mengubah dan menyelisihi ajaran yang dikandung di dalamnya, mempertukarkan keesaan dengan kesyirikan, keyakinan dengan keraguan dan mengadakan sesuatu hal-hal yang tidak diperkenankan oleh Allah Swt. Dalam kondisi seperti itu kemudian Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw dengan membawa syariat yang agung yang mampu menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk, mengusung pedoman yang bisa dipegang bagi semua kebutuhan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat serta meneguhkan kembali prinsip keberagamaan dengan mengesakan Allah Swt.

Peran beliau sebagai guru juga diakuinya sendiri berdasarkan pernyataan lantangnya sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis Shahīh Muslim bahwa Rasulullah Saw bersabda,

“Sesungguhnya Allah Swt tidak mengutusku sebagai sosok yang mempersulit manusia (muannitan) dan juga sosok yang menginginkan umatnya binasa (muta’annitan), melainkan Allah Swt mengutusku sebagai pengajar yang memudahkan perkara kehidupan (mu’alliman muyassiran). (Hadis Riwayat Muslim)

Ulama menjelaskan bahwa fungsi Rasulullah Saw sebagai guru diejawantahkan dengan pengajarannya terhadap segenap sahabat terkait risalah kenabian yang dibawa dari Allah Swt, baik itu al-Qur’an ataupun Hadis, yang ajaran tersebut memiliki sifat mempermudah (muyassiran) bagi amaliyah-amaliyah pengikutnya baik di dunia maupun di akhirat (Muhammad al-Alawi al-Hararydalam al-Kawkab al-Wahhāj Syarh Shahih Muslim, jilid 16, hal. 220).

Peran Guru dalam Islam

Dalam tulisannya yang berjudul Peran Guru dalam Islam (Makānat al-Muallim fi al-Islām), Dr. Al-Husain al-Mus, penulis keislaman berbahasa Arab, menguraikan bahwa pendidikan merupakan asas segala peradaban. Hal ini lahir dari ungkapan yang sering kita ulang-ulang bahwa ilmu adalah cahaya (al-Ilm Nurun). Melalui ilmu, teranglah jalan peradaban yang dilalui manusia, tersingkaplah gelapnya kebodohan, sirnalah anasir hewani yang bersemayam dalam diri manusia.

Lewat jalur keilmuanlah para Nabi menebarkan risalah kepada umat manusia. Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan peran para Nabi sebagai muallim (penyebar pengetahuan) yang mengajarkan kepada manusia ayat-ayat Allah dan hikmah yang dikandungnya.

Allah Swt berfirman:

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. al-Baqoroh: 129)

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa jika pengajaran (transfering of value) merupakan hal yang mulia, demikian pula sosok yang menjalankan peran tersebut, yakni seorang guru. Tidak ada pengajaran yang gemilang melainkan lahir dari guru-guru yang tulus profesional mendedikasikan pengetahuannya kepada segenap muridnya. Guru merupakan sosok yang paling mulia, perannya tak kalahpenting dengan jajaran dokter, arsitek, dan lain-lain, bahkan tanpa peran seorang guru mereka semua tak akan mendapatkan keahlian tersebut. (https://alislah.ma) Berbicara perihal sikap penghargaan seorang murid terhadap guru tak bisa dilepaskan dari pengajaran yang ditanamkan di pondok-pondok pesantren. Lazim kita jumpai bahwa sikap ketakziman seorang santri terhadap ustadz (para guru) dan dewan kiai yang ditradisikan di pesantren-pesantren merupakan hal yang sangat indah dipandang. Pengajaran kitab Ta’līm al-Muta’alim yang merupakan kitab terbaik mengenai etika seorang santri dalam belajar yang dikarang oleh Syaikh Burhānuddīn al-Zarnujī yang marak dikaji di pesantren-pesantren, dibarengi dengan pengasuhan intens dewan guru dan kiai di pondok pesantren sukses membentuk santri sebagai murid berkarakter yang mampu menghargai sosok guru dengan sebaik-baiknya. Bagi mereka, guru (ustadz atau kiai) tak ubahnya pelita yang menerangi kehidupan mereka.

2 thoughts on “Guru Penerang Kehidupan

  1. Ainul Yakin says:

    Assalamualaikum, Ust.
    Saya Ainul Yakin alumni TMI Tahun 2003.
    Saya mau bertanya saja pad kolom kementar ini. Mau bertanya temtang tema tulisan yg bisa ditulis oleh alumni di rubrik Alumni Menulis ini. Selain tema saya juga mau bertanya berapa kata kira-kira tulisan yg pas untuk dimuat di rubrik ini ? Syukron atas responnya .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.