Seperti halnya kebanyakan masyarakat Indonesia, kiai-kiai di Al-Amien juga menggemari sepak bola. Apalagi santri-santrinya. Jika tidak berbenturan dengan acara lain di Pondok, para santri biasa mengadakan acara nonton bareng laga-laga sepak bola tertentu, khususnya laga di babak final pada sebuah turnamen besar. Beberapa tahun belakangan ini, mereka sudah menggunakan proyektor, sehingga ribuan santri bisa menonton laga tersebut bersama-sama di sebuah tempat. Jangan tanya bagaimana meriahnya. Apalagi bila gol tercipta. Meledak.

Saya tidak tahu bagaimana para santri tahun 1980-an menikmati pertandingan sepak bola di layar kaca. Barangkali para alumnus senior bisa berbagi cerita tentang apa yang terjadi di Pondok dahulu ketika, misalnya, Maradona dan timnas Argentina berhasil menjadi juara dunia pada tahun 1986. Itu saya kira akan menjadi cerita yang menarik. Pada waktu itu, kiai-kiai kita, al-maghfūr lahum, tentu masih segar-segar, dan mereka adalah penggemar-penggemar sepak bola. Sebagian besar santri, di tengah keterbatasan teknologi informasi saat itu, saya yakin juga menggemari sepak bola. Saya penasaran bagaimana mereka mengakses informasi tentang perhelatan besar seperti Piala Dunia pada waktu itu.

Yang masih segar dalam ingatan saya adalah pertandingan final Piala Dunia 1994. Yang bertanding adalah kesebelasan Brazil dan Italia. Saya masih santri. Laga berlangsung dini hari. Kebetulan, saya mendapat giliran bulis malam saat itu. Mestinya, saya baru boleh meninggalkan pos jaga saat suara tarḥīm mulai berkumandang dari masjid. Itu sekitar jam tiga dini hari atau kurang sedikit. Masalahnya, laga final dijadwalkan sesaat lebih awal. Mungkin sekitar jam setengah tiga. Maka pamitlah saya kepada dua orang kawan yang kebagian berjaga di pos yang sama. “Kalau ada Bagian Keamanan keliling,” saya berpesan kepada kedua kawan saya itu, “bilang saja bahwa saya sedang ke ḥammām”.

Sampai di rumah, saya kaget. Ternyata Aba memindahkan televisi ke ruang tamu bagian dalam. Di sana, sudah berkumpul banyak ustadz. Rupanya, ini acara nobar. Saya santri sendirian, duduk di depan, dengan sedikit kikuk. Yang lain ustadz. Ketika shalat jamaah Subuh usai, pertandingan belum selesai. Masih di pertengahan babak perpanjangan waktu. Aba memerintahkan pintu dibuka lebar-lebar untuk mengizinkan para santri menonton dari luar. Jadilah acara itu nobar yang berskala lebih besar. Para santri berkerumun, ikut bersorak pada momen-momen yang menegangkan. Meski menikmati hanya sebagian kecil pertandingan, mereka tentu sangat gembira. Belakangan, Aba sering menginstruksikan para guru keluarga untuk membuka pintu rumah mereka bagi para santri saat ada laga-laga penting dimainkan.

Laga itu sendiri, kita tahu, dimenangkan oleh Brazil melalui adu tendangan penalti. Aba, yang memang pendukung Brazil, berkali-kali mengepalkan tangan saat penendang penalti Brazil berhasil mencetak gol atau saat penendang penalti Italia gagal. Ketika tendangan Roberto Baggio melambung, selesailah sudah. Brazil juara dunia. Aba mengangkat kedua tangannya bersamaan.

Tentang menjadi fans dari kesebelasan tertentu, kiai-kiai kita juga mungkin punya preferensinya masing-masing. Saya tidak punya informasi tentang Kiai Tidjani. Barangkali Kiai Ahmad kapan-kapan bisa menceritakannya. Aba, seingat saya, tidak terlihat menggemari salah satu klub tertentu. Yang saya tahu Kiai Maktum. Beliau penggemar Manchester United. Uniknya, dua putra beliau penggemar klub yang berbeda. Lora Haitsam penggemar Arsenal, Lora Nabil Chelsea. Saya membayangkan jika MU sedang bertanding melawan Arsenal atau Chelsea, Kiai Maktum mungkin akan saling gojlok dengan dua putra kesayangan beliau itu. Saya memikirkan itu dengan gembira, dengan perasaan beruntung, karena menjadi supporter sebuah klub sepak bola ternyata bukanlah afiliasi yang dilarang oleh falsafah “Berdiri di atas dan untuk semua golongan”.

Saya sendiri penggemar Liverpool. Sudah sejak dulu, sejak masanya Ian Rush dan John Barnes. Ya, Liverpool yang itu. Yang 30 tahun lamanya puasa gelar Liga Inggris. Yang YNWA-nya sering diplesetkan menjadi “You’ll Never Win Again”. Sejak masih kuliah dulu sampai masa-masa awal kembali ke Pondok, saya sering menerima telepon atau SMS jika Liverpool kalah. Belakangan, sudah tidak lagi. Mungkin kawan-kawan saya sudah lupa bahwa saya masih penggemar Liverpool. Atau, karena akhir-akhir ini, Liverpool cenderung tampil lebih baik dibandingkan dulu.

Tentu saja saya bukan bagian dari fans garis keras. Tapi saya juga berteman dengan beberapa kawan yang level mereka sebagai suporter lebih serius ketimbang saya. Dari mereka, saya juga belajar banyak hal. Ada seorang kawan, misalnya. Alumnus TMI. Kakak kelas. Penggemar Liverpool juga. Suatu hari, ia bilang bahwa kalau nanti punya anak laki-laki, ia akan menamainya “Muhammad Gerrard al-Fatih”.Ketika saya tanya alasannya, ia menjelaskan bahwa itu adalah gabungan dari nama dua orang yang keduanya sama-sama pernah menaklukkan Istanbul. Saya tercengang. Saat itu, nama Muhammad al-Fatih belum seikonik sekarang. Tidak banyak yang mengingat namanya sebagai penakluk Konstantinopel (yang kemudian berubah nama menjadi Istanbul) dari Dinasti Utsmaniyah. Sedangkan nama “Gerrard” jelas menunjuk kepada Steven Gerrard, Sang Kapten, yang membawa Liverpool menjuarai Liga Champions tahun 2005. Di mana? Tentu saja di Istanbul, setelah melalui sebuah laga final dramatis yang kemudian dikenal dengan nama the miracle of Istanbul. Hingga beberapa tahun berikutnya, saya selalu merasa terbantu oleh ucapan kawan saya itu guna mengingat nama Muhammad al-Fatih sebagai penakluk Konstantinopel. Tapi saya tidak tahu apakah kawan saya ini betul-betul menamai anaknya dengan nama itu.

Bukan sekali itu saja saya terbantu untuk mengingat sebuah fakta penting berkat peristiwa atau kisah yang tak terduga. Izinkan saya keluar sebentar dari tema sepak bola. Ini cerita tentang alumnus TMI juga. Kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Alkisah, suatu hari, ia harus menempuh ujian lisan di pelajaran Filsafat. Ujian itu, dalam bayangan saya, tentu sangat serius. Sang dosen bertanya, “limādzā lā yuhājim al-Ghazālī falsafah al-Kindī?”. Terjemahan bebasnya kira-kira: Mengapa al-Ghazali tidak menyerang pemikiran al-Kindi? Kawan kita ini menjawab dengan santai, “li anna li al-Kindī ukhtan jamīlah wa al-Ghazālī yuḥibbuhā”. Saya tidak perlu menerjemahkan bagian yang terakhir ini.

Saya tidak tahu kisah itu benar-benar terjadi atau tidak. Yang jelas, jawaban tersebut ngawur sengawur-ngawurnya. Konon, sang dosen langsung menyuruh kawan kita itu keluar ruang ujian. Tapi berkat itulah saya bisa dengan mudah mengingat sebuah teori: bahwa di antara sekian banyak filsuf muslim yang dikritik keras oleh al-Ghazali, terutama melalui karyanya Tahāfut al-Falāsifah, al-Kindi tidak termasuk ke dalamnya, atau dikritik secara relatif lebih lunak dibandingkan beberapa filsuf lainnya.

Kembali ke sepak bola. Jika debat-debat intelektual bisa berujung pada inkuisisi dan persekusi yang kejam, demikian pula rivalitas antar pendukung kesebelasan yang berbeda. Tapi sepak bola juga bisa menjadi pemersatu, atau sebab dua sahabat bertemu. Cerita terakhir ini tentang Kiai Idris dan Kiai Jamaluddin Kafie, dua kiai kita yang bersahabat sangat dekat.

Sejak sekitar tahun 1992, Kiai Jamal yang selama bertahun-tahun mendampingi Kiai Idris di TMI akhirnya memutuskan untuk mendirikan lembaga beliau sendiri di perbatasan desa Prenduan. Lembaga itu beliau namai Ad-Dzikir. Selain menangani urusan lembaga, Kiai Jamal juga menjadi rujukan masyarakat dalam banyak persoalan. Tamu-tamu datang silih berganti ke rumah beliau, nyaris tanpa peduli waktu. Dengan kesibukan masing-masing, intensitas pertemuan antara Kiai Idris dan Kiai Jamal tentu jauh berkurang. Mereka mungkin tidak lagi memiliki banyak kesempatan untuk, misalnya, duduk berdua, mengobrolkan hal-hal ringan dengan santai, sesuatu yang dulunya seringkali saya saksikan. Salah satu dari sedikit kesempatan itu terjadi berkat Piala Dunia 2002.

Tahun 2002, untuk pertama kalinya, Piala Dunia dilaksanakan di Benua Asia, persisnya di Jepang dan Korsel. Karena itu, jam tayangnya di Indonesia bukan dini hari, tapi sekitar jam 9 malam. Sayang sekali, saya lupa malam itu pertandingan antara kesebelasan yang mana. Yang jelas, kejuaraan sudah memasuki fase gugur. Berarti antara babak 16 besar, atau perempat final, atau semi final.

Malam itu, Aba menelepon Kiai Jamal menggunakan telepon kabel. Telepon genggam masih belum banyak digunakan. Dalam percakapan itu, Aba bertanya di mana Kiai Jamal biasa menonton sepak bola. “Di rumah,” jawab beliau. Lalu Aba menawarkan untuk menonton sepak bola di rumah kami karena kualitas tayangannya lebih baik. “Di sini sudah pakai parabola,” kata Aba. Tidak cukup dengan itu, Aba juga merayu Kiai Jamal dengan kopi. “Saya punya kopi enak,” katanya. Aba tampak sangat berharap agar Kiai Jamal mau datang. “Kalau mau,” lanjut Aba, “biar Ghozi menjemput situ”.

Singkat cerita, Kiai Jamal menerima tawaran tersebut. Saya menjemput beliau ke Ad-Dzikir. Naik sepeda motor.Sepanjang jalan, tidak banyak yang kami bicarakan. Beliau, seingat saya, sempat bertanya tentang kuliah saya di Yogya. Saya jawab: hampir selesai. Lalu saya minta didoakan. Sampai di rumah, Aba menyambut di pintu, lalu menyilakan Kiai Jamal duduk. Saya ke belakang, menyeduh kopi. Tidak lama kemudian, pertandingan dimulai.

Tentang laga itu sendiri, tidak banyak yang bisa diceritakan. Perhatian saya terbelah. Sengaja saya duduk agak ke belakang, mengambil jarak, agar bisa mengamati kedua kiai ini secara lebih leluasa. Keduanya mengobrol santai. Tidak ada yang serius. Sesekali mereka menertawakan momen-momen lucu dalam pertandingan. Tawa yang cukup pelan. Bukan lagi tawa keras yang kerap membangunkan saya malam-malam saat saya masih kecil dulu. Kadang-kadang mereka memperdebatkan identitas pemain dan asal klubnya. Debat ringan. Untuk yang ini, saya biasanya ikut nimbrung karena saya pikir saya bisa memberikan informasi yang lebih akurat. Saya ingat satu nama yang mereka diskusikan. Jean Tigana, salah satu dari kuartet pemain lini tengah Timnas Prancis di tahun 1980-an. Aba bilang bahwa pemain ini muslim dan nama “Tigana” yang disandangnya itu mungkin punya hubungan dengan “Tijānah” sebagai nama tempat atau kabilah di Maroko.

Demikianlah percakapan berlangsung sampai pertandingan berakhir. Lalu Kiai Jamal pamit pulang. Saya juga yang mengantarnya. Tapi kali ini, Kiai Jamal meminta agar beliau saja yang membawa motor dan saya yang membonceng di belakang.

Aba terlihat semringah sepanjang pertemuan singkat dengan Kiai Jamal itu. Saya pun merasa beruntung bisa menemani beliau berdua dalam momen berharga tersebut. Kira-kira tiga tahun setelahnya, Kiai Jamal wafat, dan Aba ikut mengantar sahabat beliau itu ke peristirahatan terakhir.

3 thoughts on “Sepak Bola, Kiai, dan Cara Sederhana Mengekalkan Persabahatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.